Freeze #13 (healed)
Setibanya di rumah singgah,
Wooseok langsung melepas gelang di tangan Taeyong sambil komat-kamit meminta
maaf. Wajahnya tegang dan ia terus bergumam dengan bibir bergetar; kenapa gelangnya masih belum dilepas juga?,
ya ampun ya ampun ya ampun, dia begini karenaku, Taeyong maafkan aku, dan
gumaman tidak jelas lainnya.
Melihat keributan itu, seluruh
anak di rumah singgah berhamburan ke lokasi pingsannya Taeyong. Mereka semua
panik melihat kondisi sang pria yang amat mengkhawatirkan. Tubuhnya biru
keunguan alih-alih pucat, dan dia tergeletak di selasar penghubung antara
gedung utama dan gedung terlarang.
Bunda Sejeong yang baru pulang
dari kantor polisi berlari kencang menuju kerumunan. Ia berteriak histeris
begitu tahu Taeyong lah yang menjadi pusat kerumunan itu. Dan bahkan lebih
histeris lagi begitu melihat Baek Taewong berjongkok di sebelah Wooseok.
“APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI!”
teriaknya. Ia menarik jubah profesor Baek dan langsung menghempasnya menjauh.
Profesor baek berdiri. Dan pertarungan sengit yang sudah ditahan-tahan selama
15 tahun pun tak bisa dielakkan.
“APA YANG AKU LAKUKAN DI SINI?
HARUSNYA AKU YANG BERTANYA BEGITU PADAMU! KAU SENGAJA BERSEMBUNYI DI SINI
KARENA TAHU BETAPA TAKUTNYA AKU PADA KOTA INI!”
Sebenarnya Bunda Sejeong tidak mau
pertengkarannya menjadi bahan tontonan, tapi begitulah yang terjadi sekarang.
Mata anak-anak semuanya beralih dari Taeyong dan Wooseok di lantai dan
berpindah pada sang ibu asuh dan pria asing berjubah putih yang saling
berteriak.
“Sejeong, sungguh, apa yang kau
pikirkan? Kalau kau tak kabur saat itu semuanya tak akan begini!”
“Kalau aku tak kabur saat itu
semuanya akan lebih buruk dari ini!”
“Apa yang bisa lebih buruk dari
ini hah Lee Sejeong!!”
“Kau!” jeritnya dengan jari
menuding. “Bertemu denganmu adalah hal terburuk yang terjadi hari ini dan asal
kau tahu aku sudah mengalami banyak hal buruk hari ini!”
“Kau masih marah padaku? Yang
benar saja! Kau harus tahu dokter-dokter yang menangani Taeyong dulu adalah
orang-orang idiot! Bukan mereka yang menyembuhkan Taeyong, tapi aku. Aku yang
membuatnya tetap hidup!”
“Ya ampun, kau semakin tak terkendali.
Apa yang membuatmu merasa pantas berlagak jadi Tuhan?”
“Siapa yang berlagak jadi Tuhan!
Aku cuma mau kau buka mata! Uang ratusan juta yang kita keluarkan dulu tak
berguna sama sekali. Serumku lah yang membuat Taeyong membaik.”
“Jangan bicara soal uang dasar
bajingan! Uang kita? Semua itu uangku! Kau lebih peduli dengan cairan-cairan
kimia dan tabung bodoh dan komputer sialan dan semua alat konyolmu itu
dibanding anakmu sendiri!”
“Kau pikir aku membeli semua itu
untuk siapa? Aku membeli semuanya untuk Taeyong! Untuk membuat formula demi
menyembuhkannya! Kau kira bahan-bahan itu turun dari langit, huh!”
“Dan kau pikir aku akan berterima
kasih untuk itu? Sadarlah kau sudah menghancurkan hidup Taeyong! Kau tak
mengerti betapa tak tahu dirinya dirimu! Kalau saja kau kesampingkan egomu
untuk membeli semua peralatan ilmuwan konyolmu itu dan menggunakannya untuk
pengobatan Taeyong, mungkin dia bisa hidup layaknya anak normal!”
“Aku tahu kau selalu menganggapku
konyol!!”
“Karena begitulah adanya!!”
“Membawa kabur Taeyong yang
kondisinya sedang riskan adalah tindakan konyol, Sejeong. Apa kau sadar siapa
yang lebih konyol?”
“CUKUP! KALIAN BERDUA SAMA-SAMA
KONYOL!” teriak Wooseok tak tahan. Bunda Sejeong dan Profesor Baek seketika
berhenti dan menoleh padanya.
“Bisakah kalian tunda
bertengkarnya?” katanya gemetar. “K-kurasa anak kalian tak bernapas.”
“Apa?” teriak Bunda Sejeong dan
Profesor Baek berbarengan.
“Aku tak bisa merasakan denyut
nadinya.” Wooseok bicara dengan suara ringkih seolah sedang menahan tangis.
Bunda Sejeong yang mendengar itu
langsung membekap mulutnya. Ia terkejut sekali, mukanya langsung pucat dan ia
terhuyung ke belakang, hampir pingsan.
“Bawa dia ke mobil!” Profesor
Baek berseru sembari membantu Wooseok menggotong Taeyong ke mobilnya—mobil box
tinggi milik perusahaan.
Bunda Sejeong merasakan kakinya
berubah jadi agar-agar, namun tetap berusaha mengejar mereka.
“Apa yang terjadi padanya? Kenapa
dia begini? Kenapa tak ada yang menjelaskan padaku?!” teriak Bunda Sejeong
sementara air matanya meleleh. Saking lemasnya, wanita itu berkali-kali nyaris
jatuh. Hyun Mi merangsek untuk merangkulnya.
Profesor Baek membuka bagian
belakang mobil box-nya lalu mulai mengintruksikan Wooseok untuk membaringkan
Taeyong di ranjang lipat dan memasang infusnya. Mereka berdua kelihatan sibuk
dan panik sekali, sementara suara racauan Bunda Sejeong mengiringi kegiatan
keduanya. Untuk beberapa saat, racauan itu masih bisa ditolerir. Tapi
lama-kelamaan, Bunda Sejeong mulai menyalahkan Wooseok dan membuat konsentrasi
pria itu buyar. Profesor Baek tak tahan lagi.
“SEJEONG! AKU BERUSAHA SEMAMPUKU!
DIAMLAH!”
Bunda Sejeong meraung makin
keras. Kali ini suara Jeha yang merengek ketakutan pun ikut terdengar. Suasana
makin keruh. Ki Won dan Won Tak berusaha menenangkannya selama beberapa saat
sebelum Eun Ki menggeram. Anak laki-laki itu berbalik badan dan menggotong Jeha
di pundaknya, lantas berjalan menjauh. Di belakangnya, semua anak—kecuali Hyun
Mi—mengikuti Eun Ki kembali ke rumah singgah. Mengerti kalau tidak seharusnya
mereka menjadikan situasi ini sebagai bahan tontonan.
Profesor Baek berusaha
mengabaikan situasi tak kondusif di sekitarnya dan mengoperasikan
defribiliator. Sementara di hadapannya, Wooseok membuka kemeja Taeyong dan
terkesiap melihat betapa birunya tubuh pria itu.
Profesor Baek mengambil paddles
dari sisi alatnya lalu mengangguk pada Wooseok. Wooseok balas mengangguk
padanya.
“200 Joule, all clear?”
“Clear,” jawab Wooseok dengan
suara tercekat menahan tangis. Permukaan paddles yang berlumuran gel pun
ditekankan ke dada Taeyong. Sang Profesor mengecek monitor dan menaikkan muatan
listriknya.
“360 Joule, all clear?”
“Clear.”
Paddles kembali ditekankan ke
rusuk taeyong dan lagi-lagi tak ada yang terjadi. Tubuhnya hanya mengejang
sedikit sebelum kembali terkapar. Wooseok menunduk dalam-dalam sambil menggigit
bibirnya. Pikiran ‘ini semua salahku’ menggema di kepalanya, membuatnya gila.
Perasaannya hancur sekali dan tanpa ia sadari, ia sudah menggebrakkan kepalanya
ke sisi mobil.
“YAH WOOSEOK! KENDALIKAN DIRIMU!
KITA BELUM SELESAI. SEKALI LAGI!”
Wooseok terisak dan wajahnya
memerah. Ia memaksa tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya untuk kembali
berlutut di sebelah Taeyong. Profesor Baek memejamkan matanya, berdoa kuat-kuat
dalam hati sebelum memberi aba-aba dengan tegas. “360 Joule, all clear?”
“Clear.”
Dada Taeyong kembali ditekan
dengan paddles bermuatan listrik. Dan kali ini, Tuhan mengabulkan doa Profesor
Baek. Monitornya berbunyi dan aktivitas jantung Taeyong akhirnya muncul di
sana.
“DIA MASIH HIDUP!” Wooseok
berseru penuh syukur.
Bunda Sejeong merasa lega sekali.
Ia menekan dadanya dan berlutut sambil menangis. Hyun Mi berjongkok di
sebelahnya sambil mengusap-usap punggungnya.
Taeyong memang masih hidup, tapi
detakan jantungnya lemah sekali. Detakan itu bisa berhenti kapan saja.
Menyadari hal itu, Profesor Baek berdiri dengan sisa tenaganya dan berjalan ke
ujung mobil box. Ia menatap Bunda Sejeong seolah sedang meminta tolong.
“Sejeong, kali ini… bisakah kau percaya padaku?”
Bunda Sejeong berhenti terisak.
Ia mendongak menatap sang pria. Kendati keraguan masih nampak jelas di matanya,
wanita itu tetap mengangguk.
“Ya,” katanya. “Ya, sembuhkan
dia.”
***********
“Jadi nama cowok super cakep itu
Taeyong?” Moojin bertanya penuh minat.
“Wah, kalau pilihannya Taeyong
atau Lucas sih sudah jelas aku akan pilih Taeyong.” Ahra turut berkomentar.
“Lucas itu sebenarnya cakep juga,
cuma sayang dia idiot,” kata seorang gadis keturunan Jepang bernama Aiko.
Hana cuma menanggapi mereka semua
dengan senyum atau kekehan singkat. Daya tarik Taeyong benar-benar luar biasa.
Mungkin jika pria itu tak datang ke sekolahnya Senin kemarin, Hana tak akan
memiliki selusin anak perempuan bergerombol di mejanya dan mengajaknya
berteman. Yeah, kedengarannya memang kurang tulus. Tapi setidaknya dengan
adanya pendekatan begini, mereka jadi saling mengenal satu sama lain dan
mungkin, jika beruntung, Hana bisa menemukan satu yang tulus.
“Tapi wajar sih, Han. Maksudku,
Lucas itu lucu. Dan dia orang pertama yang kau temui.”
“Dan dia tinggi.”
“Rambutnya cokelat keemasan,
matanya besar dan bibirnya seksi.”
“Dan jangan lupakan suara
beratnya.”
Gadis-gadis yang tadi memuji
Taeyong kini dengan kompaknya memuji Lucas.
“Dan sebenarnya jika kita
memikirkan ini, wajar sekali dia selalu mengincar anak baru, mereka kan masih belum tahu seburuk apa reputasinya di sekolah.”
“Benar. Untuk urusan itu, kukira
kita harus mengakui kalau dia cerdas juga.”
Hana bisa melihat hampir seluruh
kepala mengangguk menyetujui ucapan Ye Eun.
“Tapi ya ampun, dia konyol
banget!” sahut Moojin. “Aku tak percaya ada orang yang bisa dihukum rutin
setiap hari.”
“Kalau anak itu tidak mengubah
sikapnya, aku yakin dia pasti akan dikeluarkan.” Aiko menimpali. “Maksudku,
coba sebutkan satu guru saja yang menyukainya.” Gadis itu menatap seluruh
temannya dengan dramatis sebelum menjawab sendiri. “Tidak ada.”
“Benar. Seandainya para guru membuat
rapat darurat, pasti tak akan ada satu pun dari mereka yang mau
menyelamatkannya.”
“Heh, suara kalian kedengaran
sampai keluar.” Tiba-tiba saja Lucas berjalan masuk dengan santai seolah itu
kelasnya. Dia berhenti di samping meja Hana.
“Kalian bisa bicarakan aku lagi
nanti, tapi sekarang aku mau pinjam Hana dulu,” katanya, kemudian menoleh pada
Hana. “Aku mau bicara denganmu.”
Dua belas anak perempuan yang
duduk berkerubung di meja Hana turut mendongak dan menatapnya dengan tatapan
‘bicara saja’.
“Empat mata,” tambah Lucas tegas.
“Well, kita bisa tutup mata,” kata Ahra, lalu mereka semua dengan
kompak memejam.
Hana terkekeh melihat tingkah
teman-teman sekelasnya itu.
“Han, please, di luar.”
Hana berpaling memandang
teman-temannya, dan setelah mendapat anggukan setengah hati dari beberapa
orang, baru ia berdiri dan mengekor Lucas ke luar.
“Aku minta maaf,” kata sang pria,
berbalik badan persis begitu Hana melewati pintu.
“Yeah?”
“Yeah.”
“Untuk?”
“Aku tak tahu,” katanya polos,
kemudian melanjutkan dengan suara yang kian memelan, “aku hanya merasa… kau…
membenciku.”
“Kau tak tahu?” ulang Hana tak
percaya.
“Tapi aku tetap menyesal, Han,
sungguh.” Lucas menyambar.
“Bagaimana bisa kau menyesal
kalau kau tak tahu apa salahmu?”
“Apa pun itu aku menyesal.”
“Wah, oke,” gumam Hana pelan,
masih tak percaya. “Tapi tidak, tidak masalah. Maksudku, kau tak salah
apa-apa.”
“Aku tak salah apa-apa?”
“Ya.”
“Lalu kenapa kau menghindariku?”
“Aku tak menghindarimu.”
“Han, please. Aku tidak mati rasa. Aku tahu kau membuang muka tiap kali
kita bertemu.”
Hana mendesah dan akhirnya bicara
terus terang, “Lucas, kau bohong, kan?” katanya setengah menuduh, “Saat kita
mau belajar dan kau bilang kau harus latihan baseball atau apalah… Kau bahkan tak main baseball.”
“Aku mau bilang basket tapi
lidahku kepeleset.”
“Jadi kau benar-benar latihan
basket?”
“Uh.” Pria itu mendorong
rambutnya salah tingkah. “Sebenarnya aku ke rumah Jungwoo,” katanya, nyengir.
“Untuk?”
“Main PS.”
Hana lagi-lagi menghela napas.
“Dan kau masih tanya apa salahmu?”
Lucas cuma meringis.
“Maksudku, kalau kau tak berjanji
akan mengajariku malam sebelumnya, aku mungkin tak akan sekecewa itu.”
Sebelum Lucas sempat menjawab, Hana
buru-buru menyela, “Tapi tidak apa, sungguh. Semua itu ada baiknya. Gara-gara
kau pergi begitu saja, Taeyong jadi mengajariku dan entah bagaimana kita
jadian.”
Lucas membelalakkan matanya,
“Tunggu, kau jadian dengan saudara jauhmu?”
“Err, sebenarnya, dia bukan
saudara jauhku.” Hana ikut meringis. Mungkin bukan cuma Lucas yang telah
berbohong. Mungkin bukan cuma Lucas yang harus minta maaf di sini. Hana pun
sama saja. Dan dia bahkan tak tahu kenapa ia harus berbohong. Apa ia sungguh
sesuka itu pada Lucas minggu lalu? Dan bagaimana mungkin perasaan sukanya itu
menghilang begitu saja dalam sekejap mata?
Lucas mencerna informasi baru itu
dan membuat ekspresi aneh. “Dan kalian tinggal bersama?” tanyanya, dengan
sebelah alis terangkat.
“Cuma beberapa hari, kok.
Sekarang dia sudah pulang ke rumahnya di Mungyeong.”
“Oh.” Lucas nampak sedikit
kecewa. “Bisakah kau sampaikan salamku padanya? Katakan padanya dia manusia
terkeren di bumi.”
Hana mendenguskan tawa, “Yeah,
tentu.”
“Jadi kau sudah tidak marah lagi,
kan?” Pria itu memastikan. “Kalau kau mau, kita bisa istirahat bersama nanti
siang.”
“Maaf, kurasa aku akan makan
dengan teman-temanku hari ini.”
“Baiklah,” katanya. “Sebenarnya
aku juga mau pergi saat istirahat.”
“Pergi?”
“Ya, aku ini banyak urusan.”
“Lalu kenapa kau mengajakku
istirahat bersama kalau sebenarnya mau pergi?”
“Aku bisa undur jadwal pergiku
kalau kau mau istirahat bareng. Jujur, aku hanya tak mau kau membenciku juga.
Sudah banyak orang yang tidak suka padaku. Sangat banyak. Aku tak mau jumlahnya
terus bertambah.”
Hana terdiam memandangnya dan
menghela napas. “Mungkin kalau kau mengubah sikapmu sedikit, jumlahnya akan
berkurang. Kau tahu sendiri bagaimana kau berulah tiap hari. Dan sekarang kau
bahkan mau kabur saat jam istirahat,” kata Hana tak habis pikir, sementara
suara bising dari kelas di belakangnya semakin menjadi-jadi. “Dengar, Lucas,
kau punya segalanya untuk disukai semua orang. Tapi sikapmu ini jadi penghalang
besar. Cobalah belajar dengan benar dan jangan biarkan dirimu sendiri
terus-terusan kena hukum. Setelah itu lihatlah berapa banyak orang yang
berlomba jadi temanmu.”
Lucas mengangkat bahu. Jelas
sekali ia hanya menganggap ucapan panjang lebar Hana sebagai angin lalu, “Aku
akan memikirkan kata-katamu.”
Hana mengharapkan jawaban yang
lebih dari itu, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. “Aku tak yakin apa kau bahkan
mendengarkan aku, tapi yah, kuharap kau benar-benar memikirkannya.”
“Aku dengar, kok,” katanya,
kemudian melirik ke dalam kelas super bising di belakang mereka—kelas Hana.
“Aku senang sekarang kau punya banyak teman.”
“Yeah, aku juga kaget bisa
beradaptasi secepat ini,” jawab Hana, walaupun ia tahu semua ini gara-gara
Taeyong. “Omong-omong, apa kau kena hukum hari ini?”
“Tidak,” kata Lucas pelan, “tapi
Jiae Sonsengnim baru saja mengejekku di depan kelas.”
“Guru fisika?”
“Ya.”
“Apa yang terjadi?”
“Aku bilang padanya kalkulatorku
rusak, tapi dia malah bilang yang rusak bukan kalkulatornya tapi kepalaku.”
“Ya ampun, itu kasar sekali.”
“Ya, tapi aku sudah biasa.”
“Jangan bilang begitu.”
Lucas cuma tersenyum menyeringai
seolah itu bukan masalah, tapi Hana yakin sekali pria itu kecewa. “Kalau
begitu, sampai ketemu lagi, ya. Aku harus menyusun rencana,” katanya.
“Rencana apa?”
“Yah pokoknya rencana. Kau tak
akan paham. Dah.” Lucas berlalu.
“Lebih baik kau tidak melakukan
‘itu’ saat istirahat.” Hana sedikit berteriak. Dan yang ia maksud dengan ‘itu’
adalah memanjat pagar belakang sekolah dan kabur saat jam istirahat.
Lucas menoleh padanya dan
mendengus konyol, sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kelasnya. Melihat pemandangan itu, Hana sejujurnya merasa iba. Lucas seharusnya ditolong alih-alih dihukum dan dibenci.
**********
Saat sedang berjalan pulang, Hana
mengernyit heran begitu memeriksa notifikasi ponselnya. Ada panggilan tak
terjawab pukul 10 pagi dari Bunda Sejeong dan pesan suara 7 menit setelahnya.
Taeyong tahu dia masih di sekolah pukul 10 pagi, jadi seharusnya itu bukan
Taeyong.
Dengan perasaan bingung, Hana
mencolokkan earphone ke ponselnya dan mendengarkan pesan suara itu.
Ternyata Taeyong. Suaranya amat
serak dan pelan. Hana menekan-nekan tombol volume sampai penuh supaya bisa mendengar
apa yang pria itu katakan.
Semakin Hana berusaha
mendengarkan kata-katanya, semakin bergejolak perutnya. Taeyong terdengar
sangat nelangsa dan ucapannya benar menakutkan. Pria itu jelas-jelas sedang
kesakitan. Langkah Hana tanpa sadar terus memelan dan memelan hingga akhirnya
benar-benar berhenti.
“Dia kenapa, sih?” ringis Hana
panik. Jarinya dengan lincah menekan nomor Bunda Sejeong dan menghubunginya.
Tapi tak diangkat.
Hana terus mencoba menghubunginya
selama berjalan pulang dan akhirnya, tepat saat ia sampai di rumah,
panggilannya diangkat juga.
“Bunda, apa yang terjadi pada
Taeyong?” tanya Hana segera setelah sambungannya terhubung.
[Taeyong,] katanya lemah, [Dia
pingsan.]
“Apa?”
[Hana, aku tak bisa bicara
sekarang. Aku sedang di bandara.]
“Bandara?”
[Nanti kuhubungi lagi.]
Dan sambungannya pun diputus
sebelum Hana bisa memikirkan apa-apa. Dia kebingungan sekali. Bandara? Kenapa
bandara? Bunda Sejeong tak mungkin jalan-jalan saat Taeyong sedang pingsan,
kan?
Hana bertemu ibunya di dapur dan
menceritakan sedikit soal pesan suara Taeyong yang menyeramkan. Ia lantas
memasuki kamarnya dan mulai mencoba menghubungi Wooseok. Dia tak selera makan
dan hatinya gelisah. Apa Taeyong akan dibawa ke Seoul lagi? Tapi kenapa bandara?
Apa Taeyong yang dibawa ke bandara? Mau ke mana?
Menghubungi Wooseok sama susahnya
dengan menghubungi Bunda Sejeong. Teleponnya baru diangkat jam 9 malam dan itu
bahkan bukan suara Wooseok.
“Oppa, apa kau tahu Taeyong
pingsan lagi?” sambar Hana menggebu. “Dia…”
[Ini Howon, temannya Wooseok,]
sela seorang pria. [Pesawat mereka baru berangkat dan ponsel Wooseok tertinggal
di mobil Profesor Baek.]
Hana semakin kebingungan. Dia
bergeming sebentar, mengernyit pada layar ponselnya dan bertanya sesopan
mungkin, “Maaf, apa aku boleh tahu siapa yang kau maksud dengan mereka?”
[Wooseok, Profesor Baek dan
Taeyong.]
“Kau tahu Taeyong?” tanya Hana
terkejut.
[Ya, aku timnya Wooseok di lab.]
Hana teringat Taeyong memang menyebutkan nama orang di lab di pesan suaranya
barusan. Tapi Hana tak ingat siapa tepatnya.
“Baiklah, begini, namaku Hana dan
aku adik angkatnya Wooseok Oppa. Boleh aku tahu ke mana mereka pergi?”
[Mereka ke Amerika.]
“Apa?” Hana refleks berteriak.
“Berapa lama?”
[Err, aku tak tahu.] Howon
terdengar jengkel. Teriakkan Hana membuat telinganya berdengung. [Aku cuma
disuruh membawa pulang mobil.]
“Apa Bunda Seje—maksudku, ibunya
Taeyong—ikut ke Amerika?”
[Tidak, dia bersamaku. Kami
sedang di perjalanan pulang menuju Mungyeong.]
Saat itu, suara serak Howon
berganti menjadi suara Bunda Sejeong.
[Hana,] katanya ringkih, kemudian
menangis.
Hana ikut menangis. Ia tak tahu
harus bicara apa. Kondisi Taeyong pasti serius sekali sampai-sampai Bunda
Sejeong yang ultra protektif mengizinkan Taeyong diterbangkan ribuan mil
jauhnya dari dirinya.
“Bunda, aku harus apa?”
[Berdoa saja untuknya, ya.]
“Aku akan ke Mungyeong.”
[Untuk apa?]
“Aku tak tahu. Aku ingin
melakukan sesuatu. Aku ingin membantu Taeyong, aku ingin membantumu. Aku tahu
aku tak berdaya tapi aku tak bisa diam saja. Apa yang harus kulakukan?” kata
Hana tersendat-sendat.
[Kau mau membantuku?]
“Ya,” sambar Hana menggebu. “Ya,
ya, apa pun akan kulakukan.”
[Kalau begitu bisakah kau bantu
aku mencari Melvin dan Somin?] tanyanya hati-hati. [Mereka pergi mencari rumah
orangtua angkat Paul di Daegu.]
Hana sudah mengetahui informasi
itu dari pesan suara Taeyong jadi ia tak terkejut lagi.
Gadis itu langsung mengangguk.
“Tentu. Aku akan ke Daegu sekarang juga.”
[Hana, jangan konyol. Sekarang
sudah jam 9.]
“Tidak masalah.”
[Hana, tidak. Pergilah besok
pagi. Dan ajak seseorang denganmu. Jangan pergi sendirian. Aku tak mau semakin
banyak anakku yang dalam bahaya.] Hana merasa sesuatu yang hangat tumpah di
hatinya. Melegakan sekali rasanya mendengar bunda Sejeong menganggapnya sebagai
‘anak’ lagi. Apalagi setelah beberapa bulan ini ia selalu merasa Bunda Sejeong
membenci dan bersikap dingin padanya.
[Aku sudah menghubungi panti
asuhan tempat aku menitipkan Paul 6 tahun lalu dan mereka bilang, Melvin dan
Somin tidak ke sana. Itu artinya anak-anak itu pergi ke Daegu tanpa membawa
alamat apa pun.]
Hana sudah syok sekali mengetahui
seorang Somin yang manis dan penurut bisa terlibat dalam pemberontakan seperti
ini. Tapi ia lebih syok lagi saat tahu bahwa perencanaan mereka ternyata amatlah buruk. Serius, apa yang mereka pikirkan? Apa mereka kira mereka bisa mengetuk
ribuan rumah di Daegu satu per satu dan bertanya apa di sini ada yang namanya
Paul?
“Baiklah, aku akan pergi besok.”
[Ya, pergilah besok dan ajak
temanmu. Bunda akan kirimkan alamat orangtua angkat Paul di Daegu lewat
ponselku.]
“Aku mengerti.”
[Terima kasih banyak, Sayang.]
Hana merasa hatinya mengembang
lagi.
“Sama-sama, Bunda,” jawabnya
tulus, “dan bisakah kau kabari aku jika ada berita apa pun soal Taeyong?”
[Ya, tentu.]
“Terima kasih.”
[Ya.]
**********
Hana tahu Taeyong pasti akan
kesal setengah mati jika tahu ia pergi ke Daegu bersama Lucas. Tapi Hana tak
punya pilihan lain. Gadis itu memang punya banyak teman baru, tapi hubungan
pertemanan mereka masih terlalu dini untuk misi ini, mereka bahkan belum
menyimpan nomor handphone satu sama lain. Lagi pula, belum tentu mereka mau
ketemuan pagi-pagi sekali di stasiun kereta dan diajak bolos ke Daegu untuk
mencari anak hilang. Hana berpikir ia justru akan kehilangan teman-teman
barunya itu jika ia benar-benar mengajak mereka melakukan hal tersebut.
Satu-satunya nama yang bisa ia pikirkan semalam hanyalah Lucas; mereka
bertetangga, pria itu hobi membolos dan dia selau senang diajak
jalan-jalan—walaupun Hana tak akan menyebut agendanya hari ini sebagai
jalan-jalan, tapi jelas Lucas menganggapnya begitu. Dia semringah sekali sampai
rasanya mustahil bagi Hana untuk tidak tertular.
Belum sampai mereka di Daegu,
Bunda Sejeong mengiriminya pesan kalau kepolisian Daegu sudah menemukan Melvin
dan Somin. Jadi Hana dan Lucas tak perlu repot-repot mencari dan langsung
menuju kantor polisi.
“Apa Bunda menyuruh Noona ke
sini?” tanya Melvin sengit, tepat setelah mereka semua keluar dari kantor
polisi. “Padahal sudah kubilang di suratnya kalau kami akan pulang besok. Aku
cuma harus ketemu Paul.”
“Dan kau tahu di mana dia tinggal?”
Hana balik bertanya tak kalah sengit.
Melvin dan Somin saling pandang
dan terdiam.
“Aku punya alamat orangtua
angkatnya Paul jadi ayo kita ke sana dulu sebelum pulang,” tambah Hana, sontak
membuat Melvin dan Somin syok.
“N-noona serius?”
“Ya, kenapa tidak? Berhubung kita
sudah di sini, jangan biarkan perjalanan ini sia-sia. Aku dan Lucas sampai
membolos demi kalian. Jadi, ayo luruskan semuanya pada Paul. Kau sudah tahu
harus bicara apa?”
“Ya. Somin sudah buat dialognya,”
kata Melvin.
Somin yang berdiri di sebelahnya
langsung mengangguk bangga, “Aku sudah membuat kata-katanya sebaik mungkin, di
mana kita bisa bicara terus terang tanpa harus menyudutkan Bunda Sejeong maupun
menyebut-nyebut Taeyong Oppa.”
Mendengar nama Taeyong disebut,
Hana merasa hatinya mencelos. Dua anak di depannya ini belum tahu menahu soal
kondisi Taeyong dan mungkin sebaiknya tak usah tahu dulu.
Lucas yang dalam perjalanan ini
betugas sebagai bodyguard sekaligus navigator dadakan berhasil menemukan rumah
Paul dalam waktu yang tergolong singkat. Dan walaupun tidak seperti yang semua
orang harapkan, pertemuan yang sudah ditunggu-tunggu pun terjadi.
Hana tak bisa menggambarkan
betapa anti klimaksnya pertemuan itu. Melvin yang antusias luar biasa selama di
jalan tiba-tiba mati kutu di hadapan Paul. Dia benar-benar jadi pendiam.
Mungkin terkejut karena teman masa kecilnya itu kini kelihatan berbeda sekali.
Paul yang sekarang sudah berumur 14 tahun itu tumbuh sangat tinggi, badannya
jauh lebih besar dari yang Melvin ingat dan pembawaannya nampak amat dewasa. Ia
bahkan nyaris tak mengingat apa-apa tentang gedung terlarang dan apa yang
terjadi 6 tahun silam di sana. Sepertinya orangtua angkatnya memberikan
pengobatan trauma yang bagus. Alhasil, kedua anak laki-laki itu cuma bicara
dengan suasana canggung yang aneh (seolah mereka adalah teman akrab yang
dipaksakan) sementara Hana, Lucas dan Somin memandangi mereka serba salah.
Sebelum pulang, keduanya sepakat
untuk bertukar nomor telepon (Melvin meminjam ponsel Hana karena ia tak tahu
nomor telepon Bunda Sejeong), lantas keduanya berpelukan dengan canggung.
Melvin cuma setinggi dada Paul dan badannya yang kurus menghilang saat Paul
memeluknya. Hana sampai memalingkan wajah karena pemandangan itu aneh sekali
untuk dilihat.
Namun, walaupun benar-benar anti
klimaks (dialog Somin bahkan tak banyak terpakai), tapi setidaknya rasa
penasaran Melvin sudah hilang. Paul baik-baik saja. Dia masih hidup, tidak
trauma dan punya keluarga yang menyayanginya. Dan Melvin merasa hatinya lebih
damai sekarang.
Mereka pulang ke rumah singgah di
Mungyeong dan tanpa mampir lama-lama, Hana dan Lucas segera kembali ke Seoul
supaya bisa ikut kelas hari Sabtu (tepatnya, Lucas berharap mereka bisa
menginap di rumah singgah tapi Hana kekeh untuk pulang karena mau ikut kelas
hari Sabtu).
**********
Hari-hari berikutnya berjalan
lebih normal dari yang Hana kira. Ia disibukkan dengan pelajaran tambahan
menjelang ujian kenaikan kelas dan hanya punya waktu melamun di malam hari. Dan
semua waktu melamunnya itu habis untuk memikirkan Taeyong.
Wooseok kembali ke Korea sebulan
kemudian. Dan saat Hana menyambanginya, pria itu cuma memberikan informasi ala
kadarnya dengan nada pesimis. Taeyong
masih hidup, katanya. Semua orang
berusaha menyembuhkannya. Kita berdoa saja.
Wooseok juga menceritakan soal
ayah Taeyong yang ternyata merupakan atasannya di lab dan beberapa info
mengejutkan lainnya. Semua informasi tersebut merupakan hal terakhir yang Hana
dengar tentang Taeyong sampai ia naik ke kelas 11.
Bulan demi bulan berlalu dengan
amat lambat. Lucas menghilang saat tahun ajaran baru. Banyak gosip yang beredar
kalau dia tidak naik kelas. Hana tentu tak mau asal percaya, tapi Lucas tak
bisa dihubungi dan Hana sedang tak ada di Seoul saat itu. Ia menghabiskan
seluruh liburannya di rumah singgah, dan sepulangnya dari Mungyeong, tepatnya saat
Hana menyambangi rumah sang pria, rumah itu ternyata sudah kosong. Ibu Hana
bilang kalau keluarganya kembali ke Hongkong tapi tak ada yang tahu pasti. Dan
itulah akhirnya, Lucas menghilang dari kehidupan Hana semisterius kemunculannya.
Hana tak ingat ada kejadian
penting lain saat menjalani masa-masa SMA-nya. Yang pasti, dia rutin
mengunjungi rumah singgah tiap liburan dan sebaliknya, beberapa anak asuh akan menginap
di rumahnya di Seoul saat mereka liburan. Kabar tentang Taeyong cuma ia dengar
sesekali, itu pun cuma kalimat yang sama berulang-ulang. ‘Keadaannya membaik’.
Hana tak tahu apa maksud ‘membaik’ itu, dan ia pun tak berani bertanya lebih
jauh karena nampaknya yang memberi informasi pun sama tak tahunya dengannya. Mungkin,
kalimat ‘keadaannya membaik’ dari Bunda Sejeong atau Wooseok itu hanya sekadar
ungkapan doa. Atau basa-basi semata. Mungkin Taeyong memang sungguh membaik.
Atau mungkin sebaliknya. Tak ada yang tahu.
**********
“2/10 itu sama saja dengan 0,2.”
[Aku yakin tadi kau bilang 1/5
lah yang 0,2.]
“Ya, 1/5 memang 0,2, tapi 2/10
juga 0,2.” Hana menjelaskan dengan tidak sabar. Dia sudah berulang kali
mengatakan bahwa 2/10 bisa diperkecil jadi 1/5, tapi lawan bicaranya tak
kunjung mengerti.
[Aku mengerti sekarang,] katanya.
Hana mendesah dan menggeleng, yakin
sejuta persen kalau sebentar lagi ia akan mendengar kesimpulan yang konyol.
[Jadi intinya, semua angka yang
dipisahkan dengan garis adalah 0,2.]
“Apa-apaan, tentu saja tidak!
Bagaimana bisa kau naik kelas?”
[Noona, bisakah kau mengajariku
dengan lebih lembut? Mana ada calon dokter galak sepertimu, yang ada pasiennya
kabur semua.]
“Berisik. Memangnya ke mana sih
kakak-kakakmu? Mana Melvin? Mana Eun Ki? Somin? Hyun Mi? Won TaK? Ki Won? Mana
Bunda Sejeong?”
[Aku tak tahu. Aku tak peduli.
Mereka semua guru yang payah. Aku lebih suka diajari Noona.]
Hana mengusap wajahnya sambil meringis mohon
ampun. Jeha sekarang sudah kelas 6 SD dan ia selalu menghubungi Hana 10 menit
sekali untuk bertanya ini-itu. Dia menanyakan semua hal kepada Hana seolah
gadis itu lebih lengkap dari Google.
“Jeha, kelas biomedikku akan
dimulai 5 menit lagi.”
[Kalau begitu ajari aku 5 menit
lagi. Apa ¼ juga 0,2?]
“1/4 itu 0,25.”
[Ya ampun, kenapa berubah lagi?]
Hana benar-benar tak tahan. “Hei,
dengar, aku akan ke Mungyeong minggu depan dan aku bersumpah akan mengajarimu.
Sekarang lebih baik kau tidur siang saja.”
[Ini sudah terlalu sore untuk
tidur siang.]
“Kalau begitu tidur sore.”
[Tidak ada yang namanya tidur sore,
Noona, ya ampun,] keluhnya, dengan nada seolah Hana sangatlah bodoh.
Hana menggeram, kemudian
mengembalikan buku yang berusaha ia baca kembali ke rak di belakangnya. Bersiap
meninggalkan perpustakaan. “Dengar, Jehaku sayang, aku bersumpah akan ke Mungyeong
dan mengajarimu pecahan desimal. Tapi tidak sekarang, dan tidak besok, dan
tidak juga lusa. Kumohon jangan telepon-telepon dulu. Aku harus buat presentasi
dan tugasku menumpuk. Kuliahku sedang sibuk-sibuknya,” kata Hana, menyandang
tasnya di bahu kanan sementara tangannya yang tidak memegang handphone memeluk
dua rim kertas HVS berisi penelitian tentang vaksin karies gigi.
[Noona janji?]
“Ya.”
[Oke, kutunggu,] katanya, [Jangan
lupa bawa oleh-oleh.]
“Iya, iya, SMS saja mau dibelikan
apa. Jangan telepon. Sudah ya, kututup sekarang.”
Hana langsung mematikan
sambungannya dan menyelipkan ponselnya ke saku jins. Lantas setengah berlari
menuju kelasnya di lantai 3.
Saat itu, ponselnya berbunyi
lagi. Hana sudah yakin itu adalah Jeha jadi ia mengabaikannya. Jeha memang
gemar melakukan apa yang dilarang kepadanya, itu hobi nomor satunya.
Setibanya di lantai 3, ponselnya
masih saja berbunyi. Dalam satu gerakan cepat, Hana mengambil ponselnya itu dan
hendak menonaktifkannya. Tapi alih-alih nomor Jeha, ia malah mendapati
serangkaian nomor asing di layarnya. Hana melirik ke dalam kelas dan begitu
tahu profesornya belum datang, ia pun bersandar di samping pintu masuk dan
mengangkat panggilan itu.
“Halo.”
[…]
“Halo? Ini siapa?” tanya Hana
galak.
[Hana?]
“Ya, ini Hana. Kau siapa? Ada
perlu apa?”
[Han.]
“Apa?”
[Hana.]
“Ya ampun, kau siapa, sih?”
[Aku…pacarmu.]
Hana terkesiap mendengar jawaban
itu, “Kau sinting, ya! Aku tidak punya pacar. Siapa ini?”
[J-jadi aku sudah bukan…pacarmu?]
Saat itu, Hana melihat
profesornya yang sudah bungkuk berjalan ke arahnya—menuju kelas. “Hei, dengar,
aku tahu aku sedang dikerjai. Dari mana kau mendapat nomorku? Hyo Jin?
Kyungsoo? Bajingan yang mana lagi, eh? Katakan pada mereka berhenti
menjodoh-jodohkanku! Aku tidak tertarik pada cowok mana pun di muka bumi. Aku
akan menunggu Taeyong walaupun itu artinya aku tidak akan menikah seumur
hidupku. Dan ya! Taeyong itu nyata! Itu urusan mereka jika mereka tidak
percaya, tapi aku sungguh tidak bohong! Dia bukan cowok khayalanku! Aku
bersumpah dia nyata.”
[…]
“Profesorku sudah semakin dekat.
Kututup teleponnya.”
[Han,]
“Berhenti memanggilku, dasar—”
[Aku Taeyong.]
**********
Pernyataan itu terngiang-ngiang
di kepala Hana selama ia berlari. Kalau benar dia Taeyong, kenapa Hana tak
mengenali suaranya? Tapi tak mungkin dia dikerjai, kan? Tak mungkin
teman-temannya sejahat ini, kan? Hana bahkan sampai meninggalkan kelasnya
persis di depan hidung profesornya sendiri, juga membiarkan dua rim kertas
penelitiannya tercecer dari pelukannya—sebelum ia memutuskan benar-benar
melepasnya di dekat bak sampah.
Dengan debaran jantung menggila,
Hana meninggalkan kampusnya menuju halte bus. Kira-kira butuh 20 menit baginya
untuk sampai di rumah dan selama itu jantungnya terus mencoba menggedor-gedor
dada. Ia bahkan terlalu gelisah untuk duduk. Gadis itu berdiri
berjingkat-jingkat di samping pintu bus, seolah siap berlari sprint ke rumahnya
begitu pintunya terbuka. Hana meringis tiap kali busnya mengerem, karena rasanya
1 detik pun amat sangat berharga. Kalau ia bisa sedetik lebih cepat untuk
menemui Taeyong, kenapa tidak? Dan semua perasaan ini terasa amat menyiksa.
Jika ia tiba di rumah dan mendapati semua ini hanya lelucon, Hana bersumpah
akan menggocoh siapa pun yang membuat lelucon ini.
Begitu pintu bus terbuka, Hana
langsung melompat keluar dan berlari sekuat tenaga. Seseorang meneriakinya
karena melompati palang pembatas, tapi Hana tak mendengarkan. Ia terus berlari
dengan kencang sampai rasanya kakinya melayang.
Hingga tibalah ia di rumahnya. Di
tempat di mana cowok yang mengaku-ngaku sebagai Taeyong itu berada.
Hana mendorong pagar rumahnya
yang pendek dan berjalan masuk dengan napas tersengal. Dari pintu rumahnya yang
terbuka lebar, Hana bisa melihat seseorang tengah duduk di ruang tamunya dan
seketika kakinya langsung lemas.
Ia memaksa kakinya yang lemas itu
untuk melangkah semakin dekat ke pintu. Ia berhasil meraih bingkai pintu, kemudian
mematung di sana. Hana memandang profil kiri sang tamu yang sedang sibuk
membaca potongan brosur AC yang tergeletak di meja. Hana sudah lama sekali tak
melihat Taeyong sampai rasanya ia tak dapat mengenalinya.
Walaupun sedang duduk, Hana tahu
badannya lebih tinggi, dan juga tegap. Rambutnya hitam legam dan kulitnya tak
sepucat yang Hana ingat. Dia bahkan tak pucat sama sekali. Kulitnya merah muda
dan nampak amat hidup. Hana terlalu syok sampai tak ingat untuk bergerak, ia
terus memandangi pria itu dengan saksama dari ambang pintu.
Sadar sedang diperhatikan, sang
tamu berpaling ke arahnya dan seketika Hana merasa semua udara di bumi tersedot
ke angkasa. Hatinya lumer di dada. Matanya memanas dan ia benar-benar merasa
mau pingsan. Ternyata semua ini bukan lelucon. Mungkin dia memang tidak
mengenali profil kirinya, tapi Hana masih bisa mengenali wajahnya dengan baik.
Itu memang Taeyong. Taeyong sungguhan benar-benar tengah duduk di ruang
tamunya. Pria itu berdiri pelan-pelan dan membatu menatap Hana. Mereka tak
berkata apa-apa, cuma saling pandang seolah semua ini tak nyata.
Taeyong benar-benar berbeda—dalam
arti baik. Selain rambut, kini bola matanya juga hitam pekat. Taeyong 5 tahun lalu sudah sangat memukau, tapi sekarang dia bahkan lebih memukau lagi.
“Hei,” kata Taeyong, suaranya
bahkan berbeda juga.
“Hei,” balas Hana.
Itu terdengar canggung sekali,
tapi keduanya tak keberatan. Berdiri satu setengah meter dari satu sama lain,
saling berpandangan dan tersenyum rasanya sudah lebih dari cukup jika mengingat
apa yang terjadi pada keduanya beberapa tahun ini.
“Jadi,” kata Hana perlahan-lahan,
napasnya masih tersengal dan ia yakin itu bukan karena habis berlari. Ini lebih
karena ledakan emosi, adrenalinnya melesak ke seluruh penjuru tubuh dan membuatnya sesak napas. “Kau sudah
sembuh?”
“Ya.”
“Ya?”
“Ya, aku sembuh total.”
“Itu artinya kau tak akan pergi
dariku lagi?”
Taeyong menggeleng.
“Bagus.”
Mereka saling berpandangan lagi.
Dan Hana terus-terusan menatap Taeyong dengan wajah memerah penuh haru. Walau
keduanya tak banyak bicara, tapi atmosfer di ruang tamu benar-benar berbeda. Seolah
perasaan rindu dan bahagia keduanya menguar dari tubuh masing-masing dan
membentuk aura baru yang menyelimuti ruang tamu.
“Jadi,” kali ini gantian Taeyong
yang berkata pelan, “kapan aku bisa memelukmu?”
Hana tertawa kecil, lalu melangkah
mendekati Taeyong yang meregangkan tangan dan masuk ke dalam pelukannya. Tawa
kecilnya berubah jadi tangisan kecil, lalu tangisan yang lebih besar.
“Ya ampun, aku nyaris gila memikirkanmu.
Apa kau pikir menunggu bertahun-tahun itu gampang? Terakhir kali aku
meneleponmu kau bilang kau baik-baik saja tapi besoknya sekujur tubuhmu membiru
dan kau dibawa ke Amerika. Apa-apaan itu! Bayangkan sesyok apa aku!” Hana
merajuk.
Taeyong cuma tersenyum. Ia
mengusap kepala Hana, membenamkan wajahnya di sana lalu bergumam lembut,
“maafkan aku.”
“Kau tak mengerti. Aku ketakutan
sekali saat itu.”
“Aku juga takut, Han,” jawab
Taeyong segera. Suaranya bergetar. Mereka sedikit menjauh satu sama lain dan
saling memandang. “Aku bangun di atas meja operasi super dingin, tidak pakai
baju dan dikelilingi orang-orang asing yang sedang menjahit tubuhku. Aku juga
takut sekali. Tapi saat tahu mereka bisa menyembuhkanku, aku bertahan.
“Gedung laboratorium tempatku
tinggal benar-benar terpencil. Mereka punya penjagaan super ketat dan ada
banyak manusia unik di sana. Itu sebabnya kau dan eomma tak banyak mendapatkan
informasi selama ini. Bukan karena keadaanku memburuk, tapi karena memang tidak
boleh ada informasi apa pun yang keluar dari gedung itu. Mereka punya alat-alat
canggih dan selama bertahun-tahun ini, aku melihat rambut dan mataku
berangsur-angsur menghitam, dan tubuhku semakin lama semakin hangat dan yang
bisa kubayangkan hanyalah bertahan selama mungkin, sampai aku benar-benar
sembuh. Walau rasanya menyakitkan sekali, walau rasanya amat menakutkan, tapi
aku mau sembuh. Dan mereka bilang aku boleh kembali ke Korea jika seluruh DNA
es-ku sudah terpisah. Jadi semengerikan apa pun pengobatan mereka, sesakit apa pun
jarum suntik atau selang panjang yang dimasukkan ke dalam tubuhku, aku
menahannya. Demi kau. Demi eomma. Demi bisa melihat kalian dan hidup bersama
kalian lagi.”
Taeyong bicara dengan suara
bergetar. Matanya memerah dan ia memandang Hana seolah sedang kesakitan. Seolah
memikirkannya saja membuatnya kesakitan.
Hana mengulurkan tangannya dan
membelai pipi Taeyong. Hidungnya terasa sakit karena menahan tangis. “Maafkan
aku sudah berani-beraninya mengeluh di hadapanmu. Aku tak tahu segalanya
sesulit itu.”
“Tidak. Bukan itu maksudku.”
“Ya. Aku mengerti. Tapi tenang
saja, semuanya sudah berakhir. Penderitaanmu sudah berakhir.”
“Tidak, tidak begitu, ada banyak
orang baik juga di sana. Mereka mengajariku banyak hal. Aku sudah bisa membaca
dan berhitung, dan bicara bahasa inggris. Dan aku juga jadi dekat dengan
ayahku. Semuanya tidak sepenuhnya buruk.”
“Ayahmu?”
“Ya.”
“Profesor Baek?”
“Kau tahu ayahku?”
“Wooseok Oppa menceritakannya.”
“Dia orang baik,” kata Taeyong
segera, “Eomma membencinya tapi aku tidak. Dia baik.”
Hana mengangguk, membelai pipi
Taeyong lagi. Dan Taeyong bersikap seperti anak kucing, sengaja mengusapkan
wajahnya di telapak tangan Hana untuk menggodanya. Hana tertawa terisak dibuatnya.
Hana tahu apa yang terjadi antara
Bunda Sejeong dan Profesor Baek di masa lalu. Dan ia merasa tak punya hak untuk
membela siapa pun. Hana yakin mereka pasti kesulitan untuk berpikir jernih saat
itu. Mereka masih muda, baru punya anak, dan anaknya itu berada di ambang
kematian. Keduanya pasti punya instingnya sendiri-sendiri untuk melindungi
Taeyong.
“Han.”
“Ya?” Hana tersadar. Taeyong
masih setengah memeluknya, dan dipeluk Taeyong tak pernah terasa sehangat ini.
“Terima kasih sudah menungguku.”
“Ya ampun, tentu saja.”
“Harusnya aku tak bilang begitu.
Bagaimana jika aku tak pernah kembali?”
“Apa gunanya mengandaikan sesuatu
yang tak terjadi? Kau di hadapanku sekarang dan aku tak akan membiarkanmu pergi
lagi.”
Taeyong tersenyum, kemudian
menarik Hana lebih dekat ke sisinya, menggenggam tangannya, “Kalau begitu
ikut aku.”
“Ke mana?”
“Ke mana pun,” kata Taeyong,
menautkan jari-jari mereka. “Mulai sekarang, ayo bersama-sama terus.”
“Besama-sama terus?”
“Ya, seperti dulu. Atau bahkan
lebih dari itu,” katanya, menekankan hidungnya di jemari mereka yang bertautan.
“Kali ini biar aku yang bacakan komiknya.”
“Ya ampun, komik?”
“Ya, atau buku apa pun yang kau
mau.”
“Oke,” jawab Hana, suaranya tercekat.
“Kau mau?”
“Ya.”
“Aku bisa bacakan ensiklopedia
atau kamus, atau buku tebal lainnya, aku bisa baca apa saja sekarang. Aku akan
membacakanmu semua buku di dunia sampai suaraku habis.”
Hana mengusap matanya, tersenyum
dan menangis. Ia menyukai gagasan itu setengah mati. “Oke.”
“Sungguh?”
“Ya.”
Saat itu, Taeyong merasa dunianya
menjadi lebih cerah, seolah ada pelangi di mana-mana. Taeyong balas tersenyum,
memandang Hana dan menyentuh pipinya. “Aku benar-benar merindukanmu.”
“Apalagi aku.”
END
APALAGI AKU :”(
Aku kangen banget nulis huhu
Vampire bride masih dalam proses penulisan (dan aku cuma bisa nulis di
hari libur) semoga part 2-nya bisa kepublish bulan depan :(
Makasih ya kalian yg udah baca. Maaf kebanyakan narasi, maaf kalo
kurang ngefeel, maaf kl kecepetan, maaf kalo ceritanya gaje, maaf kl ada
kesalahan detail di ff ini, dan maaf buat apa pun yg g sesuai sama ekspektasi
kalian… I already did my best tapi aku tahu g ada cerita yg flawless
Semoga ada yang suka ya hehe
Babay^^
Comments
Post a Comment