Freeze #13 (healed)




Setibanya di rumah singgah, Wooseok langsung melepas gelang di tangan Taeyong sambil komat-kamit meminta maaf. Wajahnya tegang dan ia terus bergumam dengan bibir bergetar; kenapa gelangnya masih belum dilepas juga?, ya ampun ya ampun ya ampun, dia begini karenaku, Taeyong maafkan aku, dan gumaman tidak jelas lainnya.


Melihat keributan itu, seluruh anak di rumah singgah berhamburan ke lokasi pingsannya Taeyong. Mereka semua panik melihat kondisi sang pria yang amat mengkhawatirkan. Tubuhnya biru keunguan alih-alih pucat, dan dia tergeletak di selasar penghubung antara gedung utama dan gedung terlarang.

Bunda Sejeong yang baru pulang dari kantor polisi berlari kencang menuju kerumunan. Ia berteriak histeris begitu tahu Taeyong lah yang menjadi pusat kerumunan itu. Dan bahkan lebih histeris lagi begitu melihat Baek Taewong berjongkok di sebelah Wooseok.


“APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI!” teriaknya. Ia menarik jubah profesor Baek dan langsung menghempasnya menjauh. Profesor baek berdiri. Dan pertarungan sengit yang sudah ditahan-tahan selama 15 tahun pun tak bisa dielakkan.


“APA YANG AKU LAKUKAN DI SINI? HARUSNYA AKU YANG BERTANYA BEGITU PADAMU! KAU SENGAJA BERSEMBUNYI DI SINI KARENA TAHU BETAPA TAKUTNYA AKU PADA KOTA INI!”


Sebenarnya Bunda Sejeong tidak mau pertengkarannya menjadi bahan tontonan, tapi begitulah yang terjadi sekarang. Mata anak-anak semuanya beralih dari Taeyong dan Wooseok di lantai dan berpindah pada sang ibu asuh dan pria asing berjubah putih yang saling berteriak.


“Sejeong, sungguh, apa yang kau pikirkan? Kalau kau tak kabur saat itu semuanya tak akan begini!”
“Kalau aku tak kabur saat itu semuanya akan lebih buruk dari ini!”
“Apa yang bisa lebih buruk dari ini hah Lee Sejeong!!”
“Kau!” jeritnya dengan jari menuding. “Bertemu denganmu adalah hal terburuk yang terjadi hari ini dan asal kau tahu aku sudah mengalami banyak hal buruk hari ini!”


“Kau masih marah padaku? Yang benar saja! Kau harus tahu dokter-dokter yang menangani Taeyong dulu adalah orang-orang idiot! Bukan mereka yang menyembuhkan Taeyong, tapi aku. Aku yang membuatnya tetap hidup!”


“Ya ampun, kau semakin tak terkendali. Apa yang membuatmu merasa pantas berlagak jadi Tuhan?”
“Siapa yang berlagak jadi Tuhan! Aku cuma mau kau buka mata! Uang ratusan juta yang kita keluarkan dulu tak berguna sama sekali. Serumku lah yang membuat Taeyong membaik.”


“Jangan bicara soal uang dasar bajingan! Uang kita? Semua itu uangku! Kau lebih peduli dengan cairan-cairan kimia dan tabung bodoh dan komputer sialan dan semua alat konyolmu itu dibanding anakmu sendiri!”


“Kau pikir aku membeli semua itu untuk siapa? Aku membeli semuanya untuk Taeyong! Untuk membuat formula demi menyembuhkannya! Kau kira bahan-bahan itu turun dari langit, huh!”


“Dan kau pikir aku akan berterima kasih untuk itu? Sadarlah kau sudah menghancurkan hidup Taeyong! Kau tak mengerti betapa tak tahu dirinya dirimu! Kalau saja kau kesampingkan egomu untuk membeli semua peralatan ilmuwan konyolmu itu dan menggunakannya untuk pengobatan Taeyong, mungkin dia bisa hidup layaknya anak normal!”


“Aku tahu kau selalu menganggapku konyol!!”
“Karena begitulah adanya!!”
“Membawa kabur Taeyong yang kondisinya sedang riskan adalah tindakan konyol, Sejeong. Apa kau sadar siapa yang lebih konyol?”


“CUKUP! KALIAN BERDUA SAMA-SAMA KONYOL!” teriak Wooseok tak tahan. Bunda Sejeong dan Profesor Baek seketika berhenti dan menoleh padanya.


“Bisakah kalian tunda bertengkarnya?” katanya gemetar. “K-kurasa anak kalian tak bernapas.”
“Apa?” teriak Bunda Sejeong dan Profesor Baek berbarengan.
“Aku tak bisa merasakan denyut nadinya.” Wooseok bicara dengan suara ringkih seolah sedang menahan tangis.


Bunda Sejeong yang mendengar itu langsung membekap mulutnya. Ia terkejut sekali, mukanya langsung pucat dan ia terhuyung ke belakang, hampir pingsan.


“Bawa dia ke mobil!” Profesor Baek berseru sembari membantu Wooseok menggotong Taeyong ke mobilnya—mobil box tinggi milik perusahaan.


Bunda Sejeong merasakan kakinya berubah jadi agar-agar, namun tetap berusaha mengejar mereka.


“Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia begini? Kenapa tak ada yang menjelaskan padaku?!” teriak Bunda Sejeong sementara air matanya meleleh. Saking lemasnya, wanita itu berkali-kali nyaris jatuh. Hyun Mi merangsek untuk merangkulnya.


Profesor Baek membuka bagian belakang mobil box-nya lalu mulai mengintruksikan Wooseok untuk membaringkan Taeyong di ranjang lipat dan memasang infusnya. Mereka berdua kelihatan sibuk dan panik sekali, sementara suara racauan Bunda Sejeong mengiringi kegiatan keduanya. Untuk beberapa saat, racauan itu masih bisa ditolerir. Tapi lama-kelamaan, Bunda Sejeong mulai menyalahkan Wooseok dan membuat konsentrasi pria itu buyar. Profesor Baek tak tahan lagi.


“SEJEONG! AKU BERUSAHA SEMAMPUKU! DIAMLAH!”


Bunda Sejeong meraung makin keras. Kali ini suara Jeha yang merengek ketakutan pun ikut terdengar. Suasana makin keruh. Ki Won dan Won Tak berusaha menenangkannya selama beberapa saat sebelum Eun Ki menggeram. Anak laki-laki itu berbalik badan dan menggotong Jeha di pundaknya, lantas berjalan menjauh. Di belakangnya, semua anak—kecuali Hyun Mi—mengikuti Eun Ki kembali ke rumah singgah. Mengerti kalau tidak seharusnya mereka menjadikan situasi ini sebagai bahan tontonan.


Profesor Baek berusaha mengabaikan situasi tak kondusif di sekitarnya dan mengoperasikan defribiliator. Sementara di hadapannya, Wooseok membuka kemeja Taeyong dan terkesiap melihat betapa birunya tubuh pria itu.


Profesor Baek mengambil paddles dari sisi alatnya lalu mengangguk pada Wooseok. Wooseok balas mengangguk padanya.


“200 Joule, all clear?”
“Clear,” jawab Wooseok dengan suara tercekat menahan tangis. Permukaan paddles yang berlumuran gel pun ditekankan ke dada Taeyong. Sang Profesor mengecek monitor dan menaikkan muatan listriknya.


“360 Joule, all clear?”
“Clear.”


Paddles kembali ditekankan ke rusuk taeyong dan lagi-lagi tak ada yang terjadi. Tubuhnya hanya mengejang sedikit sebelum kembali terkapar. Wooseok menunduk dalam-dalam sambil menggigit bibirnya. Pikiran ‘ini semua salahku’ menggema di kepalanya, membuatnya gila. Perasaannya hancur sekali dan tanpa ia sadari, ia sudah menggebrakkan kepalanya ke sisi mobil.


“YAH WOOSEOK! KENDALIKAN DIRIMU! KITA BELUM SELESAI. SEKALI LAGI!”


Wooseok terisak dan wajahnya memerah. Ia memaksa tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya untuk kembali berlutut di sebelah Taeyong. Profesor Baek memejamkan matanya, berdoa kuat-kuat dalam hati sebelum memberi aba-aba dengan tegas. “360 Joule, all clear?”


“Clear.”


Dada Taeyong kembali ditekan dengan paddles bermuatan listrik. Dan kali ini, Tuhan mengabulkan doa Profesor Baek. Monitornya berbunyi dan aktivitas jantung Taeyong akhirnya muncul di sana.


“DIA MASIH HIDUP!” Wooseok berseru penuh syukur.


Bunda Sejeong merasa lega sekali. Ia menekan dadanya dan berlutut sambil menangis. Hyun Mi berjongkok di sebelahnya sambil mengusap-usap punggungnya.


Taeyong memang masih hidup, tapi detakan jantungnya lemah sekali. Detakan itu bisa berhenti kapan saja. Menyadari hal itu, Profesor Baek berdiri dengan sisa tenaganya dan berjalan ke ujung mobil box. Ia menatap Bunda Sejeong seolah sedang meminta tolong. “Sejeong, kali ini… bisakah kau percaya padaku?”


Bunda Sejeong berhenti terisak. Ia mendongak menatap sang pria. Kendati keraguan masih nampak jelas di matanya, wanita itu tetap mengangguk.


“Ya,” katanya. “Ya, sembuhkan dia.”



***********



“Jadi nama cowok super cakep itu Taeyong?” Moojin bertanya penuh minat.
“Wah, kalau pilihannya Taeyong atau Lucas sih sudah jelas aku akan pilih Taeyong.” Ahra turut berkomentar.


“Lucas itu sebenarnya cakep juga, cuma sayang dia idiot,” kata seorang gadis keturunan Jepang bernama Aiko.


Hana cuma menanggapi mereka semua dengan senyum atau kekehan singkat. Daya tarik Taeyong benar-benar luar biasa. Mungkin jika pria itu tak datang ke sekolahnya Senin kemarin, Hana tak akan memiliki selusin anak perempuan bergerombol di mejanya dan mengajaknya berteman. Yeah, kedengarannya memang kurang tulus. Tapi setidaknya dengan adanya pendekatan begini, mereka jadi saling mengenal satu sama lain dan mungkin, jika beruntung, Hana bisa menemukan satu yang tulus.


“Tapi wajar sih, Han. Maksudku, Lucas itu lucu. Dan dia orang pertama yang kau temui.”
“Dan dia tinggi.”
“Rambutnya cokelat keemasan, matanya besar dan bibirnya seksi.”
“Dan jangan lupakan suara beratnya.”


Gadis-gadis yang tadi memuji Taeyong kini dengan kompaknya memuji Lucas.


“Dan sebenarnya jika kita memikirkan ini, wajar sekali dia selalu mengincar anak baru, mereka kan masih belum tahu seburuk apa reputasinya di sekolah.”


“Benar. Untuk urusan itu, kukira kita harus mengakui kalau dia cerdas juga.”


Hana bisa melihat hampir seluruh kepala mengangguk menyetujui ucapan Ye Eun.


“Tapi ya ampun, dia konyol banget!” sahut Moojin. “Aku tak percaya ada orang yang bisa dihukum rutin setiap hari.”


“Kalau anak itu tidak mengubah sikapnya, aku yakin dia pasti akan dikeluarkan.” Aiko menimpali. “Maksudku, coba sebutkan satu guru saja yang menyukainya.” Gadis itu menatap seluruh temannya dengan dramatis sebelum menjawab sendiri. “Tidak ada.”


“Benar. Seandainya para guru membuat rapat darurat, pasti tak akan ada satu pun dari mereka yang mau menyelamatkannya.”


“Heh, suara kalian kedengaran sampai keluar.” Tiba-tiba saja Lucas berjalan masuk dengan santai seolah itu kelasnya. Dia berhenti di samping meja Hana.


“Kalian bisa bicarakan aku lagi nanti, tapi sekarang aku mau pinjam Hana dulu,” katanya, kemudian menoleh pada Hana. “Aku mau bicara denganmu.”


Dua belas anak perempuan yang duduk berkerubung di meja Hana turut mendongak dan menatapnya dengan tatapan ‘bicara saja’.


“Empat mata,” tambah Lucas tegas.
Well, kita bisa tutup mata,” kata Ahra, lalu mereka semua dengan kompak memejam.


Hana terkekeh melihat tingkah teman-teman sekelasnya itu.


“Han, please, di luar.”


Hana berpaling memandang teman-temannya, dan setelah mendapat anggukan setengah hati dari beberapa orang, baru ia berdiri dan mengekor Lucas ke luar.


“Aku minta maaf,” kata sang pria, berbalik badan persis begitu Hana melewati pintu.
“Yeah?”
“Yeah.”
“Untuk?”
“Aku tak tahu,” katanya polos, kemudian melanjutkan dengan suara yang kian memelan, “aku hanya merasa… kau… membenciku.”


“Kau tak tahu?” ulang Hana tak percaya.
“Tapi aku tetap menyesal, Han, sungguh.” Lucas menyambar.
“Bagaimana bisa kau menyesal kalau kau tak tahu apa salahmu?”
“Apa pun itu aku menyesal.”
“Wah, oke,” gumam Hana pelan, masih tak percaya. “Tapi tidak, tidak masalah. Maksudku, kau tak salah apa-apa.”


“Aku tak salah apa-apa?”
“Ya.”
“Lalu kenapa kau menghindariku?”
“Aku tak menghindarimu.”
“Han, please. Aku tidak mati rasa. Aku tahu kau membuang muka tiap kali kita bertemu.”


Hana mendesah dan akhirnya bicara terus terang, “Lucas, kau bohong, kan?” katanya setengah menuduh, “Saat kita mau belajar dan kau bilang kau harus latihan baseball atau apalah… Kau bahkan tak main baseball.”


“Aku mau bilang basket tapi lidahku kepeleset.”
“Jadi kau benar-benar latihan basket?”
“Uh.” Pria itu mendorong rambutnya salah tingkah. “Sebenarnya aku ke rumah Jungwoo,” katanya, nyengir.


“Untuk?”
“Main PS.”


Hana lagi-lagi menghela napas. “Dan kau masih tanya apa salahmu?”


Lucas cuma meringis.


“Maksudku, kalau kau tak berjanji akan mengajariku malam sebelumnya, aku mungkin tak akan sekecewa itu.”


Sebelum Lucas sempat menjawab, Hana buru-buru menyela, “Tapi tidak apa, sungguh. Semua itu ada baiknya. Gara-gara kau pergi begitu saja, Taeyong jadi mengajariku dan entah bagaimana kita jadian.”


Lucas membelalakkan matanya, “Tunggu, kau jadian dengan saudara jauhmu?”


“Err, sebenarnya, dia bukan saudara jauhku.” Hana ikut meringis. Mungkin bukan cuma Lucas yang telah berbohong. Mungkin bukan cuma Lucas yang harus minta maaf di sini. Hana pun sama saja. Dan dia bahkan tak tahu kenapa ia harus berbohong. Apa ia sungguh sesuka itu pada Lucas minggu lalu? Dan bagaimana mungkin perasaan sukanya itu menghilang begitu saja dalam sekejap mata?


Lucas mencerna informasi baru itu dan membuat ekspresi aneh. “Dan kalian tinggal bersama?” tanyanya, dengan sebelah alis terangkat.


“Cuma beberapa hari, kok. Sekarang dia sudah pulang ke rumahnya di Mungyeong.”
“Oh.” Lucas nampak sedikit kecewa. “Bisakah kau sampaikan salamku padanya? Katakan padanya dia manusia terkeren di bumi.”


Hana mendenguskan tawa, “Yeah, tentu.”


“Jadi kau sudah tidak marah lagi, kan?” Pria itu memastikan. “Kalau kau mau, kita bisa istirahat bersama nanti siang.”


“Maaf, kurasa aku akan makan dengan teman-temanku hari ini.”
“Baiklah,” katanya. “Sebenarnya aku juga mau pergi saat istirahat.”
“Pergi?”
“Ya, aku ini banyak urusan.”
“Lalu kenapa kau mengajakku istirahat bersama kalau sebenarnya mau pergi?”
“Aku bisa undur jadwal pergiku kalau kau mau istirahat bareng. Jujur, aku hanya tak mau kau membenciku juga. Sudah banyak orang yang tidak suka padaku. Sangat banyak. Aku tak mau jumlahnya terus bertambah.”


Hana terdiam memandangnya dan menghela napas. “Mungkin kalau kau mengubah sikapmu sedikit, jumlahnya akan berkurang. Kau tahu sendiri bagaimana kau berulah tiap hari. Dan sekarang kau bahkan mau kabur saat jam istirahat,” kata Hana tak habis pikir, sementara suara bising dari kelas di belakangnya semakin menjadi-jadi. “Dengar, Lucas, kau punya segalanya untuk disukai semua orang. Tapi sikapmu ini jadi penghalang besar. Cobalah belajar dengan benar dan jangan biarkan dirimu sendiri terus-terusan kena hukum. Setelah itu lihatlah berapa banyak orang yang berlomba jadi temanmu.”


Lucas mengangkat bahu. Jelas sekali ia hanya menganggap ucapan panjang lebar Hana sebagai angin lalu, “Aku akan memikirkan kata-katamu.”


Hana mengharapkan jawaban yang lebih dari itu, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. “Aku tak yakin apa kau bahkan mendengarkan aku, tapi yah, kuharap kau benar-benar memikirkannya.”


“Aku dengar, kok,” katanya, kemudian melirik ke dalam kelas super bising di belakang mereka—kelas Hana. “Aku senang sekarang kau punya banyak teman.”


“Yeah, aku juga kaget bisa beradaptasi secepat ini,” jawab Hana, walaupun ia tahu semua ini gara-gara Taeyong. “Omong-omong, apa kau kena hukum hari ini?”


“Tidak,” kata Lucas pelan, “tapi Jiae Sonsengnim baru saja mengejekku di depan kelas.”
“Guru fisika?”
“Ya.”
“Apa yang terjadi?”
“Aku bilang padanya kalkulatorku rusak, tapi dia malah bilang yang rusak bukan kalkulatornya tapi kepalaku.”


“Ya ampun, itu kasar sekali.”
“Ya, tapi aku sudah biasa.”
“Jangan bilang begitu.”


Lucas cuma tersenyum menyeringai seolah itu bukan masalah, tapi Hana yakin sekali pria itu kecewa. “Kalau begitu, sampai ketemu lagi, ya. Aku harus menyusun rencana,” katanya.


“Rencana apa?”
“Yah pokoknya rencana. Kau tak akan paham. Dah.” Lucas berlalu.
“Lebih baik kau tidak melakukan ‘itu’ saat istirahat.” Hana sedikit berteriak. Dan yang ia maksud dengan ‘itu’ adalah memanjat pagar belakang sekolah dan kabur saat jam istirahat.


Lucas menoleh padanya dan mendengus konyol, sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kelasnya. Melihat pemandangan itu, Hana sejujurnya merasa iba. Lucas seharusnya ditolong alih-alih dihukum dan dibenci.



**********



Saat sedang berjalan pulang, Hana mengernyit heran begitu memeriksa notifikasi ponselnya. Ada panggilan tak terjawab pukul 10 pagi dari Bunda Sejeong dan pesan suara 7 menit setelahnya. Taeyong tahu dia masih di sekolah pukul 10 pagi, jadi seharusnya itu bukan Taeyong.


Dengan perasaan bingung, Hana mencolokkan earphone ke ponselnya dan mendengarkan pesan suara itu.


Ternyata Taeyong. Suaranya amat serak dan pelan. Hana menekan-nekan tombol volume sampai penuh supaya bisa mendengar apa yang pria itu katakan.


Semakin Hana berusaha mendengarkan kata-katanya, semakin bergejolak perutnya. Taeyong terdengar sangat nelangsa dan ucapannya benar menakutkan. Pria itu jelas-jelas sedang kesakitan. Langkah Hana tanpa sadar terus memelan dan memelan hingga akhirnya benar-benar berhenti.


“Dia kenapa, sih?” ringis Hana panik. Jarinya dengan lincah menekan nomor Bunda Sejeong dan menghubunginya. Tapi tak diangkat.


Hana terus mencoba menghubunginya selama berjalan pulang dan akhirnya, tepat saat ia sampai di rumah, panggilannya diangkat juga.


“Bunda, apa yang terjadi pada Taeyong?” tanya Hana segera setelah sambungannya terhubung.
[Taeyong,] katanya lemah, [Dia pingsan.]
“Apa?”
[Hana, aku tak bisa bicara sekarang. Aku sedang di bandara.]
“Bandara?”
[Nanti kuhubungi lagi.]


Dan sambungannya pun diputus sebelum Hana bisa memikirkan apa-apa. Dia kebingungan sekali. Bandara? Kenapa bandara? Bunda Sejeong tak mungkin jalan-jalan saat Taeyong sedang pingsan, kan?


Hana bertemu ibunya di dapur dan menceritakan sedikit soal pesan suara Taeyong yang menyeramkan. Ia lantas memasuki kamarnya dan mulai mencoba menghubungi Wooseok. Dia tak selera makan dan hatinya gelisah. Apa Taeyong akan dibawa ke Seoul lagi? Tapi kenapa bandara? Apa Taeyong yang dibawa ke bandara? Mau ke mana?


Menghubungi Wooseok sama susahnya dengan menghubungi Bunda Sejeong. Teleponnya baru diangkat jam 9 malam dan itu bahkan bukan suara Wooseok.


“Oppa, apa kau tahu Taeyong pingsan lagi?” sambar Hana menggebu. “Dia…”
[Ini Howon, temannya Wooseok,] sela seorang pria. [Pesawat mereka baru berangkat dan ponsel Wooseok tertinggal di mobil Profesor Baek.]


Hana semakin kebingungan. Dia bergeming sebentar, mengernyit pada layar ponselnya dan bertanya sesopan mungkin, “Maaf, apa aku boleh tahu siapa yang kau maksud dengan mereka?”


[Wooseok, Profesor Baek dan Taeyong.]
“Kau tahu Taeyong?” tanya Hana terkejut.
[Ya, aku timnya Wooseok di lab.] Hana teringat Taeyong memang menyebutkan nama orang di lab di pesan suaranya barusan. Tapi Hana tak ingat siapa tepatnya.


“Baiklah, begini, namaku Hana dan aku adik angkatnya Wooseok Oppa. Boleh aku tahu ke mana mereka pergi?”


[Mereka ke Amerika.]
“Apa?” Hana refleks berteriak. “Berapa lama?”
[Err, aku tak tahu.] Howon terdengar jengkel. Teriakkan Hana membuat telinganya berdengung. [Aku cuma disuruh membawa pulang mobil.]


“Apa Bunda Seje—maksudku, ibunya Taeyong—ikut ke Amerika?”
[Tidak, dia bersamaku. Kami sedang di perjalanan pulang menuju Mungyeong.]


Saat itu, suara serak Howon berganti menjadi suara Bunda Sejeong.


[Hana,] katanya ringkih, kemudian menangis.


Hana ikut menangis. Ia tak tahu harus bicara apa. Kondisi Taeyong pasti serius sekali sampai-sampai Bunda Sejeong yang ultra protektif mengizinkan Taeyong diterbangkan ribuan mil jauhnya dari dirinya.


“Bunda, aku harus apa?”
[Berdoa saja untuknya, ya.]
“Aku akan ke Mungyeong.”
[Untuk apa?]
“Aku tak tahu. Aku ingin melakukan sesuatu. Aku ingin membantu Taeyong, aku ingin membantumu. Aku tahu aku tak berdaya tapi aku tak bisa diam saja. Apa yang harus kulakukan?” kata Hana tersendat-sendat.


[Kau mau membantuku?]
“Ya,” sambar Hana menggebu. “Ya, ya, apa pun akan kulakukan.”
[Kalau begitu bisakah kau bantu aku mencari Melvin dan Somin?] tanyanya hati-hati. [Mereka pergi mencari rumah orangtua angkat Paul di Daegu.]


Hana sudah mengetahui informasi itu dari pesan suara Taeyong jadi ia tak terkejut lagi.


Gadis itu langsung mengangguk. “Tentu. Aku akan ke Daegu sekarang juga.”


[Hana, jangan konyol. Sekarang sudah jam 9.]
“Tidak masalah.”
[Hana, tidak. Pergilah besok pagi. Dan ajak seseorang denganmu. Jangan pergi sendirian. Aku tak mau semakin banyak anakku yang dalam bahaya.] Hana merasa sesuatu yang hangat tumpah di hatinya. Melegakan sekali rasanya mendengar bunda Sejeong menganggapnya sebagai ‘anak’ lagi. Apalagi setelah beberapa bulan ini ia selalu merasa Bunda Sejeong membenci dan bersikap dingin padanya.


[Aku sudah menghubungi panti asuhan tempat aku menitipkan Paul 6 tahun lalu dan mereka bilang, Melvin dan Somin tidak ke sana. Itu artinya anak-anak itu pergi ke Daegu tanpa membawa alamat apa pun.]


Hana sudah syok sekali mengetahui seorang Somin yang manis dan penurut bisa terlibat dalam pemberontakan seperti ini. Tapi ia lebih syok lagi saat tahu bahwa perencanaan mereka ternyata amatlah buruk. Serius, apa yang mereka pikirkan? Apa mereka kira mereka bisa mengetuk ribuan rumah di Daegu satu per satu dan bertanya apa di sini ada yang namanya Paul?


“Baiklah, aku akan pergi besok.”
[Ya, pergilah besok dan ajak temanmu. Bunda akan kirimkan alamat orangtua angkat Paul di Daegu lewat ponselku.]


“Aku mengerti.”
[Terima kasih banyak, Sayang.]


Hana merasa hatinya mengembang lagi.


“Sama-sama, Bunda,” jawabnya tulus, “dan bisakah kau kabari aku jika ada berita apa pun soal Taeyong?”


[Ya, tentu.]
“Terima kasih.”
[Ya.]



**********



Hana tahu Taeyong pasti akan kesal setengah mati jika tahu ia pergi ke Daegu bersama Lucas. Tapi Hana tak punya pilihan lain. Gadis itu memang punya banyak teman baru, tapi hubungan pertemanan mereka masih terlalu dini untuk misi ini, mereka bahkan belum menyimpan nomor handphone satu sama lain. Lagi pula, belum tentu mereka mau ketemuan pagi-pagi sekali di stasiun kereta dan diajak bolos ke Daegu untuk mencari anak hilang. Hana berpikir ia justru akan kehilangan teman-teman barunya itu jika ia benar-benar mengajak mereka melakukan hal tersebut. Satu-satunya nama yang bisa ia pikirkan semalam hanyalah Lucas; mereka bertetangga, pria itu hobi membolos dan dia selau senang diajak jalan-jalan—walaupun Hana tak akan menyebut agendanya hari ini sebagai jalan-jalan, tapi jelas Lucas menganggapnya begitu. Dia semringah sekali sampai rasanya mustahil bagi Hana untuk tidak tertular.


Belum sampai mereka di Daegu, Bunda Sejeong mengiriminya pesan kalau kepolisian Daegu sudah menemukan Melvin dan Somin. Jadi Hana dan Lucas tak perlu repot-repot mencari dan langsung menuju kantor polisi.


“Apa Bunda menyuruh Noona ke sini?” tanya Melvin sengit, tepat setelah mereka semua keluar dari kantor polisi. “Padahal sudah kubilang di suratnya kalau kami akan pulang besok. Aku cuma harus ketemu Paul.”


“Dan kau tahu di mana dia tinggal?” Hana balik bertanya tak kalah sengit.


Melvin dan Somin saling pandang dan terdiam.


“Aku punya alamat orangtua angkatnya Paul jadi ayo kita ke sana dulu sebelum pulang,” tambah Hana, sontak membuat Melvin dan Somin syok.


“N-noona serius?”
“Ya, kenapa tidak? Berhubung kita sudah di sini, jangan biarkan perjalanan ini sia-sia. Aku dan Lucas sampai membolos demi kalian. Jadi, ayo luruskan semuanya pada Paul. Kau sudah tahu harus bicara apa?”


“Ya. Somin sudah buat dialognya,” kata Melvin.


Somin yang berdiri di sebelahnya langsung mengangguk bangga, “Aku sudah membuat kata-katanya sebaik mungkin, di mana kita bisa bicara terus terang tanpa harus menyudutkan Bunda Sejeong maupun menyebut-nyebut Taeyong Oppa.”


Mendengar nama Taeyong disebut, Hana merasa hatinya mencelos. Dua anak di depannya ini belum tahu menahu soal kondisi Taeyong dan mungkin sebaiknya tak usah tahu dulu.


Lucas yang dalam perjalanan ini betugas sebagai bodyguard sekaligus navigator dadakan berhasil menemukan rumah Paul dalam waktu yang tergolong singkat. Dan walaupun tidak seperti yang semua orang harapkan, pertemuan yang sudah ditunggu-tunggu pun terjadi.


Hana tak bisa menggambarkan betapa anti klimaksnya pertemuan itu. Melvin yang antusias luar biasa selama di jalan tiba-tiba mati kutu di hadapan Paul. Dia benar-benar jadi pendiam. Mungkin terkejut karena teman masa kecilnya itu kini kelihatan berbeda sekali. Paul yang sekarang sudah berumur 14 tahun itu tumbuh sangat tinggi, badannya jauh lebih besar dari yang Melvin ingat dan pembawaannya nampak amat dewasa. Ia bahkan nyaris tak mengingat apa-apa tentang gedung terlarang dan apa yang terjadi 6 tahun silam di sana. Sepertinya orangtua angkatnya memberikan pengobatan trauma yang bagus. Alhasil, kedua anak laki-laki itu cuma bicara dengan suasana canggung yang aneh (seolah mereka adalah teman akrab yang dipaksakan) sementara Hana, Lucas dan Somin memandangi mereka serba salah.


Sebelum pulang, keduanya sepakat untuk bertukar nomor telepon (Melvin meminjam ponsel Hana karena ia tak tahu nomor telepon Bunda Sejeong), lantas keduanya berpelukan dengan canggung. Melvin cuma setinggi dada Paul dan badannya yang kurus menghilang saat Paul memeluknya. Hana sampai memalingkan wajah karena pemandangan itu aneh sekali untuk dilihat.


Namun, walaupun benar-benar anti klimaks (dialog Somin bahkan tak banyak terpakai), tapi setidaknya rasa penasaran Melvin sudah hilang. Paul baik-baik saja. Dia masih hidup, tidak trauma dan punya keluarga yang menyayanginya. Dan Melvin merasa hatinya lebih damai sekarang.


Mereka pulang ke rumah singgah di Mungyeong dan tanpa mampir lama-lama, Hana dan Lucas segera kembali ke Seoul supaya bisa ikut kelas hari Sabtu (tepatnya, Lucas berharap mereka bisa menginap di rumah singgah tapi Hana kekeh untuk pulang karena mau ikut kelas hari Sabtu).



**********



Hari-hari berikutnya berjalan lebih normal dari yang Hana kira. Ia disibukkan dengan pelajaran tambahan menjelang ujian kenaikan kelas dan hanya punya waktu melamun di malam hari. Dan semua waktu melamunnya itu habis untuk memikirkan Taeyong.


Wooseok kembali ke Korea sebulan kemudian. Dan saat Hana menyambanginya, pria itu cuma memberikan informasi ala kadarnya dengan nada pesimis. Taeyong masih hidup, katanya. Semua orang berusaha menyembuhkannya. Kita berdoa saja.


Wooseok juga menceritakan soal ayah Taeyong yang ternyata merupakan atasannya di lab dan beberapa info mengejutkan lainnya. Semua informasi tersebut merupakan hal terakhir yang Hana dengar tentang Taeyong sampai ia naik ke kelas 11.


Bulan demi bulan berlalu dengan amat lambat. Lucas menghilang saat tahun ajaran baru. Banyak gosip yang beredar kalau dia tidak naik kelas. Hana tentu tak mau asal percaya, tapi Lucas tak bisa dihubungi dan Hana sedang tak ada di Seoul saat itu. Ia menghabiskan seluruh liburannya di rumah singgah, dan sepulangnya dari Mungyeong, tepatnya saat Hana menyambangi rumah sang pria, rumah itu ternyata sudah kosong. Ibu Hana bilang kalau keluarganya kembali ke Hongkong tapi tak ada yang tahu pasti. Dan itulah akhirnya, Lucas menghilang dari kehidupan Hana semisterius kemunculannya.


Hana tak ingat ada kejadian penting lain saat menjalani masa-masa SMA-nya. Yang pasti, dia rutin mengunjungi rumah singgah tiap liburan dan sebaliknya, beberapa anak asuh akan menginap di rumahnya di Seoul saat mereka liburan. Kabar tentang Taeyong cuma ia dengar sesekali, itu pun cuma kalimat yang sama berulang-ulang. ‘Keadaannya membaik’. Hana tak tahu apa maksud ‘membaik’ itu, dan ia pun tak berani bertanya lebih jauh karena nampaknya yang memberi informasi pun sama tak tahunya dengannya. Mungkin, kalimat ‘keadaannya membaik’ dari Bunda Sejeong atau Wooseok itu hanya sekadar ungkapan doa. Atau basa-basi semata. Mungkin Taeyong memang sungguh membaik. Atau mungkin sebaliknya. Tak ada yang tahu.



**********



“2/10 itu sama saja dengan 0,2.”
[Aku yakin tadi kau bilang 1/5 lah yang 0,2.]
“Ya, 1/5 memang 0,2, tapi 2/10 juga 0,2.” Hana menjelaskan dengan tidak sabar. Dia sudah berulang kali mengatakan bahwa 2/10 bisa diperkecil jadi 1/5, tapi lawan bicaranya tak kunjung mengerti.


[Aku mengerti sekarang,] katanya.


Hana mendesah dan menggeleng, yakin sejuta persen kalau sebentar lagi ia akan mendengar kesimpulan yang konyol.


[Jadi intinya, semua angka yang dipisahkan dengan garis adalah 0,2.]
“Apa-apaan, tentu saja tidak! Bagaimana bisa kau naik kelas?”
[Noona, bisakah kau mengajariku dengan lebih lembut? Mana ada calon dokter galak sepertimu, yang ada pasiennya kabur semua.]


“Berisik. Memangnya ke mana sih kakak-kakakmu? Mana Melvin? Mana Eun Ki? Somin? Hyun Mi? Won TaK? Ki Won? Mana Bunda Sejeong?”


[Aku tak tahu. Aku tak peduli. Mereka semua guru yang payah. Aku lebih suka diajari Noona.]


Hana mengusap wajahnya sambil meringis mohon ampun. Jeha sekarang sudah kelas 6 SD dan ia selalu menghubungi Hana 10 menit sekali untuk bertanya ini-itu. Dia menanyakan semua hal kepada Hana seolah gadis itu lebih lengkap dari Google.


“Jeha, kelas biomedikku akan dimulai 5 menit lagi.”
[Kalau begitu ajari aku 5 menit lagi. Apa ¼ juga 0,2?]
“1/4 itu 0,25.”
[Ya ampun, kenapa berubah lagi?]


Hana benar-benar tak tahan. “Hei, dengar, aku akan ke Mungyeong minggu depan dan aku bersumpah akan mengajarimu. Sekarang lebih baik kau tidur siang saja.”


[Ini sudah terlalu sore untuk tidur siang.]
“Kalau begitu tidur sore.”
[Tidak ada yang namanya tidur sore, Noona, ya ampun,] keluhnya, dengan nada seolah Hana sangatlah bodoh.


Hana menggeram, kemudian mengembalikan buku yang berusaha ia baca kembali ke rak di belakangnya. Bersiap meninggalkan perpustakaan. “Dengar, Jehaku sayang, aku bersumpah akan ke Mungyeong dan mengajarimu pecahan desimal. Tapi tidak sekarang, dan tidak besok, dan tidak juga lusa. Kumohon jangan telepon-telepon dulu. Aku harus buat presentasi dan tugasku menumpuk. Kuliahku sedang sibuk-sibuknya,” kata Hana, menyandang tasnya di bahu kanan sementara tangannya yang tidak memegang handphone memeluk dua rim kertas HVS berisi penelitian tentang vaksin karies gigi.


[Noona janji?]
“Ya.”
[Oke, kutunggu,] katanya, [Jangan lupa bawa oleh-oleh.]
“Iya, iya, SMS saja mau dibelikan apa. Jangan telepon. Sudah ya, kututup sekarang.”


Hana langsung mematikan sambungannya dan menyelipkan ponselnya ke saku jins. Lantas setengah berlari menuju kelasnya di lantai 3.


Saat itu, ponselnya berbunyi lagi. Hana sudah yakin itu adalah Jeha jadi ia mengabaikannya. Jeha memang gemar melakukan apa yang dilarang kepadanya, itu hobi nomor satunya.


Setibanya di lantai 3, ponselnya masih saja berbunyi. Dalam satu gerakan cepat, Hana mengambil ponselnya itu dan hendak menonaktifkannya. Tapi alih-alih nomor Jeha, ia malah mendapati serangkaian nomor asing di layarnya. Hana melirik ke dalam kelas dan begitu tahu profesornya belum datang, ia pun bersandar di samping pintu masuk dan mengangkat panggilan itu.


“Halo.”
[…]
“Halo? Ini siapa?” tanya Hana galak.
[Hana?]
“Ya, ini Hana. Kau siapa? Ada perlu apa?”
[Han.]
“Apa?”
[Hana.]
“Ya ampun, kau siapa, sih?”
[Aku…pacarmu.]


Hana terkesiap mendengar jawaban itu, “Kau sinting, ya! Aku tidak punya pacar. Siapa ini?”


[J-jadi aku sudah bukan…pacarmu?]


Saat itu, Hana melihat profesornya yang sudah bungkuk berjalan ke arahnya—menuju kelas. “Hei, dengar, aku tahu aku sedang dikerjai. Dari mana kau mendapat nomorku? Hyo Jin? Kyungsoo? Bajingan yang mana lagi, eh? Katakan pada mereka berhenti menjodoh-jodohkanku! Aku tidak tertarik pada cowok mana pun di muka bumi. Aku akan menunggu Taeyong walaupun itu artinya aku tidak akan menikah seumur hidupku. Dan ya! Taeyong itu nyata! Itu urusan mereka jika mereka tidak percaya, tapi aku sungguh tidak bohong! Dia bukan cowok khayalanku! Aku bersumpah dia nyata.”


[…]
“Profesorku sudah semakin dekat. Kututup teleponnya.”
[Han,]
“Berhenti memanggilku, dasar—”
[Aku Taeyong.]



**********



Pernyataan itu terngiang-ngiang di kepala Hana selama ia berlari. Kalau benar dia Taeyong, kenapa Hana tak mengenali suaranya? Tapi tak mungkin dia dikerjai, kan? Tak mungkin teman-temannya sejahat ini, kan? Hana bahkan sampai meninggalkan kelasnya persis di depan hidung profesornya sendiri, juga membiarkan dua rim kertas penelitiannya tercecer dari pelukannya—sebelum ia memutuskan benar-benar melepasnya di dekat bak sampah.


Dengan debaran jantung menggila, Hana meninggalkan kampusnya menuju halte bus. Kira-kira butuh 20 menit baginya untuk sampai di rumah dan selama itu jantungnya terus mencoba menggedor-gedor dada. Ia bahkan terlalu gelisah untuk duduk. Gadis itu berdiri berjingkat-jingkat di samping pintu bus, seolah siap berlari sprint ke rumahnya begitu pintunya terbuka. Hana meringis tiap kali busnya mengerem, karena rasanya 1 detik pun amat sangat berharga. Kalau ia bisa sedetik lebih cepat untuk menemui Taeyong, kenapa tidak? Dan semua perasaan ini terasa amat menyiksa. Jika ia tiba di rumah dan mendapati semua ini hanya lelucon, Hana bersumpah akan menggocoh siapa pun yang membuat lelucon ini.


Begitu pintu bus terbuka, Hana langsung melompat keluar dan berlari sekuat tenaga. Seseorang meneriakinya karena melompati palang pembatas, tapi Hana tak mendengarkan. Ia terus berlari dengan kencang sampai rasanya kakinya melayang.


Hingga tibalah ia di rumahnya. Di tempat di mana cowok yang mengaku-ngaku sebagai Taeyong itu berada.


Hana mendorong pagar rumahnya yang pendek dan berjalan masuk dengan napas tersengal. Dari pintu rumahnya yang terbuka lebar, Hana bisa melihat seseorang tengah duduk di ruang tamunya dan seketika kakinya langsung lemas.


Ia memaksa kakinya yang lemas itu untuk melangkah semakin dekat ke pintu. Ia berhasil meraih bingkai pintu, kemudian mematung di sana. Hana memandang profil kiri sang tamu yang sedang sibuk membaca potongan brosur AC yang tergeletak di meja. Hana sudah lama sekali tak melihat Taeyong sampai rasanya ia tak dapat mengenalinya.


Walaupun sedang duduk, Hana tahu badannya lebih tinggi, dan juga tegap. Rambutnya hitam legam dan kulitnya tak sepucat yang Hana ingat. Dia bahkan tak pucat sama sekali. Kulitnya merah muda dan nampak amat hidup. Hana terlalu syok sampai tak ingat untuk bergerak, ia terus memandangi pria itu dengan saksama dari ambang pintu.


Sadar sedang diperhatikan, sang tamu berpaling ke arahnya dan seketika Hana merasa semua udara di bumi tersedot ke angkasa. Hatinya lumer di dada. Matanya memanas dan ia benar-benar merasa mau pingsan. Ternyata semua ini bukan lelucon. Mungkin dia memang tidak mengenali profil kirinya, tapi Hana masih bisa mengenali wajahnya dengan baik. Itu memang Taeyong. Taeyong sungguhan benar-benar tengah duduk di ruang tamunya. Pria itu berdiri pelan-pelan dan membatu menatap Hana. Mereka tak berkata apa-apa, cuma saling pandang seolah semua ini tak nyata.


Taeyong benar-benar berbeda—dalam arti baik. Selain rambut, kini bola matanya juga hitam pekat. Taeyong 5 tahun lalu sudah sangat memukau, tapi sekarang dia bahkan lebih memukau lagi.


“Hei,” kata Taeyong, suaranya bahkan berbeda juga.
“Hei,” balas Hana.


Itu terdengar canggung sekali, tapi keduanya tak keberatan. Berdiri satu setengah meter dari satu sama lain, saling berpandangan dan tersenyum rasanya sudah lebih dari cukup jika mengingat apa yang terjadi pada keduanya beberapa tahun ini.


“Jadi,” kata Hana perlahan-lahan, napasnya masih tersengal dan ia yakin itu bukan karena habis berlari. Ini lebih karena ledakan emosi, adrenalinnya melesak ke seluruh penjuru tubuh dan membuatnya sesak napas. “Kau sudah sembuh?”


“Ya.”
“Ya?”
“Ya, aku sembuh total.”
“Itu artinya kau tak akan pergi dariku lagi?”


Taeyong menggeleng.


“Bagus.”


Mereka saling berpandangan lagi. Dan Hana terus-terusan menatap Taeyong dengan wajah memerah penuh haru. Walau keduanya tak banyak bicara, tapi atmosfer di ruang tamu benar-benar berbeda. Seolah perasaan rindu dan bahagia keduanya menguar dari tubuh masing-masing dan membentuk aura baru yang menyelimuti ruang tamu.


“Jadi,” kali ini gantian Taeyong yang berkata pelan, “kapan aku bisa memelukmu?”


Hana tertawa kecil, lalu melangkah mendekati Taeyong yang meregangkan tangan dan masuk ke dalam pelukannya. Tawa kecilnya berubah jadi tangisan kecil, lalu tangisan yang lebih besar.


“Ya ampun, aku nyaris gila memikirkanmu. Apa kau pikir menunggu bertahun-tahun itu gampang? Terakhir kali aku meneleponmu kau bilang kau baik-baik saja tapi besoknya sekujur tubuhmu membiru dan kau dibawa ke Amerika. Apa-apaan itu! Bayangkan sesyok apa aku!” Hana merajuk.


Taeyong cuma tersenyum. Ia mengusap kepala Hana, membenamkan wajahnya di sana lalu bergumam lembut, “maafkan aku.”


“Kau tak mengerti. Aku ketakutan sekali saat itu.”
“Aku juga takut, Han,” jawab Taeyong segera. Suaranya bergetar. Mereka sedikit menjauh satu sama lain dan saling memandang. “Aku bangun di atas meja operasi super dingin, tidak pakai baju dan dikelilingi orang-orang asing yang sedang menjahit tubuhku. Aku juga takut sekali. Tapi saat tahu mereka bisa menyembuhkanku, aku bertahan.


“Gedung laboratorium tempatku tinggal benar-benar terpencil. Mereka punya penjagaan super ketat dan ada banyak manusia unik di sana. Itu sebabnya kau dan eomma tak banyak mendapatkan informasi selama ini. Bukan karena keadaanku memburuk, tapi karena memang tidak boleh ada informasi apa pun yang keluar dari gedung itu. Mereka punya alat-alat canggih dan selama bertahun-tahun ini, aku melihat rambut dan mataku berangsur-angsur menghitam, dan tubuhku semakin lama semakin hangat dan yang bisa kubayangkan hanyalah bertahan selama mungkin, sampai aku benar-benar sembuh. Walau rasanya menyakitkan sekali, walau rasanya amat menakutkan, tapi aku mau sembuh. Dan mereka bilang aku boleh kembali ke Korea jika seluruh DNA es-ku sudah terpisah. Jadi semengerikan apa pun pengobatan mereka, sesakit apa pun jarum suntik atau selang panjang yang dimasukkan ke dalam tubuhku, aku menahannya. Demi kau. Demi eomma. Demi bisa melihat kalian dan hidup bersama kalian lagi.”


Taeyong bicara dengan suara bergetar. Matanya memerah dan ia memandang Hana seolah sedang kesakitan. Seolah memikirkannya saja membuatnya kesakitan.


Hana mengulurkan tangannya dan membelai pipi Taeyong. Hidungnya terasa sakit karena menahan tangis. “Maafkan aku sudah berani-beraninya mengeluh di hadapanmu. Aku tak tahu segalanya sesulit itu.”


“Tidak. Bukan itu maksudku.”
“Ya. Aku mengerti. Tapi tenang saja, semuanya sudah berakhir. Penderitaanmu sudah berakhir.”
“Tidak, tidak begitu, ada banyak orang baik juga di sana. Mereka mengajariku banyak hal. Aku sudah bisa membaca dan berhitung, dan bicara bahasa inggris. Dan aku juga jadi dekat dengan ayahku. Semuanya tidak sepenuhnya buruk.”


“Ayahmu?”
“Ya.”
“Profesor Baek?”
“Kau tahu ayahku?”
“Wooseok Oppa menceritakannya.”
“Dia orang baik,” kata Taeyong segera, “Eomma membencinya tapi aku tidak. Dia baik.”


Hana mengangguk, membelai pipi Taeyong lagi. Dan Taeyong bersikap seperti anak kucing, sengaja mengusapkan wajahnya di telapak tangan Hana untuk menggodanya. Hana tertawa terisak dibuatnya.


Hana tahu apa yang terjadi antara Bunda Sejeong dan Profesor Baek di masa lalu. Dan ia merasa tak punya hak untuk membela siapa pun. Hana yakin mereka pasti kesulitan untuk berpikir jernih saat itu. Mereka masih muda, baru punya anak, dan anaknya itu berada di ambang kematian. Keduanya pasti punya instingnya sendiri-sendiri untuk melindungi Taeyong.


“Han.”
“Ya?” Hana tersadar. Taeyong masih setengah memeluknya, dan dipeluk Taeyong tak pernah terasa sehangat ini.


“Terima kasih sudah menungguku.”
“Ya ampun, tentu saja.”
“Harusnya aku tak bilang begitu. Bagaimana jika aku tak pernah kembali?”
“Apa gunanya mengandaikan sesuatu yang tak terjadi? Kau di hadapanku sekarang dan aku tak akan membiarkanmu pergi lagi.”


Taeyong tersenyum, kemudian menarik Hana lebih dekat ke sisinya, menggenggam tangannya, “Kalau begitu ikut aku.”


“Ke mana?”
“Ke mana pun,” kata Taeyong, menautkan jari-jari mereka. “Mulai sekarang, ayo bersama-sama terus.”
“Besama-sama terus?”
“Ya, seperti dulu. Atau bahkan lebih dari itu,” katanya, menekankan hidungnya di jemari mereka yang bertautan. “Kali ini biar aku yang bacakan komiknya.”


“Ya ampun, komik?”
“Ya, atau buku apa pun yang kau mau.”
“Oke,” jawab Hana, suaranya tercekat.
“Kau mau?”
“Ya.”
“Aku bisa bacakan ensiklopedia atau kamus, atau buku tebal lainnya, aku bisa baca apa saja sekarang. Aku akan membacakanmu semua buku di dunia sampai suaraku habis.”


Hana mengusap matanya, tersenyum dan menangis. Ia menyukai gagasan itu setengah mati. “Oke.”


“Sungguh?”
“Ya.”


Saat itu, Taeyong merasa dunianya menjadi lebih cerah, seolah ada pelangi di mana-mana. Taeyong balas tersenyum, memandang Hana dan menyentuh pipinya. “Aku benar-benar merindukanmu.”


“Apalagi aku.”



END


APALAGI AKU :”(


Aku kangen banget nulis huhu


Vampire bride masih dalam proses penulisan (dan aku cuma bisa nulis di hari libur) semoga part 2-nya bisa kepublish bulan depan :(


Makasih ya kalian yg udah baca. Maaf kebanyakan narasi, maaf kalo kurang ngefeel, maaf kl kecepetan, maaf kalo ceritanya gaje, maaf kl ada kesalahan detail di ff ini, dan maaf buat apa pun yg g sesuai sama ekspektasi kalian… I already did my best tapi aku tahu g ada cerita yg flawless


Semoga ada yang suka ya hehe


also, can you all do me a favor and click this ... makasih muah


Babay^^

Comments

Popular Posts