Vampire Bride - Part 1



Ye Eun keluar dari bilik ATM sambil menghela napas gusar. Ia baru saja mentransfer seluruh uang di rekeningnya untuk orangtuanya di Jeonnam. Sambil berjalan kembali ke tempat kerja, Ye Eun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi ibunya.


[Halo, Ye Eun?]
“Ibu, aku sudah kirim uangnya.”
[Ya ampun, tidak usah.]
“Sudah kukirim, Bu.”
[Aduh, anak ini! Ibu beri kabar soal Yeon Ju bukan untuk membebanimu. Memangnya kau sudah dapat kerjaan baru?]


“Sudah, kok.”
[Ah, syukurlah. Kerja kantoran juga, kan?]
“Tentu saja,” kata Ye Eun. Ia baru saja sampai di tempat kerjanya dan masuk lewat pintu belakang. Dan saat itu, Moon Ji Won (temannya yang berengsek) merasa perlu untuk berteriak. “Heh, sialan! Dari mana saja kau! Piringnya sudah menumpuk!”


Ye Eun terkejut dan langsung berkilah kalau-kalau ibunya mendengar, “Ibu kututup teleponnya, ya. Aku sedang makan di restoran. Pelayannya berisik sekali! Akan kutelepon lagi nanti. Dadah.” Ye Eun segera memutus sambungan teleponnya dan bertolak pinggang menatap Ji Won.


“Apa menatapku begitu!” bentak Ji Won galak. “Harusnya aku yang bertolak pinggang sekarang, dasar!”
“Kan sudah kubilang aku harus transfer uang,” kata Ye Eun, mengalah. Ia melepas mantelnya dan menggantinya dengan apron kerja.


“Transfer uang siapa? Gajian juga belum!”
“Aku minta gajiku bulan ini dibayar duluan.” Ia menghampiri Ji Won di wastafel dan langsung mencuci piring-piring kotor yang tersisa.


Ji Won yang tadi menggantikan kerjaan Ye Eun itu minggir ke konter sambil membuka gulungan lengan kemejanya. “Benar-benar sudah sinting.” Ia mendengus, menggelengkan kepala. “Moto hidupmu itu benar-benar ‘apa yang kuperoleh hari ini, habis untuk hari ini, kebutuhan untuk besok dipikirkan besok saja’, begitu ya? Dasar tidak ada otaknya. Mau sampai kapan sih kau hidup begini?”


“Terus harus bagaimana lagi?” Ye Eun menoleh, mengayunkan piring yang sedang ia cuci sampai busanya terciprat ke mana-mana. “Yeon Ju belum bayar uang sekolah. Aku tak mau adikku satu-satunya putus sekolah!”


“Kau harus terus terang pada orangtuamu.”
“Tidak mungkin,” katanya, kembali menghadap ke bak cucian. Menggosokkan sponsnya sekuat tenaga.
“Kenapa tidak mungkin?”
“Aku sudah bohong banyak sekali.”
“Kalau begitu mulailah dari kebohongan yang pertama,” kata Ji Won. “Bilang pada mereka kalau sebenarnya kau belum lulus kuliah. Katakan kepada mereka kalau kau dengan tololnya cuti setahun gara-gara tergiur untuk training di agensi kecil yang tak jelas asal-usulnya, lalu seperti yang sudah teman baikmu duga, agensi itu bangkrut sebelum kau sempat debut dan akhirnya hidupmu luntang lantung seperti gelandangan.”


“Moon Ji Won, berhenti membahas itu!”
“Oh, yang benar saja! Aku tidak akan berhenti membahasnya sampai akhir hayatku. Aku sudah mengingatkanmu ratusan kali tapi kau tak mau mendengar. Sudah kubilang kau terlalu tua untuk jadi idol. Jaman sekarang, agensi mencari anak umur 12 tahun bukannya 22. Sekarang lihat akibatnya! Kau mungkin satu-satunya angkatan kita yang tersisa di kampus.”


“Aku yakin ada orang lain. Lagian semester depan juga lulus.”
“Kalau kerjaanmu cuma begini, memangnya mampu bayar kuliah semester depan?”
“Itu urusan nanti.”
“Kau harus memikirkannya dari sekarang, dasar bodoh!”
“Aku harus pikirkan hidupku untuk bulan depan dulu!”
“Apa maksudmu?”
“Aku belum bayar sewa apartemen.”
“Ya Tuhan!” gumam Ji Won datar, rasanya ia sudah tidak terkejut lagi.
“Moon Ji Won, berjanjilah padaku! Kalau nanti aku diusir, izinkan aku tinggal di rumahmu,” kata Ye Eun memelas. Tangannya berlumuran busa.


“Heh, mana bisa! Kau tahu sendiri rumahku sekecil apa! Aku punya 5 adik, Shin Ye Eun! Aku tak punya tempat lagi untukmu.”


“Badanku kan kecil. Aku bisa tidur di dapurmu.”
“Dasar sinting!” bentak Ji Won. Ia lantas menggelengkan kepalanya dan mendesah. “Wah, kalau hidupmu seberantakan ini, satu-satunya jalan keluar hanyalah cari cowok kaya dan ajak dia menikah.”


“Sekarang siapa yang sinting, hah?”
“Aku tidak sinting. Sekarang kutanya padamu, memangnya kau mau hidup untuk apa lagi? Kalau ada cowok yang melamarku sekarang sih aku pasti akan dengan senang hati meninggalkan pekerjaan ini.”


“Jangan gila, kau Junior Supervisor!”
“Aku tahu tapi aku tak menikmatinya. Aku tidak tercipta untuk bekerja. Aku tercipta untuk jadi ibu rumah tangga yang cantik.”


Ye Eun memutar matanya dengan geli. Kemudian, tak lama setelah itu, alarm di ponselnya berbunyi tepat setelah ia selesai mencuci piring terakhir di bak cucian. Ye Eun meletakkan piring itu di rak. “Nah, aku harus pergi lagi,” katanya sambil mengeringkan tangan.


Ji Won menatap sahabatnya itu sambil menghela napas. “Kau tak boleh keluar tiap 30 menit sekali. Aku harus bilang apa kalau Manager Yoon tanya! Siapa yang akan masak nasi? Siapa yang akan buang sampah?”


Ye Eun memakai mantelnya. “Tolong, ya! Kelasku mulai jam 3.”


Ji Won menggeram, “Kau itu benar-benar, deh! Sudah kubantu supaya bisa kerja di sini, sekarang kau malah mencoba membuatku dipecat, ya?”


“Aku akan balik lagi jam 5,” katanya. “Dadah.” Ye Eun melambaikan tangan, kemudian mendorong pintu dan keluar begitu saja.


“Dadah apanya! Heh Shin Ye Eun! Aku menyesal sekali jadi temanmu tahu tidak!”



**********



“Ini gila! 5 hari lagi aku sudah ulang tahun ke-423 dan aku masih belum menemukan pengantinku,” teriak Yuta cemas. Ia terus menatap pergelangan tangannya, seolah kalau dipelototi terus deretan angka yang tertulis di sana akan berganti tiba-tiba.


“Apa menurutmu asosiasi tidak salah tulis?” tanya Yanan. “Biasanya kau baru bertemu pengantinmu di usia 50 tahunan.”


“Aku sudah ke asosiasi dan jawaban mereka selalu sama. Katanya, tidak mungkin asosiasi salah. Abad ini, aku akan menikahi pengantinku di umur 422. Dan jika aku melewati batas itu, maka kalian siap-siaplah melihatku jadi debu.”


Edawn nampak tertarik. “Keren. Sudah 200 tahun aku tidak melihat vampir jadi debu.”


Yuta mendengus padanya. 


“Apa jangan-jangan dia tidak tinggal di Seoul?” tanya Yanan lagi.
“Asosiasi menyiapkan rumahku di sini. Itu artinya aku akan bertemu pengantinku di kota ini.”
“Andai saja kami bisa bantu mencari, tapi hanya kau yang bisa mengenali pengantinmu,” kata Yanan penuh simpati, sementara Edawn terus tebar pesona kepada gadis-gadis mahasiswi.


“Yeah, cuma aku yang bisa cium bau darahnya,” kata Yuta pelan, nampak berpikir, “Apa jangan-jangan ada masalah dengan penciumanku?”


“Mungkin saja.”
“Gawat! Aku harus kembali lagi ke dunia vampir dan memeriksa…”
“Ya ampun! Hidungmu tidak apa-apa! Berhentilah bolak-balik ke dunia vampir! Waktumu tinggal 5 hari!” Edawn yang barusan sedang senyam-senyum dengan gadis berambut ikal tiba-tiba membentak Yuta. “Aku memang tak sabar ingin lihat vampir berubah jadi debu, tapi aku tak mau menjalani hidupku yang membosankan ini berdua saja dengan vampir sepayah Yanan. Aku baru akan ketemu pengantinku umur 489!” Edawn menunjukkan pergelangan tangannya penuh emosi. Yuta menghela napas, kemudian melemparkan punggungnya ke sandaran kursi. Sementara Yanan nampak tak terima dipanggil payah, namun tetap dengan payahnya tidak berbuat apa-apa.


“Sudahlah,” kata Yuta ketus. “Aku mau pulang. Ngantuk.”
“Silahkan saja, tapi kau harus jalan kaki,” cetus Edawn.
“Untuk apa aku jalan kaki kalau bisa teleportasi?”
“Heh, Genius! Bagaimana bisa kau ketemu pengantinmu kalau ke mana-mana teleportasi? Aku berani bertaruh ke kamar mandi pun kau pasti teleportasi.” Yuta tak merespon perkataan Edawn karena hal itu memang benar. Ia nyaris tak pernah menggunakan kakinya.


“Iya, iya oke, aku jalan kaki!” seru Yuta sewot.
“Bagus. Kalau begitu aku dan Yanan akan kembali.”
“Ke dunia vampir?”
“Ke mana lagi? Kami tak ada urusan di sini. Belum waktunya mencari pengantin.”


Yuta menghela napas. Selama 3 abad terakhir, ia dan kedua sahabatnya selalu turun bersama ke bumi karena waktu mencari pengantin mereka yang berdekatan. Tapi sekarang, entah mengapa, ia terpental ke umur 20 tahunan sementara Yanan dan Edawn tetap bersama pada usia 80 tahunan. Benar-benar tidak adil. Asosiasi pasti sangat membencinya.


Yuta menggeram. “Ya, pergilah.”


Edawn dan Yanan pun berdiri. “Kami akan mengecekmu lagi besok,” kata Yanan, lantas keduanya menghilang begitu saja. Yuta menghela napas berat, kemudian ikut berdiri. Mumpung tak ada yang melihat, ia benar-benar berpikir untuk langsung berteleportasi saja ke rumahnya, tapi tiba-tiba kata-kata Edawn menghantuinya. Pria itu mendecih dan terpaksa berjalan kaki.


Yuta berjalan pelan melewati jejeran kios makanan di seberang kampus, menyelip di antara pejalan kaki yang sebagian besarnya merupakan mahasiswa/i. Satu atau dua bulan yang lalu, sifatnya masih sama persis seperti Edawn, tebar pesona dan flirting kanan kiri. Tapi sekarang semuanya sudah beda. Dia tidak bisa main-main lagi. Yuta harus mencari pengantinnya dengan serius atau dia akan menemui ajalnya dalam 5 hari.


Bagi vampir, hidup panjang sama sekali bukan anugerah. Tapi walaupun begitu, Yuta merasa ia masih terlalu muda untuk mati. Kaum vampir diberi batas 1000 tahun untuk hidup, dengan syarat setiap abadnya mereka harus bisa menemukan pengantin untuk melakukan ritual. Dan abad ini, entah mengapa, pengantinnya lahir terlalu awal dan sulit sekali ditemukan.


Yuta berjalan dengan kepala menunduk dan kedua tangan dimasukkan di saku celana. Ia bisa mencium bau busuk makanan manusia dan mengernyit tak senang, berusaha menutupi hidungnya. Kenapa manusia suka sekali makan sampah?, gerutunya dalam hati. Ia menaikkan retsletingnya sampai ke dagu dan merendahkan kepalanya agar hidungnya bisa ikut tertutup.


Namun saat itu, di antara bau makanan yang membuat mual, ada bau menyengat yang langsung membuatnya terbelalak. Yuta berhenti melangkah dan segera menurunkan retsletingnya dengan gerakan kasar. Ia mengenduskan hidungnya ke udara, lalu mengedarkan pandangan. Ada terlalu banyak orang di sini. Yuta berdiri persis di ujung trotoar, mengendus semua gadis yang berjalan melewatinya. Tak memedulikan delikan aneh dan makian geram dari mereka semua. Di situasi seperti ini, tak ada yang lebih penting dari menemukan pengantinnya. Ia tak boleh kehilangan perempuan itu, siapapun dia, mau cantik atau jelek, mau tua atau muda, mau sudah nikah atau lajang, ini perihal hidup matinya.


Baunya makin lama makin memudar, dan Yuta benar-benar panik. Ia berlari menyeberang jalan, hampir menimbulkan kecelakaan serius antara mobil mini van dan pengendara motor yang dengan kompak membanting setir. Tanpa repot-repot menoleh pada kekacauan yang ditimbulkannya, Yuta terus berlari sambil mengendus-endus seperti anjing pelacak. Dan setelah hampir 10 menit berlari, Yuta akhirnya berhenti. Ia tak tahu harus ke mana lagi. Baunya sudah menghilang.



**********



Kelas Ye Eun selesai pukul 5 kurang 20 menit. Ia harus kembali ke restoran. Ji Won sudah menghubunginya berkali-kali saat profesornya sedang mengajar. Ye Eun terlalu takut untuk menelepon balik karena tak mau mendengar kabar buruk, jadi alih-alih mengecek ponselnya dulu, gadis itu langsung berlari keluar.


Ia melewati gerbang kampusnya dengan tergesa-gesa. Dan begitu sampai di perempatan, ia melihat cowok kurus tinggi di seberang jalan, berdiri dengan kedua tangan di saku dan memerhatikannya dengan intens. Penampilannya terlihat normal (jaket hitam, sepatu kets, jins) tapi sesuatu darinya tampak amat menyeramkan sampai membuat Ye Eun bergidik.


Ye Eun yang ketakutan segera berpaling. Niatnya untuk menyeberang jalan jadi urung gara-gara keberadaan cowok itu. Ia memutar kakinya dan memilih lewat jalan lain. Ye Eun berjalan di bagian kiri trotoar dengan langkah tergesa-gesa. Dari ekor matanya, gadis itu bisa melihat si cowok aneh di seberang jalan turut melangkah ke arah yang sama. Mereka hanya dipisahkan oleh jalanan dua jalur yang sepi. Tak ada satu mobil pun yang lewat, rasanya seperti semua orang mendadak lenyap dari muka bumi.


Setelah berjalan cukup lama dalam kondisi yang begitu ganjil, Ye Eun akhirnya tiba di restoran dan langsung membanting pintunya sampai menutup. Semua perasaan yang ditahan-tahan seketika meledak. Badannya gemetaran dan wajahnya pucat pasi.


“Ye Eun! Ya ampun, kau tahu tidak sih, ta—tunggu, tunggu, kau kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa kau menggigil begini?” Ji Won terkejut dan langsung berlari mendekapnya. “Ada apa, Ye Eun? Ada apa?”


“A-ada orang yang mengikutiku.”
“Apa?” seru Ji Won tak terima.


Dengan emosi, gadis itu langsung membuka pintu dan melangkah keluar. Kemudian berteriak-teriak menantang, ‘di mana kau!’, ‘jangan usil pada temanku, ya!’, ‘Tidak mau keluar juga, ha! Dasar pengecut!’, kemudian setelah dirasa tak ada siapa-siapa di luar, Ji Won kembali masuk. Ia melihat Ye Eun yang masih gemetaran tengah berusaha mengikat tali apronnya. Ji Won segera membantunya.


“Tidak ada orang di luar.”
“Sungguh?”
“Ya.”


Ye Eun merenung sejenak, kemudian berkata dengan suara lirih, “Dia mengerikan sekali.”


“Kau lihat wajahnya?”
“Aku tak yakin. Aku cuma lihat matanya. Kami bertemu di perempatan depan kampus dan dia mengikutiku.” Ye Eun tak bisa menghentikan tubuhnya yang gemetar. Suaranya tercekat. “Perjalananku dari kampus ke sini mungkin cuma butuh 10 menit, tapi barusan, rasanya seperti selamanya. Suasananya aneh sekali. Tak ada satu orang pun yang kutemui di luar. Tak ada kendaraan. Tak ada hewan-hewan. Aku tak bisa mendengar bunyi apa pun kecuali langkah kakiku dan langkah kakinya. Dunia terasa sunyi sekali. Bahkan angin pun tidak berembus. Bisa kau bayangkan betapa mengerikannya itu?”


Ji Won menepuk-nepuk punggung Ye Eun, setengah berpikir kalau mungkin saja sahabatnya ini sedang stres berat sampai berhalusinasi.


“Okay, sepertinya kau tak bisa kerja sekarang. Kau butuh istirahat, aku akan...”
“Tidak, tidak perlu, aku baik-baik saja.” Ye Eun memerhatikan tangannya yang masih sedikit gemetar. “Ini akan hilang.”


“Kau yakin?”
“Ya,” jawabnya mantap. “Tadi kenapa kau meneleponku?”
“Oh, bukan apa-apa. Tadi Manager Yoon mengomeliku karena membiarkanmu pergi. Lalu aku jadi kesal dan ingin melampiaskan semuanya padamu.”


“Syukurlah aku tak menjawab.”
“Yeah, yeah, selamat untukmu. Sekarang bisakah kau gantikan Donghyuk di kasir? Dia bilang dia tak enak badan.”


“Tentu.”



*********



“Aku menemukannya!” jerit Yuta. “Edawn, Yanan! Kalian dengar aku? Kubilang aku menemukannya!”


Sepasang remaja berjalan melewati Yuta dan memandangnya sambil terkikik.


Yuta mendelik pada mereka, kemudian mendecak. Pasti dia terlihat seperti orang gila, duduk di bangku taman sambil teriak-teriak sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Kaum vampir tak punya teknologi seperti handphone untuk berkomunikasi. Mereka hanya menggunakan pikiran. Kedengaran lebih canggih memang. Tapi masalahnya, baik Yanan maupun Edawn sama-sama jarang berpikir. Dan Yuta sebal sekali berteman dengan mereka, terlebih di saat seperti ini.


[Bagus! Sekarang pikirkan bagaimana caranya meyakinkan dia untuk menikahimu dalam 5 hari.] Akhirnya suara Edawn terdengar di telinga kirinya.


[Syukurlah. Pertama-tama, jangan buat dia takut.] Suara Yanan terdengar setelahnya, di telinga kanan. [Dekati dia baik-baik. Kau pasti bisa.]


[Apa dia cantik?] Suara Edawn lagi.
“Tidak penting.”
[Hahaha benar. Sejak kapan Nakamoto Yuta dapat pengantin yang cantik? Aku bersumpah tak ada yang lebih membencimu selain asosiasi. Hahaha.] Edawn tertawa keras sekali dan Yuta refleks memukul telinga kirinya dan langsung mengaduh. Edawn tertawa semakin keras.


[Asal kau tidak menakutinya, dia pasti mau dinikahi.] Yanan bicara.
[Yeah, sepayah-payahnya Yanan, manusia tetap lebih payah lagi. Mereka gampang sekali jatuh cinta,] timpal Edawn.


[Bisakah kau berhenti menyebutku payah?]
[Entahlah, bisakah kau berhenti payah?]
[Kau sudah menyebutku payah 15 kali hari ini.]
[Ayo buat jadi 16, Payah!]
“Hei!! Kalau kalian mau ngobrol berdua, aku akan keluar dari group chat ini!”
[Group Chat!! Hahaha. Bodoh sekali! Kau terdengar seperti manusia.] Edawn tertawa lagi. Itu sama sekali tidak lucu tapi Edawn tertawa sampai terbahak-bahak. Yuta akhirnya paham kalau temannya yang berengsek itu hanya pura-pura tertawa supaya punya alasan untuk berteriak di telinganya. Dan demi Tuhan itu mengganggu sekali.


“Kalian bicaralah berdua. Aku pusing.”
[Ingat, jangan takuti dia! Kalau manusia sudah takut dengan kita, maka hancur sudah. Kau tak mungkin bisa menikahinya.]


“Yanan, kau sudah sebut itu tiga kali! Aku tahu. Aku akan mendekatinya senormal mungkin.”
[Serius, Kawan. Normalmu dan normal manusia itu berbeda sekali.]
[Yeah, 70 tahun yang lalu kau membuat pengantinmu pingsan sebelum berhasil menikahinya,] sahut Edawn girang. [Kadang kalau aku sedang bosan aku cuma perlu mengingat-ingat caramu mendekati pengantinmu dan itu berhasil membuatku tertawa sampai 4 hari.]


Yuta mengerang. “Aku sudah jauh lebih normal sekarang, aku bersumpah. Percaya atau tidak, tadi aku cuma membuat dunia di sekitar kami jadi hening sedikit supaya dia bisa merasakan kehadiranku.”


[Oke, kurasa itu tak masalah.]
“Ya, dia kelihatan tersentuh. Itu romantis sekali,” sahut Yuta.
[Yah, lumayan. Tapi kau tetap harus tahan diri.] Yanan mengingatkan. [Berjanjilah kau tidak akan menerbangkannya ke pohon.]


“Hei, aku harus apa? Cewek itu tak mau mendengarkanku.” Yuta membela diri.
[Berjanjilah!]
“Iya, iya, aku janji,” kata Yuta jengkel, tetap merasa kalau kejadian 200 tahun yang lalu itu bukan salahnya.


[Tidak akan membawanya teleportasi ke bulan.]
[Ya ampun, itu ketololan Yuta favoritku. Dia hampir membunuh pengantinnya.] Edawn lagi-lagi tertawa. Edawn selalu lebih bahagia jika sedang berada di dunia vampir. Nyatanya semua vampir pasti akan lebih bahagia di dunianya sendiri. Bumi berbau busuk, dan menyerap energi terlalu banyak.


“Hei, itu bukan salahku. Dia bilang mataku seindah bulan. Aku tak terima, bulan itu jelek sekali.”
[Yuta, ini bukan saatnya kau bela diri. Kumohon berjanjilah.]


Yuta memutar mata, “Aku janji. Aku akan mendekatinya senormal mungkin.”


[Normal versi manusia.]
“Normal versi manusia.”



**********



Pulang ke apartemennya malam itu menjadi pengalaman terburuk yang pernah Ye Eun alami seumur hidupnya. Cowok misterius itu mengikutinya lagi. Ia berjalan selisih 10 meter di belakang Ye Eun dan mendadak aura di sekelilng jalan jadi amat membekukan. Lampu-lampu jalan mati satu per satu tiap dia lewat dan Ye Eun bisa mendengar suara udara yang berkeretakan mengerikan persis di belakang telinganya.


Begitu sampai di apartemen, Ye Eun langsung mengunci semua pintu dan menyalakan lampu. Dadanya berdebar kencang sekali dan tangannya gemetaran tak terkendali. Setelah berusaha menenangkan diri, ia mencuci mukanya di wastafel dan naik ke tempat tidur. Giginya terus bergemelatuk dan Ye Eun tak bisa menghentikannya. Gadis itu sangat ketakutan. Ini jauh lebih parah dari sensasi yang ditimbulkan sehabis menonton film horor. Ye Eun menarik selimutnya menutupi kepala dan memejamkan matanya kuat-kuat, memaksa dirinya sendiri untuk tidur.


Ye Eun berusaha seperti itu sebelum akhirnya benar-benar terlelap 3 jam kemudian. Namun belum lama ia tertidur, sesuatu harus membuatnya terjaga lagi. Suara keretakan napas terdengar di telinganya, makin lama makin jelas. Berpindah dari telinga kiri ke telinga kanan. Walau sudah terjaga, Ye Eun tak berani membuka mata. Rasanya seperti ada sesuatu di atasnya, tidak, seseorang. Ye Eun ketakutan setengah mati dan semakin kuat memejamkan matanya. Hingga akhirnya suara keretakan itu menghilang.


Ye Eun perlahan-lahan membuka mata.


Kosong.


Cuma ada langit-langit yang gelap.


Ye Eun lega sekali karena itu cuma halusinasinya saja. Dengan perasaan yang lebih tenang, ia bangkit ke posisi duduk. Dan seketika itu juga jantungnya serasa melompat keluar. Ternyata memang benar ada seseorang, tengah berdiri menjulang di ujung ranjangnya. Ye Eun tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi ia bersumpah itu adalah cowok yang mengikutinya barusan. Cuma dia yang memiliki aura seperti ini. Cowok itu membawa aura kematian dan Ye Eun berpikir mungkin ajalnya telah tiba.


Saat Ye Eun sedang syok-syoknya, cowok itu tiba-tiba membungkuk sampai cahaya dari jendela menimpa wajahnya. Ia menyeringai menyeramkan, kemudian berkata, “Maukah kau menikah denganku?” dengan suara manis.


Ye Eun refleks menarik telepon rumah di sebelahnya dan melemparnya ke kepala sang pria. Cowok itu terpelanting ke belakang. Ye Eun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dan langsung berlari keluar, berteriak minta tolong dan menelepon polisi.



TBC



Jadi, karena Freeze udah mau End, kupersembahkan kepada kalian ff penggantinya Freeze…


Part 2-nya bakal aku publish kl part terakhir Freeze udah keluar, so.. sabarlah kalian wahai kaum manusia~


babay

Comments

  1. Seru banget storynya. Apalagi pas mereka (Edawn, Yuta dan Yanan) saling komunikasi. Ngakak abis......

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts