Freeze #5 (got caught)




Dua hari berikutnya berlalu tanpa insiden berarti. Hana masih belum pulang dari rumah sakit, sementara di lain tempat, Taeyong mendapat jendelanya—yeah, walau bagian luarnya dipaku dan kacanya gelap sekali dan ia nyaris tak pernah diperbolehkan menyibak gordennya (yang tetap ia sibak lebar-lebar tiap kali ibunya keluar), Taeyong tetap bahagia luar biasa. Lewat jendela itu, ia bisa melihat matahari terbenam selama dua hari berturut-turut. Indah bukan main. Meski jendelanya tidak bagus-bagus amat, Taeyong tetap merasa tak punya alasan untuk mengeluh. Aku bisa melihat pemandangan sehebat ini tiap sore, apa yang harus dikeluhkan?


Yeah, dua hari berlalu tanpa insiden berarti. Hana sibuk di rumah sakit. Taeyong sibuk dengan jendelanya. Dan Bunda Sejeong sibuk berpura-pura.


Setelah mengalami serangan jantung kecil di depan lemari Taeyong, wanita itu meletakkan komik—punya Hana—dan bungkus es krim—yang selalu dibeli Hana—ke tempat semula, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Ia berjalan cepat melewati koridor karena tak sabar menemui gadis itu, namun baru ingat di tengah jalan bahwa Hana sedang tak ada di rumah. Jadi akhirnya ia menarik napas dalam-dalam dan berusaha tenang. Berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Oh, bukan artinya Hana sudah dimaafkan, justru dengan semakin banyak waktu untuk berpikir, semakin geram wanita itu dibuatnya. Menurutnya, kelakukan Hana (masuk ke kamar Taeyong, entah bagaimana caranya) sungguh lancang dan tak termaafkan. Ia bersumpah akan membuat gadis itu angkat kaki secepatnya. Jika bisa, ia akan melakukannya detik itu juga. Tapi masalahnya… Hana tak pulang-pulang sejak dua hari yang lalu. Dan tak ada yang tahu kapan dia akan pulang.


Bunda Sejeong tak pernah sekesal ini. Ia terus memandangi gedung terlarang dengan waspada. Takut tiba-tiba Hana sudah mengendap-endap lagi ke sana. Ia jadi amat gelisah hingga melakukan perlindungan ekstra; mengunjungi Taeyong tiga kali lipat lebih sering dari biasanya, mencegah anak-anak bermain terlalu dekat dengan gedung terlarang, melarang siapa pun berkeliaran di waktu-waktu mencurigakan. Perubahan sifat Bunda Sejeong tersebut—yang biasanya lembut dan ramah tiba-tiba menjadi dingin dan galak—langsung saja menjadi perbincangan anak-anak di waktu senggang.


Pada hari Sabtu, Hana kembali ke rumah singgah dan mandi untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Jika menuruti rasa letihnya, Hana pasti sudah tepar di ranjang dan terlelap sampai lusa—gadis itu nyaris tak tidur selama di rumah sakit, ia berbaring di samping ibunya selama beberapa jam (paling banyak tiga jam dalam sehari), itu pun dengan posisi tak nyaman dan cuma tidur-tidur ayam. Namun karena merasa tak enak pada Bunda Sejeong, ia ingin mencari wanita itu dulu dan mengumumkan kepulangannya sebelum tidur. Saat melewati ruang belajar, ia tak sengaja mendengar Somin bergosip dengan suara pelan. Melvin, Eun Ki dan Hyun Mi berkerubung di depannya, mengabaikan buku masing-masing yang terbuka di atas meja. Sementara pada sofa untuk dua orang di sebelah mereka, Jeha tertidur pulas dengan posisi telentang.


“Kemarin Bunda Sejeong mengomeliku lagi. Kali ini cuma karena aku bangun terlalu cepat. Dia bilang… tak boleh ada yang bangun sebelum jam enam. Padahal biasanya juga aku bangun jam segitu.” Somin menggerutu.


“Aku dan Eun Ki juga dimarahi waktu main bola,” sahut Melvin jengkel.
“Yeah, bolanya mengenai tembok beton gedung terlarang. Saat aku berlari untuk mengambilnya, Bunda Sejeong tiba-tiba teriak… Menyingkir dari situ!” kata Eun Ki dengan suara melengking.


“Menurutku beberapa hari ini Bunda Sejeong sedang menyembunyikan sesuatu dari kita.” Somin berbisik.


Hana yang berdiri di ambang pintu refleks memutar mata. Dia memang menyembunyikan sesuatu dari kita. Bukan hanya beberapa hari ini, tapi sudah belasan tahun, batinnya. Tapi Hana tak mau buru-buru menghubungkannya dengan Taeyong. Mungkin saja Bunda Sejeong punya rahasia yang lain. Mungkin perubahan sikapnya itu gara-gara datang bulan? Atau masalah keuangan?


“Noona!” Semua orang menoleh kaget pada Jeha (yang entah sejak kapan terbangun) lalu mengikuti arah pandang bocah itu. Ke arah Hana, tepatnya. Gadis itu mengedikan bahunya dengan canggung karena terkejut mendapat perhatian tiba-tiba.


Kerubungan di depan Somin pun berpencar ke posisi belajar masing-masing.


“Hana Eonnie!” seru Somin riang. “Bagaimana kabarmu? Bagaimana kabar ibumu?”
“Kabarku baik. Dan ibuku…dia siuman. Omongannya masih kurang jelas, tapi yang penting dia siuman. Dia sudah bisa buka mata dan memanggil namaku. Dokter bilang mau diterapi dulu untuk mengembalikan fungsi tubuhnya. Kalau perkembangannya bagus, aku bisa membawanya pulang.”


“Pulang ke sini?”
“Entahlah. Belum kupikirkan.”


Somin mengangguk-angguk, lalu kembali memandangi buku PR-nya. Hana berlutut, lantas beringsut mendekat dan bertanya di tengah-tengah mereka. “Aku mendengar obrolan kalian tadi. Sebenarnya apa yang terjadi pada Bunda Sejeong?”


“Dia jadi galak,” kata Melvin, tanpa berusaha menjelaskan.
“Begini,” kata Somin, seolah memperjelas ucapan Melvin merupakan tugasnya, “setelah Eonni ke rumah sakit, sore harinya Bunda Sejeong mulai uring-uringan. Aku beberapa kali memergokinya sedang menangis, entah apa yang terjadi. Yang pasti, mulai hari itu, Bunda jadi kelihatan tegang dan tertekan sepanjang waktu.”


“Dia juga mengomeli kami setiap ada kesempatan,” Eun Ki menambahkan, tanpa berpaling dari bukunya.


Somin bercerita lebih banyak dan semakin lama mendengar, perasaan Hana semakin tidak enak. Kalau sudah sampai tegang-dan-tertekan-sepanjang-waktu, sepertinya ini bukan karena hal sesepele datang bulan atau keuangan (lagi pula, Bunda Sejeong bukan gadis remaja yang baru pertama kali datang bulan, sedangkan keuangan, keluarga angkat Hana masih rutin menyumbang, jadi seharusnya tidak ada masalah dengan uang). Apa ada sesuatu yang terjadi pada Taeyong? Apa dia sakit atau semacamnya?


“Tunggu, di mana Jeha?” celetuk Hyun Mi tiba-tiba, memandang ke sofa dengan mata melebar. Tapi tak ada yang benar-benar bereaksi, baik Hana, Somin, Melvin maupun Eun Ki cuma meliriknya singkat dan kembali berbisik-bisik. “Ya ampun! Kalian tidak paham? Jeha mendengarkan obrolan kita. Dia pasti akan mengadu pada Bunda!” kata Hyun Mi lagi. Dan semua orang seketika panik. Somin dan Hana berdiri berbarengan. Disusul oleh Melvin dan Eun Ki.


“Kau benar. Dia kan keran bocor. Kita harus temukan anak itu sebelum dia bertemu Bunda Sejeong. Bunda kan sedang sensitif sekali. Kalau dia tahu kita bicara begini, mungkin dia akan menangis dan mengomel lagi,” kata Eun Ki. “Aku akan cari di kamar-kamar,” tambahnya, kemudian langsung berlari ke luar pintu.


Hana buru-buru mengintruksikan tiga orang di depannya. “Somin, kau cari di aula makan. Melvin, kau ke kantor Bunda. Dan Hyun Mi, kau tunggu di sini. Siapa tahu Jeha kembali.”


“Oke,” jawab ketiganya serempak.


Dan mereka semua pun berpencar, berlarian di koridor. Eun Ki mengecek kamar-kamar, Somin ke aula makan dan Melvin ke ruang kerja Bunda Sejeong. Sedangkan Hana menyeberangi lapangan sampai ke gedung terlarang. Ya, ia tahu Jeha tak mungkin berlari ke sana. Tapi saat ini ada yang lebih penting daripada diadukan-bergosip-oleh-anak-umur-5-tahun. Pikiran apa Taeyong baik-baik saja memehuhi setiap sudut kepalanya sampai tak ada ruang kosong lagi.



***********



Seminggu ini, sehari empat kali pada jam-jam acak, Bunda Sejeong akan mengecek keadaan Taeyong dan berpatroli nyaris satu jam di sekeliling koridor. Taeyong menyadari hal itu, tapi ia hanya memikirkannya sambil lalu. Pikirnya, sang ibu jadi ekstra protektif karena ia baru punya jendela. Sama sekali tak terbersit di benaknya bahwa ini berhubungan dengan Hana. Lagi pula, yang ia tahu, Hana masih bersama ibu kandungnya di rumah sakit.


Siang itu, pintu kamar Taeyong diketuk dengan ketukan berpola yang familier—dulu, tiap mendengar ketukan itu, ia akan memanjat lemari dan menatap Hana lewat ventilasi. Sekarang, Taeyong refleks melompat berdiri dari sofanya—yang kini posisinya dibalik menghadap jendela, nyaris menempel di tembok sehingga tak ada ruang untuk kaki.


Pintu berayun terbuka dan Hana langsung berseru khawatir. “Kau baik-baik saja?”


“Hana!” Taeyong balas berseru. “Akhirnya kau pulang!”


Taeyong tak menjawab pertanyaannya, jadi Hana mengulangi dengan lebih khawatir. “Kau baik-baik saja?”


“Yeah… Lihat!” Taeyong menunjuk jendelanya. “Aku sangat baik. Tak pernah lebih baik dari ini.”
“Wah! Kau punya jendela? Aku baru meninggalkanmu beberapa hari dan kau sudah punya jendela?”
“Yeah.”
“Selamat untukmu.”


Taeyong mengangguk, lalu berkata, “Bagaimana kabar ibumu?”


“Dia sudah si—tunggu! Kenapa tiba-tiba kau menanyakan ibuku?”
“Aku tahu ibumu siuman. Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Dari mana kau tahu?”
“Dari mana lagi?”
“Bunda Sejeong?” Hana terkesiap. “Jangan bilang kau sudah memberitahunya tentang kita!”
“Aku tidak memberitahunya apa-apa,” kata Taeyong, “Eomma cuma bilang salah satu anak di rumah singgah pergi ke rumah sakit karena ibunya siuman dari koma. Dan berdasarkan ceritamu, aku tahu itu kau.”


Hana bernapas lega. Walaupun selalu mendesak Taeyong untuk mengaku, tapi sejujurnya Hana sendiri pun belum siap. Selama ini, ia berani menasihati Taeyong macam-macam hanya karena gadis itu tahu Taeyong lebih tak siap dari dirinya.


“Ibuku membaik,” Hana menjawab, berjalan menghampiri sofa. Taeyong kembali duduk dan Hana mengambil posisi di sebelahnya. “Jadi tak ada yang terjadi selama seminggu ini, kan?” katanya memastikan.


“Aku dapat jendela baru.”


Hana mendenguskan tawa. “Yeah, maksudku selain itu.”


“Kurasa tidak.”
“Baguslah. Aku benar-benar khawatir.”


Saat itu pukul setengah tiga sore dan mereka duduk di depan jendela yang gordennya tersingkap tiga per empat bagian serta berkaca gelap, memerhatikan matahari kuning terang yang mengambang di langit. Jika jendela Taeyong tidak gelap, mereka pasti akan menatap matahari itu sambil mengernyit.


“Apa yang kau khawatirkan?” tanya Taeyong setelah keheningan menyelimuti mereka nyaris dua menit.


“Anak-anak bilang Bunda Sejeong jadi aneh. Aku hanya khawatir sesuatu terjadi padamu.”
“Aneh bagaimana?”
“Pokoknya jadi sering mengomel,” kata Hana. “Dari apa yang kutangkap, sepertinya ibumu lebih protektif terhadap gedung terlarang, terhadapmu, tepatnya.”


“Tentu saja. Aku kan punya jendela baru. Mungkin eomma takut mereka tak sengaja melihatku lewat jendela ini.” Taeyong menjeda sebentar, kemudian bicara dengan nada mencela. “Atau mungkin dia takut aku kabur, kemudian melampiaskan kekhawatirannya pada mereka.”


“Kau bisa kabur? Memangnya kacanya bisa dibuka?”
“Tidak bisa. Kacanya dipaku dari luar,” kata Taeyong, kemudian menyeringai, “tapi kan bisa kupecahkan.”


“Kau punya niat memecahkan kacanya?”
“Punya niat, Ya. Punya nyali, Tidak,” kata Taeyong jujur.


Hana memandangnya sebentar sebelum menoleh kembali pada jendela dan menghela napas. Semakin lama berada di ruangan ini, tubuh Hana yang semula baik-baik saja akhirnya memberontak. Karena kedatangannya tak direncanakan, ia tak memakai baju tebal apalagi selimut. Ia berusaha menahan dingin selama beberapa saat sebelum akhirnya menyerah, gadis itu merendahkan kepalanya dan beringsut seperti bayi.


Di sebelahnya, Taeyong masih sibuk menceritakan soal pengalamannya berjalan ke luar (dengan penyampaian super dramatis—menyongsong matahari, dia bilang, dan Hana mendengus geli) juga bagaimana ia mengungsi selama sekian belas jam di ruangan lain di gedung ini, sebuah ruangan super kecil namun juga super nyaman. “Eomma mengakalinya dengan tiga buah kulkas kecil yang pintunya dibuka menghadap tempat tidurku, dan di sana…” Suara Taeyong semakin lama semakin samar dan seiring itu juga, kantuk Hana yang hilang setelah mandi mendadak balik lagi. Ia letih dan ngantuk berat. Perlahan-lahan, matanya yang semula menatap jendela pun terpejam.




**********




“Menurutku memang agak gila, maksudku, perasaan ini. Saat aku harus kembali ke kamar, sekalipun aku tahu aku punya jendela, aku tetap saja merasa kecewa. Rasanya seperti kebebasanku direnggut—ya, aku tahu itu konyol sekali, maksudku, kebebasan yang mana? Padahal, di luar sana aku sama sekali tak bisa berlarian atau apa, kan? Aku cuma berjalan di koridor selama beberapa detik dan faktanya, sekalipun aku di luar, aku tetap dikurung. Tapi yang paling hebat adalah…..” Kepala Hana tiba-tiba terjatuh ke bahunya. Taeyong berhenti bicara dan menoleh. Hana tertidur. Tubuhnya meringkuk bak janin dan dia nampak kedinginan. Taeyong tak bergerak karena takut menyentuhnya. Tapi jika dia terus-terusan begini, rasa dingin dari kulitnya akan menembus baju yang ia pakai dan mengenai kepala Hana.


Saat itu, ia teringat sesuatu. Dengan gerakan yang sangat hati-hati, Taeyong memasukkan tangannya ke selipan sofa dan mengeluarkan sarung-tangan-kedap-suhu buatan Wooseok, lantas memakainya pelan-pelan.


Setelah tangannya aman, Taeyong langsung memindahkan kepala Hana dari bahunya. Kemudian berpikir sejenak sebelum melakukan hal lebih lanjut. Ia tak punya baju hangat apalagi selimut. Manusia sepertinya tak membutuhkan hal-hal semacam itu untuk bertahan hidup. Taeyong berpikir keras, soal bagaimana caranya membuat Hana tetap hangat, sebelum akhirnya lampu tak kasat mata di atas kepalanya seakan menyala. Ia berdiri. Menyingkap gordennya semaksimal mungkin. Lantas mendorong sofa sedemikian rupa sampai sinar matahari yang terbias dari kaca jatuh langsung ke tubuh Hana. Taeyong berharap itu cukup. Tapi ia sadar itu tak mungkin cukup—kacanya terlalu gelap, dan mataharinya terlalu jauh. Lagi pula, matahari itu terus merosot ke ufuk seiring berjalannya waktu.


Taeyong berpikir ia harus membangunkan Hana, tapi sebagian perasaannya selalu menunda-nuda. Lima menit lagi, batinnya, sementara pria itu duduk di ujung sofa dan memandangi Hana dengan perasaan campur aduk. Taeyong menekan lututnya ke perut, lalu tanpa ia sadari tangannya yang berbalut sarung tangan menyentuh kening Hana, menyingkirkan rambut yang menjuntai di sana kemudian tak menarik tangannya lagi. Tangannya bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Lima menit terlewat dan Taeyong masih belum bergerak, perasaan gelisah menggelayut di rongga dadanya sampai membuatnya sesak. Perlahan namun pasti, pria itu menyadari betapa ketergantungannya ia pada kehadiran Hana dan betapa kecewanya ia karena mereka terlalu berbeda.


Taeyong benar-benar iri dengan semua anak di rumah singgah, juga dengan semua teman Hana di sekolah. Mereka bisa mengenal Hana sebagai manusia normal, mereka bisa mengenal Hana di luar sana, di sekolah, di aula makan, di lapangan, di mana-mana. Sementara Hana yang ia kenal amatlah terbatas, dibatasi oleh ruang (kamar ini) dan waktu (tak boleh lebih dari tiga jam atau semua orang akan curiga).


Di saat yang bersamaan, Bunda Sejeong melakukan patroli seperti biasa. Ia mengitari gedung terlarang selama beberapa menit sebelum berjalan lurus menuju kamar Taeyong. Dalam waktu singkat, wanita itu  tiba di depan pintu dan mengeluarkan kuncinya dari saku. Namun saat hendak memasukkannya ke lubang, ia membatu. Ada kunci lain yang menyantol di sana, dan seingatnya, ia tak pernah punya kunci cadangan untuk kamar ini, tidak untuk alasan apa pun. Wanita itu pun mendorong pintunya dalam satu gerakan cepat dan detik itu juga langsung terkesiap keras sampai membangunkan Hana.


Taeyong terlonjak berdiri, nyaris terjerembab dari lengan sofa.


“Eomma, aku bisa jelaskan!” Taeyong bicara, terlalu nyaring dan terlalu panik. Hana sama paniknya, tapi ia bahkan tak mampu bicara.


“Aku tak tahu kau sudah pulang, Hana. Kurasa kita perlu bicara,” kata Bunda Sejeong dengan nada tenang yang ganjil. Matanya masih membeliak, tapi bibirnya memaksa untuk tersenyum. Dan di mata Hana, Bunda Sejeong tak pernah semenyeramkan itu. Ia jelas tengah menekan emosinya di hadapan Taeyong, tapi begitu keluar dari ruangan ini, siapa yang tahu apa yang akan Bunda Sejeong lakukan? Dari wajahnya, Hana menduga ia akan diteriaki sampai telinganya copot, kemudian diusir. Hanya dengan membayangkannya saja, Hana merasa takut sampai perutnya bergejolak hebat dan membuatnya ingin muntah.


Taeyong memandangi Hana selama beberapa saat sebelum akhirnya gadis itu mengangkat kepala dan balik memandangnya. Tatapannya sayu, seolah berkata ‘selamat tinggal’ atau mungkin ‘selamatkan aku’. Taeyong tak tahu persisnya apa yang ia coba katakan lewat tatapan itu, jadi ia mengeraskan rahangnya dan memandang sang ibu dengan tegas.


“Eomma, bicaralah di sini.”
“Tidak,” tolaknya begitu saja. Matanya cuma melirik Taeyong sekilas sebelum kembali pada Hana. “Ayo kita bicara di luar, Sayang,” ajaknya. “Aku cuma ingin tahu kabar ibumu. Lagi pula, di sini dingin sekali, kan?”


“Kalau cuma ingin tahu kabar ibunya, harusnya bisa dibicarakan di sini.” Taeyong berkeras.
“Tidak bisa. Kau tak kasihan melihat Hana kedinginan?” Taeyong melirik Hana—yang memang menggigil, tapi hanya gadis itu yang tahu apa tubuhnya gemetar karena kedinginan atau ketakutan.


“Oke, Eomma bisa bicara dengannya di luar,” putus Taeyong. Hana menoleh lemas padanya, nyaris membuang napas. Namun kemudian Taeyong melanjutkan, “tapi aku ikut.”


“Taeyong!” seru sang ibu tak habis pikir.
“Kalau begitu bicaralah di sini!” balas Taeyong memohon. “Kami bisa jelaskan segalanya sedetail mungkin.”


Wajah Bunda Sejeong mengeras seperti tanah liat, tapi pada akhirnya ia membuang napas dan duduk di kursi kayu dekat pintu. Matanya menyorot tajam pada dua orang di samping sofa tersebut, khususnya pada Hana yang terus menunduk.


“Jadi, sejak kapan ini semua?”
“Beberapa bulan,” jawab Taeyong. “Awalnya kami berbincang cuma lewat ventilasi tapi setelah dapat kuncinya, kami berbincang di sini.”


“Bagaimana kau bisa dapat kuncinya?”
“Uh…itu butuh penjelasan panjang.”
“Aku punya waktu.”
“Tidak akan cukup.” Taeyong sebenarnya cuma tak mau mengumbar-umbar tindakan kriminal Hana. Terlalu banyak kebohongan di sana. Dan sekeras apa pun otaknya berpikir, pria itu tetap tak menemukan kalimat halus untuk menjelaskan segalanya. Hana menyuruh Somin berbohong kalau dia sakit gigi, lalu saat kalian pergi ke dokter, ia menggunakan kesempatan itu untuk masuk ke kantormu, pura-pura pinjam telepon, padahal mencuri kunci untuk diduplikat, lantas mengendap-endap ke sini nyaris tiap saat.


Bunda Sejeong terlihat tidak senang dengan alasan itu dan hendak membuka mulut lagi, namun Hana yang sejak tadi terus diam tiba-tiba angkat suara.


“Aku bersumpah kami sudah berencana untuk memberitahumu, tapi terlambat. Aku tidak bermaksud merahasiakannya sejauh ini. Percayalah, aku sangat menghormatimu, Bunda. Kau orang baik dan aku berutang budi padamu banyak sekali. Tapi Taeyong bilang hukuman karena sudah melihatnya adalah diusir dan aku tak mau diusir.”


“Tapi itulah yang akan kau dapat, Sayang,” sahut Bunda Sejeong enteng.
“Eomma tak bisa mengusirnya!” Taeyong berseru.
“Oh, tentu aku bisa.” Bunda Sejeong berdiri. Kemudian berkata pada Hana, “tapi sebelumnya kita harus bicara dulu. Ayo!”


Hana diam saja.


Bunda Sejeong sudah berdiri di ambang pintu saat ia berbalik dan mendesah, “Apa kau mau kutarik keluar?” katanya menawarkan.


“Hana tak akan ke mana-mana.” Taeyong merangsek ke depan Hana dan merentangkan tangannya.


Bunda Sejeong mengerang melihat pemandangan itu, kemudian menghampiri mereka dengan langkah panjang dan menarik tangan Hana. “Kau,” tekannya pada Taeyong, “berhenti bertindak bodoh! Tempatnya bukan di sini.”


Taeyong menarik tangan Hana yang satunya. “Aku tidak akan membiarkan kau mengusirnya. Berhentilah mengambil semua orang dariku, Eomma!”


“Kau memegang tangannya,” Bunda Sejeong mengingatkan. Ia memerhatikan Hana seolah sedang menunggu gadis itu teriak kesakitan. Tapi Hana tak kunjung teriak. Ia masih bisa menahan rasa sakitnya, dan sejujurnya rasa sakit itu bermuara di pergelangan tangan kirinya—tangan yang dicengkeram Bunda Sejeong—alih-alih dari Taeyong.


“Aku tahu kau sedang menahan sakit,” kata wanita itu pada Hana.
“Aku memang menahan sakit,” jawab Hana, “tapi itu bukan karena Taeyong.”


Bunda Sejeong langsung melonggarkan cengkeramannya. Pada dasarnya, wanita itu adalah orang baik. Bak induk singa yang anggun, sisi buasnya hanya keluar jika ada bahaya yang mengintai sang anak.


“Ini sarung tangan kedap suhu, Eomma. Rasa dingin dari telapak tanganku tak akan merambat jika aku pakai ini.”


“Sarung tangan cuma akan menghalangi sebentar, Taeyong. Kukira kau sudah paham cara kerja tubuhmu.”


“Ini sarung tangan kedap suhu,” ulang Taeyong. Tapi Bunda Sejeong hanya memandanginya. “Aku sudah memegang tangan Hana selama ini dan dia tak apa-apa.”


Saat itu, tiba-tiba saja terdengar suara kesiap dari ambang pintu. Mereka bertiga menoleh ke sana dan menemukan Jeha—Hana dan Bunda Sejeong menemukan Jeha, namun Taeyong hanya menemukan anak kecil bermata bulat yang tingginya barangkali tak lebih dari pinggangnya.


Sebelum ada yang sempat bereaksi, tiba-tiba datang lebih banyak anak lagi.


“Seharusnya kita tak menginjakkan kaki di gedung ini, kalian tahu kan Bunda Sejeong tak mungkin ada di—“ Ucapan Somin terhenti. Matanya membelalak. Melvin, Eun Ki dan Hyun Mi berdiri membatu di belakangnya.


“A-apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Bunda Sejeong panik.
“Bunda..” panggil Jeha. “Kenapa Bunda menarik tangan Hana Noona? Dia kelihatan…kesakitan.”


Wanita itu langsung melepas tangan Hana. Matanya melunak. Ia memandangi segerombolan anak di depannya dengan tatapan tajam yang perlahan-lahan berubah menjadi tak berdaya, seolah ia sudah tertangkap basah dan sehebat apa pun kebohongannya, semuanya sudah terungkap.


Di waktu yang sama, begitu tangan kiri Hana terbebaskan, Taeyong langsung menarik gadis itu ke sisinya.


“Terima kasih,” kata Hana pelan, “tapi selamat tinggal. Ibumu marah sekali, aku tak mungkin—“
“Kau tak akan diusir,” bisik Taeyong.
“Aku pasti diusir,” balas Hana.
“Kalau kau diusir, aku akan memecahkan kaca itu dan ikut denganmu.”


Hana nyaris tersenyum, sebelum akhirnya ia sadar ini bukan situasi yang tepat untuk tersenyum.


“Jadi, apa yang terjadi?” tanya Somin tak tahan.
“Namaku Taeyong,” kata Taeyong. Semua anak menatapnya—dengan kernyitan dalam di dahi masing-masing. Itu tidak menjelaskan apa pun.


“Dia anakku,” Bunda Sejeong menambahkan. “Anak kandungku.”


Itu lebih menjelaskan. Tapi anak-anak tetap mengernyit.


“Bunda akan ceritakan semuanya, tapi tidak di sini. Ruangan ini terlalu dingin untuk kalian.”
“Aku ikut,” kata Taeyong.


Bunda Sejeong mendesah, lalu dengan berat hati sepakat, “Kau ikut.”




**********



Ini adalah pengalaman super baru bagi Taeyong. Walaupun masih di gedung yang sama, tapi ia duduk di sebuah ruangan terbengkalai yang tidak memiliki AC raksasa maupun tiga kulkas yang pintunya dibuka ke arahnya. Ia duduk di salah satu kursi pendek bersama sebelas orang normal; Ibunya, Hana, serta sembilan anak asuh yang ada di rumah singgah. Karena penampilannya yang tidak biasa, walaupun bukan dia yang sedang bicara, mata sebagian besar (atau mungkin seluruh) anak tertuju padanya. Rasanya menyenangkan, sekaligus canggung. Taeyong tak tahu bagaimana caranya membalas tatapan mereka. Anak-anak itu menatapnya persis seperti Hana tujuh bulan yang lalu. Kalau cuma satu Hana, ia bisa mengatasinya, tapi kalau Hana-nya ada sembilan, ia menyerah.


“Jadi begitu, aku membuat semua mitos menyeramkan tentang gedung ini karena tak mau kalian menemukan Taeyong.” Setelah bicara panjang lebar, Bunda Sejeong menutup ceritanya. “Maaf sudah merahasiakan ini dari kalian.”


“Hanya karena dia dingin?” tanya Melvin. Somin yang merasa pertanyaan itu kurang sopan langsung menyodok lutut Melvin dengan lututnya. Melvin cuma meliriknya.


“Kurang lebih,” jawab Bunda Sejeong sambil menghela napas.
“Jadi, tidak ada hantu atau anak yang hilang di gedung terlarang, kan?” Somin bertanya dengan suaranya yang biasa, yang terdengar bernada, tapi lebih hati-hati. Gadis itu menyadari Taeyong merupakan perkara besar bagi sang ibu asuh sampai-sampai membuatnya berbohong selama belasan tahun dan ia tak mau terdengar seperti merendahkan keputusannya itu. Semua orang punya keputusan. Merahasiakan keberadaan anaknya sendiri pun adalah keputusan.


“Tidak ada.”
“Lalu bagaimana kau menjelaskan Paul?” kata Melvin sengit. “Dia tiba-tiba menghilang di suatu pagi. 14 Oktober 2012. Kau bilang dia hilang di gedung ini. Ke mana dia?”


“Sebenarnya,” kata Bunda Sejeong dengan wajah meratap, “dia melihat Taeyong. Aku tak tahu apa yang dia lakukan jam 10 malam di sana, tapi dia menggedor-gedor kamarku dan berkata dengan napas tersengal-sengal, katanya ada sosok bercahaya seperti malaikat di gedung terlarang. Jadi kubilang padanya ‘apa dia melihatmu?’, dan Paul bilang ‘ya’, dan kubilang dia dalam bahaya besar, dia harus pergi sejauh-jauhnya dari sini dan tak boleh menceritakan hal itu pada siapa pun. Jika dia cerita, sosok itu akan mengejarnya. Dia setuju. Jadi aku mengambil kunci mobilku dan mengantarnya ke Panti Asuhan.”


Semua orang—termasuk Taeyong—terperangah, tapi Melvin berada satu tingkat di atas terperangah. Mukanya sepucat tembok. “A-apa?”


“Sekarang dia sudah diadopsi oleh keluarga kaya raya dan tinggal di Daegu, jika itu bisa menghiburmu.”


Melvin tak terhibur. Anak laki-laki itu menghela napas dengan wajah berkerut tak habis pikir, lantas menoleh pada Taeyong, “Apa itu benar?”


“Aku tak tahu yang mana yang namanya Paul. Tapi siapa pun itu, jika aku pernah melihatnya, aku hanya melihatnya sekali, tak ada seorang anak asuh pun yang pernah mengunjungiku lebih dari sekali—kecuali Hana,” Taeyong menoleh pada Hana, kemudian menyimpulkan, “jadi mungkin itu benar.”


“Itu artinya kau mengambil sahabatku.”
“Melvin,” kata Somin, menyodok lututnya lagi.
“Maaf,” kata Taeyong muram.
“Selama ini aku benar-benar berpikir dia hilang di gedung terlarang,” Melvin melirik Bunda Sejeong dengan jengkel. “Bodoh sekali. Umurku sudah hampir 13, harusnya aku mulai menggunakan otakku untuk berpikir. Hantu itu tidak ada.”


“Melvin, hentikan.” Kali ini Hana yang bersuara. “Aku tahu kau kecewa, tapi…”
“Oh, aku bukan sekadar kecewa,” potongnya. “Aku tak habis pikir bagaimana Bunda tega melakukan itu pada Paul. Dia pasti ketakutan sekali sampai-sampai setuju begitu saja. Waktu itu, umurnya masih 9 tahun, kan? Dia masih terlalu kecil.” Melvin lalu mengangkat jari-jarinya untuk menghitung. “Berarti dia sudah 14 tahun sekarang. Ya ampun, mustahil dia ingat aku. Sekalipun ingat, Paul pasti membenciku karena mengira aku tak pernah mencarinya. Padahal aku mencarinya! Setelah dia hilang, sekalipun aku takut setengah mati pada gedung ini, aku tetap berkeliaran di koridor-koridor, memanggil-manggil namanya seperti orang bodoh. Bunda Sejeong bahkan membantuku. Padahal kau tahu dia tidak ada di sini, tapi kenapa kau membantuku?” serunya pada sang ibu asuh. “Ya Tuhan, kalian tak mengerti betapa menyesalnya aku.”


Melvin nyaris menangis, tapi ia menahannya sampai hidungnya memerah. “Andai malam itu aku ikut dengan Paul—padahal dia mengajakku, tapi aku masih 8 tahun; ngantuk berat, dan penakut—andai aku ikut dengannya dan menemukan makhluk bercahaya itu,” Melvin menoleh pada Taeyong, “Jika aku dan Paul menemukanmu bersama-sama, kemungkinan besar kami masih berteman baik sampai sekarang.”


“Mungkin dia tak ada artinya bagimu, Bunda. Mungkin dia cuma satu dari sekian banyak anak asuhmu. Tapi bagiku dia segalanya. Walau kami tak ada hubungan darah, Paul itu… ya Tuhan …dia sama berharganya bagiku sebagaimana Taeyong berharga bagimu. Kami sudah bersama semenjak aku baru belajar mengeja, dia teman pertama dan yang paling utama. Dia satu-satunya orang yang kupercaya, dan setelah dia pergi, hidupku rasanya tak pernah sama lagi.”


Hana bisa merasakan hatinya mencelos. Dia selalu berpikir memang begitulah karakter Melvin; dingin, cuek dan pendiam, tapi di balik itu ternyata dia memendam kepedihan yang mendalam. Menyakitkan rasanya mendengar ucapan seemosional itu keluar dari mulut anak umur 12 tahun.


“Aku yakin Paul….” Melvin berhenti bicara karena tak kuasa menahan tangisnya. Jadi ia berdiri, menyedot ingusnya, lalu pergi.


Bunda Sejeong—yang wajahnya dipenuhi rasa bersalah—hendak mengejar, namun Somin menahannya sambil berkata, “biar aku saja,” dengan suara pelan, kemudian menghilang di balik pintu. Bunda Sejeong membiarkan anak itu pergi, lalu diam-diam menekan matanya yang berair. Hatinya serasa teriris.


Setelah itu, keheningan mencekam menyelimuti mereka, semua orang mendadak kehilangan jiwanya. Raga mereka berkumpul di ruangan itu, namun tatapan mereka kosong. Taeyong mau tak mau merasa bersalah juga. Hana memandangnya sekilas dan menunduk menatap lututnya, tak tahu harus berkata apa.


“Jadi…,” kata Eun Ki, akhirnya berani memecah keheningan. “Sedingin apa kau?”


“Entahlah.” Taeyong menyeringai, lalu menarik lepas sarung tangannya. ”Mau pegang?” tawarnya sembari mengulurkan tangannya yang pucat itu.


“Oh, astaga! Tentu saja.” Eun Ki melonjak berdiri dan berjalan menghampirinya.
“Maksimal 2 detik, tidak boleh lebih dari itu.” Bunda Sejeong mengingatkan.


Eun Ki menjabat tangan Taeyong dengan penuh percaya diri dan tak sampai dua detik langsung menarik tangannya lagi. Pria itu kontan melompat sambil mengibas-ngibaskan tangan, hampir mengumpat (dia mau bilang ‘sinting’ namun cuma setengah jalan, otaknya—dengan brilian, walau nyaris terlambat—mengingatkan bahwa ada Bunda Sejeong di sini dan ceramahnya soal betapa buruknya kata-kata umpatan biasanya berlangsung paling sedikit dua jam dan memikirkannya saja sudah melelahkan). “SINT—uhh Tuhankuuu, kulitnya jauh lebih dingin daripada seribu es batu,” katanya.


Melihat reaksi Eun Ki, anak-anak lain mulai berdiri dari tempat duduknya dan menatap Taeyong  penasaran.


“Bolehkah aku memegangmu juga?” tanya Hyun Mi malu-malu.
“Aku juga!” seru Won Tak.
“Aku juga mau coba,” Ki Won ikut menyahut.
“Aku aku akuuuuu!!” Jeha menyelak mereka semua dan berdiri di depan Taeyong. Taeyong tersenyum geli kemudian mengulurkan telunjuknya pada Jeha.


“Jangan menangis, ya..” katanya meledek. Jeha menyentuhnya satu setengah detik dan benar-benar menangis. Taeyong menyesal sudah meledek.


Sepuluh menit pun terlewat hanya untuk berjabat tangan dan menertawakan reaksi para anak asuh yang menjabatnya, sungguh bermacam-macam; ada yang berteriak, ada yang tertawa, ada yang cuma melotot, dan ada pula yang bilang ‘tidak dingin’ sambil meringis.


“Kau baik-baik saja?” tanya Bunda Sejeong pada Taeyong, mengingat mereka sudah menghabiskan hampir setengah jam di luar ruangan khususnya.


Taeyong menarik leher kaosnya ke depan, lalu mengintip dadanya. “Sepertinya paru-paruku masih berfungsi,” guraunya.


Bunda Sejeong tak terlihat senang dengan gurauan itu.


“Maksudku, aku menghirup udara.. di sini ada udara.. aku baik-baik saja.”
“Kau sebaiknya kembali ke ruanganmu.”


Taeyong tak menjawab. Oh, dia suka di sini. Di luar kamarnya yang super dingin dan super terpencil. Jika ada yang menawarkannya untuk pindah ke gedung satunya—gedung yang lebih cerah, tempat di mana Hana dan semua anak asuh tinggal—ia akan menyetujui dengan senang hati. Tapi ibunya jelas akan menolak gagasan itu.


Bunda Sejeong menoleh pada anak-anak (yang bergerombol, ribut membahas dan memuja-muja betapa dinginnya Taeyong), kemudian mengumumkan, “Anak-anak, Bunda rasa sudah waktunya makan malam.”


“Bolehkah Taeyong hyung makan bersama kami?” tanya Jeha. Anak-anak menoleh pada Bunda Sejeong penuh harap. Sementara Taeyong cuma memutar mata karena sudah tahu jawabannya.


Wanita itu mengulum senyum dan menggeleng, “Maaf, mungkin lain kali,” katanya. “Taeyong sudah terlalu lama berada di luar, ia harus kembali ke kamarnya.”


Walaupun kecewa, tapi mereka semua mengerti dan tak membantah. Hari ini sudah menjadi hari yang berat bagi Bunda Sejeong tanpa perlu ditambah-tambah lagi.


“Sampai ketemu, Taeyong hyung.” Eun Ki melambai sebelum pergi. Anak-anak lain ikut melambai dan mereka pun pergi satu per satu.


Hana meremas lengan Taeyong untuk memberi tahu bahwa ia juga akan pergi. Taeyong tersenyum padanya, “Ke kamarku besok pagi?”


“Yeah,” jawabnya, kemudian melirik Bunda Sejeong, “kalau ibumu mengizinkan.”


Bunda Sejeong butuh sekitar lima detik untuk menghela napas sebelum menampilkan ekspresi ‘apa boleh buat’ dan mengangguk. Ia mendesah panjang dan menatap Taeyong, “Kau mulai bersikap seperti remaja sungguhan dan sejujurnya itu menyakitkan.”


Taeyong mengerutkan kening. Sementara di sebelahnya, Hana meringis tak nyaman lalu buru-buru pamit menyusul yang lain, dalam hati berharap sang pria segera melupakan ucapan itu dan tidak bertanya apa-apa padanya besok pagi. Sejujurnya dia juga tak begitu paham. Remaja sungguhan? Hana menduga maksudnya adalah sikap agresif, remaja selalu merasa keren jika ia bisa membangkang, kan? Dan Taeyong baru saja membangkang besar-besaran. Atau sesuatu yang lain... seperti tertarik dengan lawan jenis, yang jelas keliru karena mereka cuma berteman.



***********



Setelah hari itu, Taeyong mengira akan ada perubahan besar dalam hidupnya. Tapi ternyata, perubahannya hanya sedikit sekali.



TBC

Comments

Popular Posts