Freeze #3 (closer)



Dalam waktu singkat, pertemuan rahasia dengan Taeyong di gedung terlarang menjadi hal favorit baru bagi Hana. Jika ia tak salah menghitung, hari ini adalah pertemuan mereka yang kedelapan—pertemuan kedua dengan seragam sekolah (kehidupan SMA-nya yang melelahkan baru saja dimulai kemarin).


Hana mengetuk pintu tiga kali—dengan pola yang disepakati—dan tak lama kemudian mata abu-abu Taeyong muncul di ventilasi.


“Hei,” sapa Taeyong sambil nyengir lebar. “Kau bawa makanan kemarin?”
“Tch, aku tahu kau akan menanyakan itu.”
“Bawa, kan?”
“Sudah kubilang namanya es krim. Dan ya, tentu saja aku bawa. Karena kau suka sekali, aku beli lebih banyak hari ini.” Hana menarik tasnya ke depan dan membuka ritsletingnya. “Aku beli empat bungkus waktu istira—oh, tidak.” Hana mengeluarkan bungkus-bungkus es krimnya yang sudah cair. “Seharusnya aku beli pas pulang saja.”


“Tidak masalah.”


Hana mendongak dan memicing pada lubang ventilasi satu setengah meter di atasnya. “Kau tidak mengerti. Es krim lebih enak saat beku.”


“Kau yang tidak mengerti,” balas Taeyong sambil menyeringai kecil. “Aku bisa membekukannya.”
“Astaga! Kau benar. Bagaimana bisa aku lupa?”
“Berikan padaku!”


Hana berjinjit dan mengulurkan tangannya semaksimal mungkin, tapi lubang ventilasi kamar Taeyong masih terlalu tinggi untuk dijangkau.


“Ulurkan tanganmu keluar!” suruh Hana.
“Tidak muat. Kau pikir tanganku elastis, ya?”
“Payah sekali. Kukira kau manusia super.”
“Aku cuma sedikit lebih dingin dari manusia kebanyakan,” kata Taeyong merendah. Hana sontak mendecih. Dia jelas-jelas jauh lebih dingin dari manusia kebanyakan. Apanya yang sedikit?


“Kalau begitu coba bekukan ini dari jauh.”
“Tidak bisa. Harus kupegang.”
“Ya ampun. Kekuatanmu terbatas sekali, ya.”


Taeyong menghela napas. “Coba lakukan seperti kemarin!”


“Tidak mau. Aku pakai rok, nanti tersingkap lagi.”
“Memangnya kenapa?”
“Memangnya kenapa?” ulang Hana tak percaya. Dia masih tak tahu apa Taeyong memang sepolos itu atau sedang pura-pura bodoh saja. Tapi Hana tak mau ambil risiko. Dari atas sana, dia pasti bisa melihat segalanya.


“Lompatlah!” Taeyong mulai tak sabar.
“Aku malu,” bentak Hana kesal.
“Kenapa melompat membuatmu malu?” Taeyong ikut kesal.


Hana mendecih (lagi—entah mengapa, ia mengeluarkan bunyi ‘tch’ jauh lebih sering di depan Taeyong), namun lantas menuruti titah sang pria dan melompat sembari memegangi roknya. Hana berhasil menyentuh lubang ventilasi, tapi tak berhasil memasukkan es krimnya ke sana.


“Lupakan saja!” gerungnya. “Akan kutaruh di kulkas. Besok aku ke sini lagi.”
“Tidak. Tidak. Jangan pergi,” sergah Taeyong merana. Ia sudah menanti-nanti makanan manis nan dingin itu sejak kemarin. Dan sekarang, saat bungkus-bungkus es tersebut sudah di depan mata, ia tak sanggup lagi menunggu sampai besok. “Kau harus mencobanya lagi. Tapi kali ini, sebelum lompat ambilah ancang-ancang dulu dari jauh. Kemudian pusatkan fokusmu pada lubangnya.” Taeyong mengarahkan dengan serius.


“Tidak.”
“Oh, ayolah. Kemarin kau bisa melemparnya tepat sasaran.”
“Kemarin aku tak sadar kalau pakai rok.”
“Apa hubungannya?”
“Taeyong! Aku malu!”
“Malu pada apa?”
“Kau!”
“Aku?”
“Y-yeah..” Muka Hana memerah.
“Kena—“
“Berhenti tanya kenapa!” selanya murka.
“Okay, apa yang harus kulakukan supaya kau tidak malu….padaku?” Taeyong mengucapkan kata terakhirnya dengan sebelah alis terangkat, seolah itu adalah hal paling tidak masuk akal di dunia.


“Putar badan!”
“Kau mau aku berbalik? Oke, aku berbalik.” Seketika posisi mata Taeyong berganti dengan rambut putihnya yang nampak sehalus awan.


“Jangan halangi lubangnya!” seru Hana. Taeyong pun bergeser.


Gadis itu menarik napas panjang sebelum melompat tinggi bak pemain basket. Dalam sekejap, empat bungkus es krim sudah masuk dan mendarat di sebelah Taeyong.


Taeyong memandangi bungkus-bungkus es krim tersebut dengan mata berbinar. Kemudian tanpa membuang waktu lagi, ia menggenggam bungkusnya satu per satu selama beberapa detik dan seketika semuanya mengeras kembali seperti baru.


“Apa aku sudah boleh melihatmu lagi sekarang?” tanya Taeyong.


Hana yang tengah bersedekap menunggu pria itu membekukan es krimnya langsung mendengus. “Tentu saja boleh.” Memangnya dia kira aku sedang apa? Ganti baju?


Taeyong pun kembali memutar badan, lantas menjatuhkan sebungkus es krim untuk Hana.


“Yang benar saja? Kau cuma memberiku satu?”
“Kau bisa beli lagi besok,” katanya enteng, seolah dialah yang keluar dan membeli semuanya dengan uang sendiri.


Hana memutar mata, sudah malas untuk protes. Ia duduk bersandar di tiang seraya membuka bungkus es miliknya.


“Ngomong-ngomong, setelah pengamatan panjang nyaris setiap malam, aku akhirnya tahu kunci mana yang harus kuambil.”


“Baguslah.”
“Kunci itu selalu diletakkan di laci ruang kerja Bunda Sejeong,” terang Hana. “Aku sudah minta tolong pada Somin untuk pura-pura sakit gigi. Jadi hari Sabtu nanti, rencananya Bunda Sejeong akan keluar mengantar Somin ke dokter gigi, sementara aku akan mengambil kunci itu dan menduplikatnya.”


“Apa Somin tahu tentang aku?”
“Belum. Apa aku boleh memberitahunya?”


Taeyong cepat-cepat menggeleng. Namun karena lubang ventilasi itu hanya selebar tujuh centi, Hana hanya bisa melihat sekelebatan rambut dan wajah pucatnya saja.


“Apa kau barusan menggeleng?” Hana memastikan.


Taeyong mengangguk. Mulutnya penuh es. Ia menikmati es krimnya dengan tekun hingga tak peduli Hana tak bisa melihatnya.


“Oh, Ya Tuhan! Bisakah kau bicara?”


Taeyong terpaksa menarik stik es krimnya dari mulut. “Bisakah kau menggunakan logikamu saja? Barusan aku menggeleng, lalu setelah itu mengangguk,” ucapnya, kemudian bingung sendiri. “Intinya, jangan katakan soal aku pada siapa-siapa.”


“Aku juga berpikir begitu. Bagaimana pun, Bunda Sejeong pasti punya alasan sendiri untuk menyembunyikanmu.”


Hana mengemut es krimnya seraya memandang arloji. “Sudah hampir jam lima.”


“Kau mau pulang?”


Gadis itu berdiri sambil mengayunkan tasnya ke atas bahu. “Ya.”


“Sampai ketemu nanti malam?” kata sang anak laki-laki penuh harap.
“Sampai ketemu besok,” ralat Hana, “maaf, tapi aku harus mengerjakan PR.”
“Baiklah,” balas Taeyong lesu.
“Mana sampahmu?”
“Tunggu. Sisa satu lagi.”


Hana mendengar potekan keras dan suara merauk. Lalu tak sampai sepuluh detik, Taeyong sudah menjatuhkan tiga bungkus es krim beserta stiknya.


“Astaga! Sudah habis semua?” seru Hana takjub, kemudian melirik es krim di tangannya yang masih utuh.


“Pasti kau kunyah, ya? Memangnya tidak ngilu?” Sebelum Taeyong sempat menjawab, gadis itu langsung menggeleng sendiri. “Okay, pertanyaan bodoh. Tentu saja kau tidak akan ngilu. Seluruh tubuhmu sedingin es.”


Hana memungut bungkus-bungkus es yang dijatuhkan Taeyong dan melambaikan tangannya. “Bye,” katanya, lantas beranjak pergi.


“Hana,” panggil Taeyong.


Sang gadis menoleh. Mengedikan dagu.


“Besok bawa lagi.”


Gadis itu mendengus. “Kau tak boleh makan es krim tiap hari.”


“Kenapa?”


Hana—yang sudah bosan mendengar kata ‘kenapa’ keluar dari mulut Taeyong—hanya mengibaskan tangannya, kemudian pergi.



**********



“Kau siap, Somin?”
“Sejujurnya aku agak takut. Bagaimana kalau saat diperiksa nanti, gigiku ternyata bolong betulan?”
“Bagus, dong. Jadi kan sebelum sakit bisa langsung diobati.”


Somin menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. “Aku melakukan ini karena percaya padamu, loh,” katanya pelan. “Jadi apa pun yang kau butuhkan, ambilah dengan cepat.”


“Oke.”
“Kau janji tidak akan mengambil sesuatu yang bukan hakmu, kan? Kau bilang ini untuk kebaikan. Iya kan, Eonnie?”


Hana terdiam. Kunci itu sama sekali bukan haknya, dan apa yang akan dilakukannya nanti—mencuri kunci—amatlah jauh dari kebaikan.


Pada akhirnya, Hana cuma mengeluarkan senyum tipis sebagai jawaban. Di saat yang bersamaan, Bunda Sejeong keluar dari kantornya dengan pakaian rapi.


“Apa kau sudah siap, Somin?” tanyanya dengan nada ramah seperti biasa.
“Ya, aku siap.”


Bunda Sejeong tersenyum seraya membelai kepala anak perempuan itu, kemudian berbalik lagi hendak mengunci ruangannya.


“Bunda, tunggu…,” tahan Hana. “Ponselku rusak. Aku mau pinjam telepon, boleh?”
“Oh, mau telepon keluarga angkatmu?”
“Iya.”
“Kalau begitu masuklah!” Bunda Sejeong memberikan kuncinya. “Kalau sudah selesai jangan lupa dikunci lagi! Kuncinya kau pegang saja dulu.”


“Aku mengerti. Terima kasih banyak, Bunda.”
“Sama-sama, Sayang. Kami pergi dulu. Tolong jaga anak-anak selagi aku pergi.”
“Baik.”


Somin setengah mengangguk ke arah Hana, dan Hana balik mengangguk padanya, berterima kasih.



*********



Pukul empat sore, tepatnya setelah berhasil menduplikat kunci kamar Taeyong dan mengembalikan kunci aslinya ke kantor Bunda Sejeong, Hana mendatangi aula makan dan hanya duduk di sana tanpa melakukan apa-apa. Sebenarnya, ia bisa saja langsung menemui Taeyong sekarang, tapi perasaannya terganjal. Apakah yang kulakukan ini kelewatan? Mencuri kunci dan mengajarkan gadis sebaik Somin untuk berbohong. Benar-benar kelewatan, ya?


Somin baru pulang tepat saat anak-anak sedang makan malam.


“Gigiku bolong betulan.” Ia menginfokan seluruh meja selagi duduk.
“Memang tadinya bolong bohongan?” tanya Hyun Mi bingung.


Somin melirik Hana dan langsung tertawa kaku. “Masa bohongan! Tadinya kukira cuma sakit saja, tidak sampai bolong, ternyata bolong betulan,” kilahnya.


“Jadinya ditambal, dong?” Eun Ki bertanya seraya memasukkan sesumpit nasi ke dalam mulut.
“Iya,” jawab Somin antusias. “Dokter bilang geraham yang kanan juga ada potensi bolong.”
“Makanya sikat gigi,” sahut Melvin datar, namun cukup untuk membuat Somin meledak.
“Aku sikat gigi terus, kok! Mulai dari bangun tidur, mandi pagi, mandi sore, sehabis makan, sampai mau tidur lagi! Setiap hari selalu sikat gigi!”


Melvin cuma memandangi Somin dengan bosan, lalu kembali fokus pada makan malamnya. Somin memutar mata ke arah anak laki-laki itu, lantas kembali berceloteh kepada yang lain. Ia menceritakan pengalamannya di klinik gigi dan memberikan nasihat kepada mereka semua untuk sikat gigi yang rajin, namun pada akhirnya ia tetap menyudahi ocehannya tersebut dengan kalimat ‘walaupun begitu, terkadang sebanyak apa pun kau sikat gigi, jika Tuhan menakdirkannya untuk bolong, maka bolonglah dia.’


Satu per satu, anak yang sudah selesai makan berdiri dan membawa piring kotornya ke dapur. Hana tetap duduk supaya ia bisa menjadi orang terakhir dan mencuci piring—dia tak tega melihat anak-anak yang lebih kecil darinya kerepotan mencuci. Selain itu, mencuci piring sangatlah bagus untuk mengurai pikirannya yang kusut. Di sebelahnya, Somin yang masih belum diizinkan untuk memakan apa pun (karena tambalannya belum keras) memiringkan badannya pada Hana dan berbisik, “Bagaimana, Eonnie? Apa semuanya sudah beres?”


Hana memaksakan senyum. Semuanya beres kecuali perasaanku. Berbohong itu rasanya tidak enak sekali. “Ya. Sudah beres. Terima kasih padamu.”


“Aku senang bisa membantu.” Somin tersenyum lebar.


Hana balik tersenyum, namun hatinya semakin gelisah.



**********



Saat itu sudah sangat larut. Dan terlalu gelap di luar untuk mengintip lewat ventilasi. Taeyong sudah putus asa sekarang. Ia hanya duduk di atas lemarinya sambil memandangi lorong yang kelam, berharap melihat Hana di sana.


Apa yang terjadi?
Apa dia ketahuan eomma saat mengambil kuncinya?
Tapi tadi saat mengantar makan malam, eomma terlihat biasa-biasa saja, kok.


Pada saat itu, bayangan putih muncul dari lapangan dan mendekat ke kamarnya. Taeyong refleks menegakkan badan. Ia menempelkan telapak tangannya ke dinding dan menyipitkan mata berusaha mengenali sosok itu.


Si bayangan putih berhenti tepat di depan pintunya, mengulurkan sesuatu. Taeyong mendengar suara cekrekan kunci dan detik berikutnya pintu kamarnya didorong membuka.


“Taeyong,” bisik sang bayangan, yang ternyata merupakan Hana dengan selimut wol putih.


Melihat itu, Taeyong kontan tersenyum lega. Hana berjalan pelan sekali menuju peti tidurnya, sementara sang pria hanya mengamati, berusaha untuk tidak terkikik.


“Keluarlah! Ini aku….,” Ia menurunkan selimut wolnya ke leher. “Hana.”
“Aku tahu,” balas Taeyong dari atas lemari.
“Astaga!” Hana menoleh dan langsung terlonjak kaget. “Taeyong!” omelnya. “Ya ampun! Jantungku rasanya mau copot. Apa yang kau lakukan di atas situ?”


“Mengintip,” jawabnya. Masih duduk di pinggiran lemari dengan kaki yang berayun-ayun.
“Aku tahu. Maksudku, apa yang kau intip jam segini?”
“Aku menunggumu.”


Hana terdiam sebentar, lalu mendesah, “Aku sudah datang, jadi turunlah!”


“Kenapa kau kelihatannya tidak senang?” tanya Taeyong, kemudian melompat dan mendarat anggun dengan kedua kakinya.


“Aku hanya tidak enak sudah berbo…..” Kalimat Hana terputus begitu Taeyong berdiri tegak di hadapannya. Ia memandangi pria itu, terkesima. Kulitnya jauh lebih pucat dari yang ia ingat dan rambutnya seputih salju, berkilau di bawah sorot lampu. “Aku tak tahu kau setinggi ini.”


Taeyong berjalan pelan mengitari peti, dengan senyum seperempat dan mata yang tak lepas dari Hana.


“Aneh rasanya bisa melihatmu utuh dari atas ke bawah. Sudah dua minggu ini aku hanya melihat matamu saja, atau rambut jika kau sedang berbalik.” Hana menambahkan dengan suara yang amat pelan, seolah ia bicara di balik napasnya, terkagum-kagum. “Tak pernah selengkap ini.”


Taeyong berhenti di ujung peti, dua meter dari tempat Hana berdiri. “Kenapa kau baru datang sekarang? Aku menunggumu dari sore. Kau bilang kau akan menemuiku sebelum matahari tenggelam.”


“Ah..itu..yeah, maaf. Ibumu menyuruhku untuk menjaga anak-anak sampai dia pulang.”
“Oh, setelah semua yang kau lakukan, tiba-tiba kau menuruti perintah ibuku? Menarik sekali,” dengus Taeyong. Menurutnya, Hana jelas-jelas bukan tipikal gadis penurut. Kalau iya, gadis itu tidak mungkin mencuri kunci dan menyelinap ke kamar cowok yang jelas-jelas membahayakan keselamatannya—terlebih selarut ini.


“Apa maksudmu?” Hana bersedekap tak terima.
“Maksudku,” kata Taeyong jengah, “alasanmu bagus.”
“Aku tidak sedang beralasan. Oh, sudahlah, aku sudah punya kuncinya sekarang. Aku bisa ke sini kapan saja. Sekarang, apa yang akan kita lakukan?”


Taeyong mengangkat bahu. Suasana hatinya hancur karena berpikir Hana sengaja mengulur-ulur waktu. Mungkin sudah bosan menemuinya terus.


Hana menghela napas dan memandang berkeliling. Terakhir kali berada di sini, ia sedang panik luar biasa hingga tak menyadari sekitarnya. Tidak banyak perabot di dalam sana. Nyatanya, kamar bernuansa putih-biru itu terlihat lengang sekali, hanya ada sofa abu-abu jelek, AC raksasa yang sudah dimodifikasi, lemari reyot, kamar mandi dan peti tidur yang mengeluarkan asap saking dinginnya. Semuanya terlihat tua, kecuali peti itu (lancip, bercahaya biru dan berembun), seolah memang diciptakan untuk Taeyong seorang. Mungkin memang begitu—kecuali kalau di dunia ini ada manusia es yang lain.


“Apa kau bahagia tinggal di sini?” Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Hana sebelum ia sempat menahannya.


Taeyong tak langsung menjawab. Rahangnya terkatup rapat.


“T-tak perlu dijawab. Maafkan aku.”
“Ya,” kata Taeyong pelan. Hana tak yakin apa itu adalah jawaban dari perkataannya barusan atau pertanyaan ‘apa kau bahagia’ tadi.


“Ya, aku bahagia,” tambahnya, menjawab keraguan Hana. Pria itu bicara sambil menunduk mengusap ujung petinya. Matanya meratap. “Aku sangat bahagia tinggal di sini, sebab eomma bilang,….di sini aku tak perlu khawatir. Aku tak akan menyakiti siapa-siapa.”


“Aku yakin di luar pun kau tak akan menyakiti siapa-siapa.”
“Aku bisa menyakiti orang-orang hanya dengan menyentuhnya,” Taeyong berkata dengan tajam. “Aku pernah menyakitimu.”


“Cuma sedikit.”


Taeyong mengangkat bahu. “Aku tak akan ambil risiko.”


Hana ingin sekali protes. Kalau kau tak mau ambil risiko, lalu bagaimana kau tahu kau berbahaya? Namun yang ia lakukan hanyalah mengangguk.


Mereka terdiam canggung selama beberapa saat sebelum akhirnya Taeyong membuka peti kacanya. “Kurasa sebaiknya kau pulang saja. Tak ada yang bisa kita lakukan di sini.”


“Yeah, maaf aku datang terlalu malam,” sahut Hana.


Taeyong tak menghiraukan permintaan maaf itu dan langsung naik ke atas peti. Hana menghela napas, menudungkan selimut wolnya ke atas kepala dan berjalan menghampiri pintu.


“Taeyong.”
“Hana.”


Panggil keduanya, Hana berbalik dan Taeyong menoleh. Bersamaan.


“Besok kau datang lagi, kan?” Taeyong bicara duluan. Cemas. Ia memang agak kecewa dengan Hana, tapi bukan berarti ia tak mau melihat gadis itu lagi.


“Aku baru mau bilang begitu,” katanya dengan senyum lega. “Besok kan hari Minggu, aku akan datang ke sini bawa komik.”


“Komik?”
“Yeah, cerita bergambar.”


Taeyong mengerutkan dahi, namun tetap setuju. “Oke.”


“Sampai jumpa besok.”
“Sampai jumpa.”



**********



Hana tahu Bunda Sejeong mungkin bermaksud baik, tetapi itu tidak membuatnya tidak marah kepada Bunda Sejeong. Wanita itu telah mengurung anak semata wayangnya dalam ruangan jelek selama bertahun-tahun. Bukan hanya itu, anak malangnya ini bahkan tidak diajari baca-tulis dan tidak diperbolehkan menonton televisi.


Hana mendesah mengamati Taeyong membolak-balik komiknya.


“Sini, biar kubacakan untukmu.”


Taeyong memberikan komiknya.


Hana menyelonjorkan kaki dan berdeham membersihkan tenggorokan. “Anda penggemar mitologi Yunani, Justin?” mulainya, dengan suara berat meniru-niru karakter Mr. Osborn. “Tidak juga, Tuan—Pernah mendengar mitos Arachne?—Tidak pernah, Tuan Osborn—Ceritanya begini, dahulu Athena… kau tahu Athena, kan? Sepertinya dia mendengar ada wanita di bumi ini… hanya manusia biasa seperti kau dan aku… yang kebetulan merupakan…,” Hana berhenti dan mendongak menatap Taeyong.


“Kau harus duduk di sebelahku,” katanya, “ini komik. Kau harus lihat gambarnya.”


Taeyong nampak ragu-ragu. “Tapi bagaimana kalau…”


“Oh, diam dan kemarilah!” Hana menyela dengan muak. “Aku sudah membungkus tubuhku dengan selimut. Sumpah aku bisa jaga diri. Takkan kubiarkan kau menyentuhku. Sengaja atau pun tidak.”


“Kau yakin?”
“Tak pernah seyakin ini,” balas Hana. Ia langsung bergeser, supaya Taeyong bisa duduk di sebelah lemari.


Pria itu pelan-pelan menyeret tubuhnya sampai duduk berselonjor di antara Hana dan lemari. Jantungnya bertalu-talu. Cemas. Takut. Gugup.


“Siap?” tanya Hana.
“Y-ya, kurasa.”


Hana menunjuk gelembung di atas wajah Mr. Osborn dan meneruskan membaca. “Sepertinya dia mendengar ada wanita di bumi ini… hanya manusia biasa seperti kau dan aku… yang kebetulan merupakan pemintal yang lebih baik darinya—Pemintal?—Athena tidak terlalu senang mendengarnya dan dia turun ke bumi dan menghancurkan semua karya wanita tersebut…,”


Hana terus bercerita dan bercerita sampai suaranya parau. Sementara Taeyong memerhatikan dengan saksama.


“Ya ampun! Menakjubkan!” raung Taeyong begitu Hana menutup komiknya. Ia melompat berdiri. Mukanya yang pucat berubah merah jambu saking bergairahnya. “Aku tahu pasti ada yang tidak beres setelah Peter digigit laba-laba! Kau lihat bagaimana dia menghindar dari Kong? Dan bagaimana dia salto di atas mobil van itu? Ya ampun, dia bahkan bisa menghancurkan pintu dan merangkak di langit-langit. Apa yang terjadi selanjutnya, Hana? Apa dia akan berubah jadi laba-laba?”


“Sebenarnya...,” Hana membalik sampul komiknya. “Dia akan jadi Spiderman.”
“Keren,” desis Taeyong, meraih komiknya. Ia memerhatikan gambar Spiderman yang sedang melompat di antara gedung-gedung pencakar langit itu dengan mata berbinar. “Kau punya lagi, Hana?”


“Ya, tentu. Aku punya semua serinya, tapi ada di rumah lamaku.”
“Oh, sayang sekali,” kata Taeyong dengan suara rendah. Tatapan terpukaunya pada sampul komik berubah menjadi meratap.


“Aku akan telepon Wooseok Oppa.” Hana menyela dengan cepat, tak tega melihatnya begitu.
“Mungkin dia bisa menjemputku pulang. Akan kubawa ke sini semua komikku. Aku punya satu dus penuh. Aku juga akan membawa film-filmnya.”


“Kita akan menonton?”
“Ya!”
“Aku ingat pernah menonton saat kecil.”
“Kau akan melakukannya lagi sesegera mungkin.”
“Hebat.”
“Yeah, dan sampai aku mendapatkan komik dan film-film itu—aku tak tahu kapan Wooseok Oppa punya waktu luang untuk datang ke sini, dia orang sibuk—aku akan mengajarimu membaca.”


“Sungguh?”
“Ya. Akan kuatur jadwalnya,” kata Hana. “Akan kuatur serapih mungkin supaya tidak ganggu sekolahku dan tidak ketahuan Bunda Sejeong. Aku tak boleh lama-lama menghilang dari rumah singgah. Semuanya akan curiga.”



**********



Wooseok adalah manusia paling baik dan paling pengertian yang pernah Hana kenal seumur hidupnya. Tipikal kakak laki-laki idaman. Selalu berusaha meluangkan waktu untukmu. Ia setuju menjemput Hana di Mungyeong, hanya demi mengambil komik di rumah lamanya—yang sudah kotor dan tak terawat—di Seoul. Walaupun sibuk luar biasa, Wooseok tetap menyempatkan diri untuk datang pada Jumat sore, dua minggu setelah Hana meneleponnya.


Karena tiba di Seoul terlalu malam, Hana pun menginap di rumah keluarga Lee. Ia disambut dengan sukacita dan direpet dengan selusin pertanyaan, mayoritas seputar sekolah; bagaimana pelajarannya? Sudah punya banyak teman? Apa kau betah?


Karena kedatangan Hana yang tiba-tiba itu, sarapan mereka keesokan paginya menjadi benar-benar berlebihan. Semua makanan yang sanggup Hana pikirkan tersedia di depan matanya. Selama makan, Nyonya Lee terus-menerus membujuknya untuk pulang (untuk tinggal bersama mereka lagi—Hana segan menyebutnya ‘pulang’ karena bagaimana pun itu bukan rumahnya). Sementara itu, Wooseok diam seperti biasa. Hanya berkata ‘sudah cukup, Ma’ dengan nada tak nyaman tiap kali bujukan ibunya mulai kelewatan; Rumah singgah itu hanya untuk anak-anak terlantar. Menurut ibu, guru di SMA-mu itu kurang kompetibel, dan lain sebagainya.


Pukul delapan lewat sepuluh, Hana akhirnya bisa keluar dari rumah itu. Ia dan Wooseok tiba di rumah lamanya pukul Sembilan pagi. Hana langsung berlari masuk ke dalam kamarnya. Menahan diri untuk tidak terpengaruh dengan suasana hatinya yang mendadak kelabu. Oh, dulu rumah kecilnya ini begitu hangat. Sekarang semuanya sudah sunyi dan kotor.


Hana menarik lacinya yang berdebu dan bersorak pelan melihat tumpukan komiknya yang masih utuh—hanya kotor sedikit, belum lapuk. Dia langsung teringat Taeyong, langsung terbayang segembira apa dia nanti.


Sambil memasuk-masukkan komik dan filmnya ke dus, Hana melirik ke arah Wooseok—yang saat itu sedang asik sendiri melihat-lihat jejeran foto di pigura.


“Oppa?” panggilnya. “Aku tahu ini hari Sabtu, tapi apa kau benar tidak ada kegiatan?”
“Tidak, kok. Santai saja.”


Hana tersenyum tipis dan mengangguk. Perasaannya terasa sedikit lebih tenang. Ia sungguh tak mau mengganggu kegiatan Wooseok. Tapi menilik dari pembawaannya sekarang, yang kalem dan tanpa beban, sepertinya ia memang sedang libur. Syukurlah.


“Ngomong-ngomong, bagaimana kabar ibumu?”
“Uhh, baik?” jawab Hana, yang malah terdengar seperti balik bertanya. “Aku rajin menjenguknya tiap minggu. Tapi yah…begitu. Tak ada perkembangan. Sudah koma hampir tujuh bulan. Dokter selalu bilang apa-apa perihal ibuku melalui Bunda Sejeong, karena aku belum cukup umur. Tapi saat aku curi dengar, dokter saat itu minta persetujuan untuk melepas semua alat bantunya. Katanya sudah terlalu lama. Tidak ada harapan lagi. Tapi Bunda Sejeong menolak.”


“Ibumu akan segera siuman, Hana. Jangan hilang harapan.”
“Yeah..,” bisik Hana. Tangannya terkulai lemas di kedua sisi laci. Hatinya terasa berat sekali. Kemudian seolah tersadar, ia mencengkeram laci itu dan menggeleng, mengusir semua keputusasaannya jauh-jauh. Bunda Sejeong dan Wooseok saja—yang notabene merupakan orang asing—percaya pada ibunya. Masa anaknya sendiri tidak? “Ya, ya, maksudku ya. Pasti siuman.”


“Begitu, dong.”


Hana pun meneruskan memasukkan komiknya. Sementara itu, ponsel Wooseok berbunyi.


“Halo…Ah, aku tak bisa ke lab hari ini. Memangnya ada apa?....” Hana meliriknya dengan segan, menyiapkan diri untuk mendengar kata-kata ‘aku tak bisa ke lab hari ini karena adik angkatku yang kekanakan (yang sudah hampir enam belas tahun tapi masih kekanakan) minta diantar mengambil komik’. Wooseok kembali bicara, tapi tidak mengatakan apa yang dipikirkan Hana. “…. aku sudah merancang formulanya. Sudah jadi. Tinggal dites pada tikus lab. Tapi sejujurnya, jika kau mau suntikkan langsung pada Groye, aku cukup optimis. Sudah kuuji di komputerku. Berulang-ulang…. Efek sampingnya? Aku yakin tidak bahaya. Mungkin dia akan tidur sampai tiga hari, tapi itu tidak masalah… Kalau berhasil, kita akan memasuki babak baru dalam dunia militer…”


Selama menelepon, Wooseok terus menyunggingkan senyum. Sebelah tangannya masuk ke dalam saku mantel, sementara kakinya mengayun pelan menendangi tembok. Ia menggigit ujung bibirnya, kemudian tersenyum lebih liar. Wooseok tak pernah tersenyum seperti itu.


“….oke, kalau kau mau tunggu aku sampai nanti malam, kita bisa lakukan tesnya bersama-sama… Baiklah. Sampai jumpa.”


Ketika Wooseok menoleh ke belakang, Hana sudah berdiri sambil memeluk dusnya.


“Sudah semua?”
“Ya.”
“Biar aku yang bawa.” Ia mengambil dus itu dari tangan Hana, lalu beranjak menuju mobil sambil bersiul-siul.


“Aku tak sengaja mendengar percakapanmu,” kata Hana seraya membukakan bagasi. “Boleh kutahu apa itu Groye?”


“Ah, dia gorila lab.”
“Gorila?”
“Yeah, kami punya gorila dan tikus untuk percobaan.”
“Percobaan apa?”
“Rekayasa genetik. Aku buat serum yang bisa membuat kulitnya sekeras baja.” Wooseok bicara sambil memasukkan dus itu ke bagasi, kemudian menutupnya. Ia berjalan ke pintu kemudi. Terlihat bersemangat sekali, seolah sudah tidak sabar untuk menurunkan Hana di rumah singgah dan melesat menuju labnya.


Hana pelan-pelan ikut memasuki mobil. Dahinya berkerut. Dia kira semua itu hanya ada di film. Walaupun tahu Wooseok merupakan ilmuwan, tapi Hana tak pernah menyangka ternyata dia meneliti hal-hal semacam ini.


“Untuk apa membuat kulit gorila itu sekuat baja?” tanya Hana di tengah perjalanan. Buah hasil renungan panjangnya.


“Gorila itu cuma percobaan saja. Kita tunggu beberapa bulan, jika tidak terjadi apa-apa, baru bisa disuntik ke pasukan militer kita. Akan jadi pasukan militer yang tak terkalahkan jika perang.”


“K-kita akan perang?”
“Sepuluh tahun ke depan, dua puluh tahun…. Entahlah, tak ada yang bisa prediksi apa yang akan terjadi pada dunia. Manusia semakin rakus. Jika kau lebih jeli saat nonton berita, kau akan lihat negara-negara adidaya berlomba-lomba menguasai bumi. Kau lihat Korea Utara, mereka uji coba rudal siang-malam. China punya ratusan bom atom dan bom hidrogen yang aktif. Rusia tak henti-hentinya latihan perang. Mereka juga punya bom nuklir yang bisa menghabisi setengah bumi. Orang-orang sinting itu…. semakin gila saja mereka. Belum lagi Israel, Amerika…semua punya taktik sendiri. Perkembangan senjata kita mungkin agak tertinggal, tapi kita tak boleh mengalah. Toh kita semua sama-sama punya ini.” Wooseok menunjuk pelipisnya. “Sudah lama kita coba kembangkan ilmu sains untuk militer. Sepertinya mulai membuahkan hasil.”


Hana terbengong-bengong. Selain karena penuturan maha panjangnya tentang kepemilikan senjata dan perang (yang selama ini tak pernah ia anggap serius), Hana juga akhirnya menemukan topik yang membuat Wooseok begitu tertarik. Ia bicara tanpa jeda, dengan mata membara, aura berapi-api dan intonasi yang bersemangat sekaligus geram. Saat ia merutuki orang-orang sinting yang membuat bom atom dan nuklir, Hana bisa merasakan amarahnya memancar memenuhi mobil.


“Aku baru tahu pekerjaanmu seperti ini.”
“Hahaha…. konyol, ya? Aku cuma kutu buku yang selalu mendekam di lab.”
“Tidak, tidak,” sergah Hana, mengibas-ngibaskan tangan. “Aku justru mau bilang kau keren sekali.”


Sudut bibir Wooseok berkedut sedikit, jelas sekali sedang menahan senyum. “Tak pernah ada yang sebut aku keren.”


“Yang benar? Tapi kau sangat-sangat keren. Rasanya aku semakin bangga punya kakak sepertimu,” ujar Hana sungguh-sungguh. “Andai otakku ini jenius sepertimu, aku pasti akan melamar kerja di sana."


“Oh, kau tak akan mau, percayalah. Bahaya sekali di sana,” kata Wooseok dengan raut ngeri. Matanya tak lepas dari jalan raya. “Di labku radiasinya kuat sekali. Orang-orang di sana, sebelum umur 40 banyak sekali yang meninggal, kena penyakit macam-macam. Belum lagi percobaannya sering gagal. Dua tahun yang lalu… mereka menciptakan alat ini, untuk perang juga, aku lupa namanya. Yang pasti jika berhasil, alat itu bisa mengeluarkan gelombang bunyi yang bisa merusak gendang telinga manusia. Tapi alatnya meledak, dan sekarang hampir sebagian orang di lab menggunakan alat bantu dengar.”


“Yang benar?” Hana melotot. “Lalu bagaimana denganmu?”
“Saat itu aku belum kerja di sana. Aku baru bergabung Agustus tahun lalu, tepat saat umurku 19. Paling muda di sana, paling diremehkan.” Wooseok mendengus sebelum menyeringai kecil. Matanya kembali membara. “Tapi lihat siapa yang berhasil menemukan formula mutakhir untuk pertahanan militer? Saat namaku disebut, pasti kaget sekali mereka semua. Sampai jatuh dagunya ke lantai. Tak akan bisa remehkan aku lagi.”


Hana terdiam memandanginya. Tak pernah ia melihat Wooseok begitu dendam pada seseorang. Walaupun bicaranya lantang penuh percaya diri, Hana tetap bisa melihat pria itu terluka.


“Maaf,” kata Wooseok begitu menyadari tatapan Hana. “Aku hanya terlalu kesal. Saat aku lewat, mereka selalu bisik-bisik bilang Stein lab—nama labku—kualitasnya menurun. Rekrut orang sembarangan. Padahal aku tidak tidur seminggu untuk ciptakan sarung tangan kedap suhu itu—benda yang membuatku diterima di lab. Mereka bilang itu alat bodoh. Tidak bisa dipakai.”


“Sarung tangan kedap suhu?”
“Terdengar konyol, memang. Aku belum sempat memberi nama yang keren karena senior-seniorku di lab sudah menghujatku duluan.”


“Bukan, maksudku, apa itu?”
“Sarung tangan biasa, hanya saja mau sepanas atau sedingin apa pun benda yang kau sentuh, kau tak akan merasakannya.”


Hana terdiam. Oh, dia dapat ide cemerlang. Solusi untuk Taeyong.


“Walaupun yang kau sentuh sedingin freezer?” tanya Hana hati-hati.
“Seratus kali lebih dingin dari freezer pun tak akan terasa,” jawab Wooseok pasti.
“Ya ampun,” desis Hana di balik napasnya.


Wooseok salah paham dengan reaksi Hana. “Sebegitu konyolnya, ya?”


“Di mana sarung tangan itu sekarang?”
“Di ruang kerjaku di lab.”
“Apa kau pakai?”
“Tidak,” kata Wooseok murung. “Tak ada gunanya.”
“Bolehkah buatku saja?”



TBC



Heeey, fyi part ini udah jadi dari Kamis kemarin di memo hape, cuma sama sekali ngga ada waktu buat ngetik. Kuliah mulai hectic lg :’( Anyway, semoga pada suka sama Taeyong – Hana,...dan suka sama ceritanya juga.. babay

Comments

Popular Posts