Bitter Sugar - Part 7






 Rasa pusing langsung mencengkeram kepalanya begitu ia membuka mata. Minhyuk mengerang sementara tangannya memijat kening, berharap pusingnya akan berkurang. Namun percuma saja, rasa pusing itu malah semakin terasa setelah ia menemukan langit-langit kamar yang nampak berbeda dari biasanya.



Ia mendesah, menelan ludahnya dengan susah payah. Ia tidak menemukan bercak-bercak kecokelatan di kamarnya. Ia mengamati ruangan tempatnya berada. Ini sudah jelas bukan kamarnya, lalu dimana ia sekarang? Minhyuk mencoba membuka kotak memorinya yang tentu saja membuat rasa pusing menghantam kepalanya semakin dahsyat.



Tunggu sebentar. Hal terakhir yang ia ingat adalah ia menghampiri Andrea di meja kasir dan setelah itu semuanya menjadi gelap. Sial, ia pingsan. Ia langsung bangkit yang membuatnya mengerang kesakitan. Ia pun kembali berbaring sambil meringis.


Ia mengamati keadaan di sekelilingnya. Ada beberapa piala terpajang di sebuah lemari yang juga dipenuhi dengan koleksi mainan action figure, kemudian tak jauh dari sana ia melihat sebuah meja belajar dengan seperangkat komputer, beberapa buku, serta lampu belajar.



Ia beralih mengamati poster-poster bergambar karakter pahlawan super keluaran Marvel terpajang di beberapa tempat. Setelah rangkaian poster itu, ia menemukan sebuah bingkai yang dipajang di dinding. Minhyuk menyipitkan matanya, berusaha untuk melihat gambaran jelas dari foto yang terpajang di sana. Namun gagal karena rabun jauhnya. Ia baru ingat tidak memakai lensa kontak atau membawa kacamatanya.



Walau apa yang dilihatnya tidak terlalu jelas, ia mulai merasa lega karena setidaknya ia bukan berada di kamar seorang wanita. Lagipula ia masih memakai baju lengkap, persis seperti yang ia kenakan semalam.



Samar-samar terdengar perdebatan dari balik pintu. Minhyuk memasang telinga baik-baik. Namun tak berhasil menangkap apapun. Yang bisa didengarnya adalah obrolan penuh ketegangan yang samar.



Ia terkejut bukan main saat pintu terjebelak dan selanjutnya sosok yang terlihat di sana jauh lebih mengejutkan. Andrea dengan ekspresi kesal sedang membawa nampan. Di belakang gadis itu, ia bisa melihat Ethan dan Irish yang mengawasi gerak-gerik Andrea.



Suasana pun menjadi hening dan penuh ketegangan. Bahkan dalam keadaan payah, Minhyuk sudah berjaga-jaga kalau sewaktu-waktu Andrea mengamuk dan menumpahkan air serta sup di nampan ke wajahnya.



Gadis itu meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja belajar di seberang ruangan. Seharusnya Minhyuk merasa lega karena setidaknya kecurigaannya tidak benar. Gadis itu tidak berencana untuk menyiramnya atau melemparinya dengan sesuatu, tapi entah kenapa ia tetap merasa tidak tenang.



“Kau selalu merepotkan orang lain saat sedang mabuk.” Andrea tak menatapnya sama sekali kemudian melengos begitu saja setelah meletakkan nampan.




****



Lee Minhyuk pergi setelah menghabiskan makanannya serta membilas tubuhnya yang berbau keringat dan alkohol. Pria itu tidak bicara apa-apa padanya dan ia pun tak berinisiatif untuk mengajak pria itu mengobrol. Tapi Andrea merasa pria itu ingin menanyakan tentang banyak hal padanya. Ia bisa menebaknya dari cara pria itu mencuri tatap ke arahnya.



Entahlah, mungkin hanya perasaannya saja.



Tadi saat Minhyuk pamit pulang, ia sedang sibuk membereskan segala kebutuhan yang tersimpan di ruang penyimpanan makanan. Sehingga ia tidak sempat mengantar atau barang mengatakan ‘hati-hati di jalan’ pada pria itu.


“Kau dingin sekali, Andrea.” Irish membawa tumpukan tisu yang sudah dilipat dengan rapi, menatanya di sebuah meja kecil yang terletak tak jauh dari meja kasir.



Ia beralih menatap kakaknya sembari merapikan persedian uang kembalian di dalam mesin kasir. “Aku tidak punya alasan untuk bersikap baik padanya,” sahutnya. Ia menutup laci meja kasir, beralih memerhatikan persedian susu kotak serta gelas siap pakai. Menimbang-nimbang apakah ia perlu menambahnya.


“Aku punya firasat Minhyuk hanya ingin berbicara denganmu.” Irish menatapnya, “Maksudku, ia ingin bicara apa saja untuk lebih mengenalmu. Kurasa tidak ada salahnya memberikan anak itu sedikit kesempatan.” Gadis itu terlihat lebih serius.

“Tapi kau malah menebarkan aura dingin dan mencekam. Kau membuatnya takut, bahkan sebelum ia mencoba,” tambah Irish dengan gemas.



Sebelum ia berhasil menanggapi ucapan Irish, pintu depan terbuka. Pria bertubuh mungil dengan senyum cerah di wajahnya muncul. Itu Dino, pegawai yang merangkap sebagai tukang eksperimen resep kue terbaru.



Yah, beruntung sekali Irish memiliki sikap ramah yang mudah diterima orang-orang, sehingga mereka bisa mendapat pegawai sebaik dan punya kemampuan cemerlang seperti Dino. Untung irish berhasil membujuk Dino yang merupakan juniornya di sekolah tata boga untuk bergabung menjadi koki merangkap pelayan.



Irish menyambutnya dengan hangat. Basa-basi soal udara yang segar, cuaca yang bagus, dan kemacetan yang cukup menjemukan. Sementara Andrea hanya menyapa seperlunya. Dino mengangguk sambil menyapa balik, pemuda itu melewatinya yang masih berdiri di meja kasir kemudian melenggang masuk ke ruangan yang terletak di sudut. Pria itu menghilang di balik pintu ruang penyimpanan yang juga berfungsi sebagai dapur.


“Jadi?”

“Jadi apa?”

Irish mendengus sebal karena ia mencoba mengalihkan pembicaraan mereka. “Jadi apa yang akan kau lakukan kalau pria itu datang ke sini lagi?” Irish terdengar sangat mendesak, kemudian gadis itu bicara lagi. “Sampai kapan kau akan bersikap dingin seperti itu? Lagipula kenapa kau bersikap begitu padanya? Menurutku ia itu tampan,” katanya mulai bersemangat.



Ia bergidik ngeri kalau Irish sudah mulai bicara dengan nada girang seperti itu. Sosok anggun dan manis itu langsung lenyap digantikan sosok ibu-ibu bawel yang usil mencampuri urusan asmara anaknya.

Ia tak menanggapi, lanjut mengelap meja besi dari kerak-kerak hitam bekas kopi. Sikap itu tentu membuat Irish semakin gemas.



“Kurasa ia tertarik padamu.” Ucapan Irish barusan membuat tangannya berhenti, Irish bicara lagi. “Mungkin belum sampai tahap menyukaimu, tapi aku yakin ia tertarik padamu. Tapi kau malah menarik diri. Payah,” ungkap Irish.


Gadis itu sudah selesai menata tisu, gula kemasan, sedotan, serta sirup vanilla. Beralih menuju meja kosong yang paling dekat dengan meja kasir, ia duduk di sana sambil mengamatinya.

“Aku hanya melindungi diriku sendiri.” Andrea membalas tatapan Irish, “Aku pastikan ia hanya penasaran saja denganku. Soalnya aku satu-satunya perempuan pintar yang tidak meladeninya,” katanya sambil menyeringai puas.


Semenjak Minhyuk menolong mereka dari amukan Jiho tempo hari, kakaknya itu punya khayalan berlebihan tentang pria tukang tebar pesona itu. Bagi Irish, Lee Minhyuk adalah sosok pria menyenangkan dan sangat baik. Tidak tahu saja bagaimana perangai pria itu sebenarnya. Tukang tebar pesona, suka merayu gadis-gadis, dan berpikir kalau ia bisa menaklukkan gadis manapun yang ia mau.


Sebenarnya bukan hanya karena hal itu atau tragedi muntah di kaosnya saja yang membuatnya tidak menyukai Minhyuk. Jauh sebelum Minhyuk muntah di bajunya, ia pernah memergoki pria itu sedang bercumbu dengan seorang wanita seksi berwajah menggoda di dalam salah satu bilik kamar mandi milik Combos.



Waktu itu ia benar-benar sudah tidak bisa menahan hasrat buang air kecil, ia langsung menerobos bilik kamar mandi terdekat. Betapa terkejutnya Andrea begitu menemukan seorang wanita tengah duduk di atas pangkuan seorang pria sambil berpagut mesra. Kedua orang tersebut terlihat kaget, namun tak terkesan malu. Justru malah dirinya yang dilanda rasa malu.



Saat ia hendak menutup pintunya kembali, barulah ia menyadari kalau sosok pria itu adalah gitaris BitterSugar yang amat diidolakan oleh Narin.



Mengingat semua itu jelas ia semakin muak dengan sosok Minhyuk. Pria itu telanjur punya kesan yang tidak baik di otaknya. Jadi ia tidak mungkin membuka dirinya untuk orang seperti Lee Minhyuk.


“Oh ya? Kalau menurutku kau hanya takut membiarkan siapapun mendekatimu.”

“Aku memang selalu bersikap seperti ini,” balas Andrea.

“Baiklah, pada dasarnya kau memang agak dingin. Tapi–“ Irish melepaskan desahan keras kemudian melanjutkan kalimatnya dengan hati-hati, “–setelah ibu meninggalkan ayah, kau menjadi sangat tertutup dan terkesan menarik diri.”


“Kau bahkan memutus kontak dengan Sungjun padahal sudah jelas anak itu menyukaimu.” Irish menggigit bibir dengan gelisah. “Kejadian itu meninggalkan luka untukmu, untuk kita semua. Tapi kau benar-benar parah, Andrea. Tidak semua orang akan meninggalkanmu seperti yang dilakukan ibu pada ayah,” kata Irish serius.


Andrea menghela berat, sebisa mungkin menjaga ekspresi wajahnya. Jujur saja ia tidak begitu menyukai topik pembicaraan mereka kali ini. Oke, mungkin ia terlalu berlebihan dengan menyimpan luka lama itu.


Mungkin ia terlalu rapuh karena ia satu-satunya orang di rumah ini yang belum pulih dari duka itu. Tapi jangan salahkan dirinya. Ia pun tak ingin memeliharanya, namun sulit untuk menghapus semua itu dari pikirannya. Jelas-jelas ia melihat langsung bagaimana ibunya memagut mesra pria pemilik mobil mengkilap pada malam bersaju itu.


Ia melihat semuanya. Langsung. Dengan mata kepalanya sendiri.


Tak ingin mengorek lukanya lebih dalam, ia pun mengangkat tangannya, menyuruh Irish berhenti. Namun Irish menolak untuk berhenti. Gadis itu malah bicara lagi, seolah dengan begitu luka di dalam hatinya bisa pulih begitu saja.


 
“Tidak semua orang seperti ibu. Orang yang benar-benar mengerti dan mencintai kita pasti tidak akan meninggalkan kita. Apapun kondisinya. Kenapa kau harus takut?”

“Itu kan yang membuatmu menjauhi Sungjun karena kau takut ia akan meninggalkanmu setelah tahu keadaanmu saat ini?” Ucapan Irish memukulnya dengan keras dan seolah belum puas, Irish melanjutkan lagi. “Bahkan kau terus berbohong dengan temanmu karena takut mereka pergi, ya kan?”


Ia memejamkan mata, tak tahu bagaimana harus menanggapi ucapan Irish. Kakaknya itu memang benar, semua yang dikatakannya memang benar. Namun bukan berarti Irish bisa membeberkannya semudah itu tanpa memikirkan perasaannya.



“Maaf karena aku tidak sekuat dirimu. Maaf karena aku  tidak seperti dirimu yang bisa  bicara jujur dan merelakan Jiho pergi dengan besar hati.” Andrea terlalu kesal hingga tak mempertimbangkan perasaan Irish. Gadis itu langsung membeku begitu ia menyinggung tentang Jiho.


Namun Andrea tak berhenti. Bukankah ini yang Irish inginkan? Mereka bicara terang-terangan perihal masalah yang selama ini sengaja mereka hindari?

“Lalu bagaimana rasanya saat Jiho pergi darimu? Coba beritahu aku, mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk bicara jujur pada teman-temanku.” Andrea menatap Irish dengan menantang.


“Nyatanya tidak ada orang yang mau bertahan di sisi kita saat kita bangkrut, Irish! Bahkan Jiho, pria yang selalu kau banggakan itu!” Akhirnya kalimat itu terucap dengan lantang setelah sekian lama ia membiarkannya tersimpan di dalam hati kecilnya.


Irish menatapnya dengan penuh luka. Bulir air matanya jatuh perlahan mengaliri pipi. Dengan cepat Irish menyeka air matanya.


“Jiho pergi dariku dan rasanya sakit sekali.” Irish berdeham, suaranya terdengar serak.


“Aku sempat percaya ia akan terus bersamaku, tidak mempermasalahkan status ekonomiku saat ini. Tapi ternyata aku salah, ia meninggalkanku. Semua janjinya hanya bualan dan rasanya sakit sekali karena sempat mempercayainya sepenuh hati.” Irish kembali mengusap air matanya yang mengalir deras.


“Aku sempat menyesal dengan keadaan kita saat ini.” Gadis itu menggigit bibir sambil mendongak, menatap lurus ke langit-langit. Ia mendesah panjang. “Tapi pada suatu titik aku menyadari semuanya. Lalu aku bersyukur telah berkata jujur dari awal, karena dengan cara seperti itu Tuhan menunjukkan padaku bahwa Jiho tidak pantas untuk bersamaku,” kata Irish.


Mereka beradu pandang selama beberapa detik. Irish yang pertama kali memutus kontak mata, gadis itu memalingkan pandangannya ke arah tangga. Ia sedang memahami perasaannya sendiri. Meski percakapan mereka membuka kembali kisah yang tidak menyenangkan, entah kenapa beban yang menyesaki dadanya justru terangkat sedikit.



Walau ia merasa Andrea sudah keterlaluan karena menyudutkan dirinya, namun anehnya ia malah bersyukur Andrea melakukan hal itu. Kemudian ia mengerti kalau sebenarnya mereka perlu membicarakan semua luka yang selama ini hanya mereka pendam dalam hati. Selama ini mereka melesakkan kisah-kisah menyedihkan itu ke sudut hati paling dalam dan membungkusnya dengan senyum penuh kepura-puraan.


Namun hari ini ia sadar mereka belum benar-benar pulih dari semua ingatan menyedihkan itu.



****   



Mereka memang belum pulih, atau lebih tepatnya ia yang terlalu lama untuk pulih dari semua ingatan itu. Andrea sebenarnya sudah tahu tanpa harus mendapat peringatan seperti kemarin. Ia juga tahu kalau tindakannya yang menjadikan alasan ‘masih belum pulih dari luka lama’ untuk berbohong pada teman-temannya itu tidak bisa dibenarkan.



Andrea menyadari bahwa ada dua alasan yang membuatnya terus berbohong. Pertama, ia memang payah karena takut teman-temannya berjalan mundur meninggalkan, seperti ibunya meninggalkan ayahnya. Kedua, ia terlalu sombong untuk mengakui bahwa dirinya yang sekarang bukanlah ‘The Great Andrea’ yang tinggal di kawasan elit Pyeongchang-dong lagi, bahwa ia bukan gadis yang sama dengan gadis tiga tahun lalu yang punya banyak koleksi tas dan sepatu mahal.


Ia malu mengakui bahwa ia sudah jatuh ke titik terendah.



 Ia malu mengakui bahwa ia sudah bukan Andrea yang sama lagi. Ia takut kenyataan itu membuat orang-orang yang pernah mengenalnya jauh sebelum ini akan menatapnya jijik dan selangkah demi selangkah menjauhi dirinya.


“Kalian akan bertengkar sampai kapan?” Ia melirik Ethan yang menghampirinya, anak itu duduk di kursi yang mejanya sedang ia bersihkan.


Ia hanya mendengus keras, sengaja menyuruh Ethan menutup mulutnya dan menghentikan rasa ingin tahu yang berkembang di kepalanya. Buatnya masalah ini terlalu sensitif untuk dibahas bersama bocah ingusan seperti Ethan.


“Tidak bisakah kau mengerjakan sesuatu yang berguna?” Ia berkacak pinggang saat mulai merasa dipandangi dengan tatapan penuh selidik, “Bersih-bersih sana! Coba kau mengepel dapur atau buang kantong sampah keluar. Banyak yang bisa kau lakukan daripada cuma duduk di sini,” katanya mendikte.


Ethan hanya menguap bosan, bukannya beranjak dari tempat duduknya, anak itu malah sengaja mengentak-entak kakinya. Menegaskan bahwa ia akan berada di sana sampai Andrea mau membicarakan permasalahannya dengan Irish. Ia sudah bosan selalu disingkirkan setiap kali kedua kakaknya berada dalam masalah, seolah ia anak umur 3 tahun yang tidak tahu apa-apa.


Biar bagaimanapun ia remaja usia 17 tahun dan yang terpenting, ia juga bagian dari keluarga kecil ini.



Andrea melempar lap kotor di tangannya ke atas meja, “Dengar, aku tidak ingin membahas masalah ini denganmu sekarang. Jadi enyalah!” bentak Andrea mulai merasa frustasi.


“Kenapa tidak? Karena aku anak kecil? Kau pikir aku anak bayi yang masih pakai popok?” Ethan menyahut jengkel, ia beranjak dari tempatnya dengan mulut bersungut.

“Kalian selalu berusaha menjaga rahasia dariku. Aku juga salah satu dari kalian! Menyebalkan!”



Andrea menatap kepergian Ethan yang penuh kekesalan. Ia hanya bisa menatap bagaimana punggung adiknya menjauh dan menghilang di ujung tangga.

Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Kepalanya berdenyut sakit, kini pikirannya semakin kacau.


Ditambah saat Ethan kembali  dan melintasinya tanpa permisi. Anak itu sudah berganti baju; kaos dan celana jins serta menggunakan topi warna hitam. Ia mencoba memanggil adiknya namun Ethan berlalu begitu saja.

“Mau kemana kau?”
“Jangan pedulikan aku!” Ethan berbalik, “Bagi kalian aku hanya anak kecil. Maka biarkan anak kecil ini untuk pergi bermain.”
“Ethan! Apa sih yang mau kau lakukan?”
“Berhenti pura-pura peduli padaku! Selesaikan saja masalahmu!” katanya sebelum mendorong pintu dan pergi. 


Ia menyugar rambutnya, tak menyangka masalah ini menjadi semakin serius. Ckk, sepertinya mereka bertiga memang perlu bicara. 

Sejam setelah kepergian Ethan, Irish dan Dino pulang dari supermarket. Mereka masuk dengan membawa plastik-plastik besar berisi keperluan kafe dan keperluan mereka sehari-hari.


Pandangannya bertemu dengan Irish, kemudian ia merasakan kecanggungan luar biasa. Irish pun begitu, kemudian mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan.


“Biar aku bawa masuk,” kata Dino mengambil alih plastik di tangan Irish. Pria itu buru-buru menyingkir dari perdebatan kakak-beradik itu yang sebentar lagi meledak.



Di dalam ruangan tersisa Irish dan Andrea yang masih merasa kikuk satu sama lain. Kalau Andrea masih merasa kesal pada Irish. Sedangkan Irish diam seribu bahasa karena menganggap itulah yang diinginkan Andrea. Perang dingin.



Namun mereka harus bicara sekarang. Lebih tepatnya Andrea perlu memberitahu Irish bahwa adik bungsu mereka telah pergi meninggalkan rumah sejam yang lalu. Dalam keadaan sangat marah.


“Ethan–“ 

“Dia pergi sejam yang lalu dan terlihat sangat marah,” selaknya agar percakapan mereka lebih efisien.

Irish menatapnya lebih serius, kalau boleh jujur gadis itu menatapnya dengan aura menuduh. Ia benci ini.

“Apa yang kau katakan padanya, Dre?” suara Irish meninggi dan terdengar tegas dan menuduh. Ia pikir juga apa. Irish selalu punya kemampuan untuk merasa paling benar dan suka menuduh orang lain. Dan sialnya membuat orang lain yang dituduh merasa tuduh, bahkan di saat itu bukan salahnya sepenuhnya.

“Serius? Kau mau mulai mengomel lagi?” Ia sudah kehilangan kesabaran.
“Bukannya kau yang dari tadi kemarin sudah bersikap sok misterius dan mengabaikan pertanyaan penuh ingin tahunya itu?” Andrea tidak bisa menghentikan dirinya untuk tidak mengacungkan telunjuknya ke arah Irish.


Gadis itu perlu tahu semua ini terjadi karena salah mereka berdua. Bukan cuma karena dirinya.


Kemudian Irish si kakak yang tahu-segalanya-dan-benar-dalam-segala-hal itu mendengus, seolah baru saja mendengar fitnah paling kejam diarahkan padanya. “Kalau memang karena aku, Ethan sudah pergi dari tadi. Sebenarnya apa sih yang kau katakan padanya? Kau memperlakukannya dengan kejam, kan?”



“Kau pasti meluapkan emosimu yang meledak-ledak itu pada Ethan, bukan? Aku sudah tahu bagaimana dirimu,” tukas Irish mengejek.


Begitu perdebatan mereka semakin memanas dan suara teriakan tidak bisa dielakkan, Dino keluar dari dapur hanya untuk sekadar membalik papan ‘open’ menjadi ‘closed’ kemudian kembali lagi ke dapur. Persis seperti wasit yang memberi jeda perpindahan ronde dalam turnamen bela diri.


“Oh ya? Kau pikir kau tahu segalanya? Kau pikir dengan bersikap sok tangguh seolah kau bisa mengatasi semua masalah di keluarga ini bagus? Kau pikir dengan merahasiakan masalah-masalah krusial yang pernah terjadi di rumah ini dari Ethan bisa membantu?”


“Aku hanya berusaha menghentikannya yang terlalu ingin tahu masalah perdebatan kita tadi pagi. Kau tahu ia kemudian marah dan benar-benar meledak!” lanjut Andrea dengan nada suara semakin meninggi.

“Tapi–“


Napas Andrea memburu, ia belum puas dan ia tidak akan membiarkan Irish bicara. Gadis itu sudah terlalu banyak bicara selama ini. Sekarang gilirannya untuk bicara.


“Kupikir kita akan baik-baik saja besok dan tidak perlu ada intervensi Ethan di dalamnya. Namun anak itu salah tangkap dengan menganggap kalau aku menyingkirkannya. Kau tahu kenapa ia begitu? Itu semua karena dirimu! Karena kau pikir kau paling benar! Kau menanggung semuanya sendiri!”


Wajah Irish berubah, ia terkejut kemudian terlihat merenung.


“Jadi tolong jangan limpahkan kesalahan ini sepenuhnya padaku. Kau juga ambil bagian, Irish sayang,” ujar Andrea judes.



****  



Sudah pukul sembilan malam, namun Ethan masih berada di luar rumahnya. Ia masih enggan untuk kembali ke rumah itu dan melihat kedua kakaknya yang suka menyembunyikan masalah.

 
Tadi siang ia pergi ke rumah Yunjae, menghabiskan waktu cukup lama untuk membaca komik-komik di rak buku milik temannya itu dan bermain game. Namun begitu waktu sudah masuk pukul tujuh, ia pamit pulang.



Walau sebenarnya ia tidak pulang ke rumah, ia malah menyusuri jalanan Hongdae yang mulai ramai dengan beberapa pengunjung yang hendak berkunjung ke toko-toko yang berjejer di sepanjang jalan itu serta ingin menyaksikan penampilan para performer yang menampilkan beragam hiburan.


Ia melirik kerumunan yang mulai ramai, ada beberapa penari jalanan yang sedang berlatih. Kemudian tak jauh dari kerumunan itu, ada kerumunan lain yang sedang menyaksikan penampilan sekelompok perempuan yang tengah memperagakan tarian salah satu grup idol yang sedang naik daun.



Ia melanjutkan perjalanan, tidak begitu tertarik untuk berhenti dan menyaksikan salah satu pertunjukan itu. Ia terus berjalan hingga sampai tak jauh dari sisi jalanan yang cukup luas dan sudah dipenuhi banyak penonton.


Riuh penonton diiringi tepuk tangan samar-samar terdengar, kemudian suara petikan gitar mengalun lembut memulai pertunjukan. Yang terdengar selanjutnya adalah suara melodi gitar yang dimainkan dengan teknik lumayan rumit, lalu masuklah suara si penyanyi yang terdengar manis melantunkan lirik lagu yang penuh keputusasaan.


Tadinya Ethan memang tidak berencana untuk menyaksikan pertunjukan manapun, tapi bisa apa dia saat kolaborasi permainan gitar akustik yang rumit dan suara manis itu mengirimkan sejuta sihir yang meresap ke dalam tubuhnya. Ia mendekati kerumunan, menyelip dengan gerakan selembut mungkin. Ia tidak ingin mendapat protes dari penonton lain yang berambisi menyikut tubuhnya.



Beruntung tubuhnya cukup langsing dan pertunjukan itu sangat memukau sehingga membuat orang-orang tidak sadar kalau ia sedang menyelip di antara mereka. Berusaha mendapat posisi terbaik untuk bisa melihat sosok-sosok di balik pertunjukan penuh sihir ini.


Di barisan paling depan terlihat gadis berambut cokelat muda dengan highlight cokelat tua sedang melantunkan lagunya. Matanya terpejam khusyuk, seolah dengan begitu ia bisa menyihir semua orang. Kemudian di sebelah kanan, ada pemain keyboard yang tidak begitu sibuk karena hanya bermain di beberapa bagian saja. Matanya beralih ke arah gitaris yang berada di sisi kiri si penyanyi.



Ethan tercenung sekaligus terpukau begitu menemukan Minhyuk adalah sosok genius yang memainkan gitar dengan teknik rumit itu. Pria itu tidak kalah khusyuk dengan si penyanyi. Ia nampak begitu meresapi keputusasaan yang menguar dari lagunya, dan buat Ethan itu terlihat seperti orang kerasukan.


Pertunjukan itu berakhir dengan suara si penyanyi yang terdengar melirih. Setelah itu Ethan tidak terkejut mendapati respon penonton yang begitu heboh. Tepuk tangan penuh semangat dan teriakan memekikkan telinga. Dan sialnya ia berdiri di tengah-tengah para perempuan tidak tahu diri yang berteriak seperti pasien rumah sakit jiwa.



Ia memutar mata, kemudian mendapati Minhyuk yang sedang menatap ke arahnya. Pria itu mengulas cengiran lalu melambaikan tangannya. Perbuatan itu sungguh tidak bagus untuk kesehatan telinga Ethan. Karena para perempuan menjerit semakin histeris, apalagi begitu Minhyuk beranjak dari kursinya. Menghampiri Ethan yang menahan diri untuk tidak menyumpal mulut gadis di sebelahnya.



“Jangan menatapku dengan memuja begitu,” kata Minhyuk. 
“Kau sendirian?”
Ethan mengangguk, “Jangan tanya tentang kakak-kakakku. Yang manapun itu,” sahutnya jengkel.
“Ada masalah?”


Ethan tidak ingin membahas kekesalannya pada Irish dan Andrea di antara gadis-gadis kurang waras yang mulai menodongkan kamera ponsel mereka ke arah Minhyuk. Suara si penyanyi terdengar, ia mengucapkan terimakasih pada Minhyuk yang mau memainkan lagu untuk mereka dan mengatakan akan menyanyikan satu lagu selanjutnya.



Minhyuk melambai pada si penyanyi dan teman-temannya, kemudian merangkul Ethan. “Sebaiknya kita pergi dari sini.” Suara pekikan penuh damba menyertai kepergian mereka. Itu sangat gila, namun nampaknya Minhyuk tidak terganggu dengan hal itu. Sepertinya ia sudah terbiasa dipuja, dielu-elukan seperti patung dewa dalam upacara keagamaan tertentu.


“Mau pulang setelah ini?”
Ethan menggelengkan kepala. “Aku sedang memberontak. Aku belum mau pulang.”


Minhyuk berhenti tiba-tiba, melepaskan lengannya yang melingkari bahu Ethan. Pria itu menatapnya dengan menyelidik. Yah, sama dengan cara Andrea dan Irish menatapnya. Penuh selidik dan menggurui seolah ia anak kecil tidak tahu diri yang meninggalkan rumah tanpa pendamping.


“Baiklah. Aku tahu harus kemana."



****  




Minhyuk memutuskan untuk pergi ke restoran ayam goreng cepat saji yang tak terlalu jauh dari tempat tadi. Ia belum makan apapun dari tadi siang, hanya sekaleng kopi dingin yang sempat mengisi perutnya. Dan sepertinya pemuda di hadapannya pun begitu. Ethan memakan burgernya dengan lahap, benar-benar remaja dalam masa pertumbuhan.



Ia sendiri memesan dua paket  burger berukuran jumbo dan segelas kola berukuran besar.

Sesampainya di tempat itu, baik ia dan Ethan belum membicarakan apapun yang menyangkut pemicu aksi memberontak seorang Ethan. Biarkan saja pemuda itu mengisi perutnya, berbicara dengan orang kelaparan hanya akan membuat masalah semakin rumit. 


“Terimakasih untuk makanannya.” Ethan mengelap mulutnya dengan puas.
“Kapan-kapan aku akan menetraktirmu, hyung.”
“Aku akan menantikannya. Asal, jangan pura-pura lupa saja,” sahutnya santai.


Ponsel milik Ethan berdering, entah untuk yang keberapa kalinya. Minhyuk tidak menghitung, yang jelas ponsel itu sudah berdering beberapa kali namun Ethan sama sekali tak ingin menjawabnya.


Ia tidak ingin ikut campur sebenarnya, namun melihat nama Andrea dan Irish berulang kali muncul di layar ponsel Ethan membuatnya ingin meyakinkan pemuda itu untuk menjawabnya. Biar bagaimanapun Ethan sudah meninggalkan rumah daritadi siang, sudah pasti kedua kakaknya sangat khawatir.


“Biarkan saja. Aku ingin memberikan mereka pelajaran bagaimana rasanya diabaikan,” kata Ethan seolah tahu kalau ia baru saja ingin menyuruhnya untuk menjawab panggilan itu.



Baiklah, ia tidak akan bilang apa-apa. Biar bagaimanapun ia tidak ingin bertengkar dengan remaja berdarah panas di depannya. Ethan bisa saja nekat dan pergi melarikan diri lagi kalau ia menasihatinya yang macam-macam.


Biar bagaimanapun ia harus menjinakkan Ethan. Salah satu cara menjinakkan remaja yang ia ketahui adalah mendekati mereka sebagai temannya yang selalu mengerti dan berusaha mendukung keputusannya. Itulah yang dapat ia pelajari dari neneknya ketika menghadapi dirinya saat remaja dulu.


Setelah mereka merasa kau adalah pihak yang aman untuk dipercaya, maka lakukan langkah selanjutnya, yaitu mengajaknya bicara dan mulai mempertanyakan alasan-alasannya.


“Kau akan kemana lagi setelah ini?”



Remaja itu menggedikkan bahu, “Entahlah. Mungkin pulang. Tapi tidak sekarang, aku ingin mereka belajar untuk lebih menganggap keberadaanku,” katanya sambil menjatuhkan tatapan pada telapak tangannya.


“Kurasa mereka sangat menyadari keberadaanmu, sobat.”


“Ya, bagi mereka aku cuma anak kecil yang tidak boleh tahu masalah apapun yang terjadi.” Ethan menghela napas panjang, “Bukannya aku mau tahu segala hal, tapi kurasa ada beberapa hal yang bisa kuketahui, walau mungkin aku tidak akan memberi solusi apapun. Tapi aku adik mereka, aku juga ingin dilibatkan,” keluhnya. 


“Kami ini tim.”

Minhyuk mengangguk walau tidak benar-benar mengerti kemana ucapan Ethan akan mengarah.


“Setelah kau pulang kemarin, mereka bertengkar. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan, aku cuma tahu dari Dino. Kau tahu kan pria mungil yang bekerja di kafe? Itu dia yang namanya Dino.” Ethan menunggunya untuk mengangguk, setelah mendapatkan reaksi yang diharapkannya remaja itu kembali bicara.



“Kukira mereka akan baik-baik saja saat ini, karena mereka sudah sering bertengkar tentang hal-hal sepele. Namun kali ini agak berbeda, mereka saling menyindir dan berusaha melakukan konfrontasi yang membuatku tidak tahan.”



“Jadi saat Irish pergi, aku mencoba bertanya pada Andrea. Aku ingin mereka baik-baik saja, tapi Andrea malah membentakku. Bukannya aku cengeng atau terlalu sensitif, namun aku sudah bosan selalu disingkirkan dari masalah mereka,” lanjutnya.


Minhyuk mengetukkan jemarinya, mencoba memahami perasaan Ethan.



“Aku tahu bagi mereka aku adalah si bungsu yang harus dilindungi, namun bukan berarti mereka bisa menyembunyikan segala sesuatu dariku. Aku juga ingin melakukan sesuatu.” Ethan meminum kolanya, mengeluarkan suara sendawa setelahnya.


“Percayalah, ini bukan yang pertama kali, hyung,” katanya menatap Minhyuk.


Minhyuk hendak mengatakan sesuatu, kemudian terinterupsi dengan suara dering ponsel Ethan. Kali ini terpampang nama Irish di layar. Ia menatap ponsel kemudian Ethan bergantian. Pemuda itu juga menatapnya.


“Aku tahu kau sangat marah pada mereka, tapi kurasa cukup untuk acara berontak hari ini.” Minhyuk melirik arlojinya, sudah pukul sepuluh lewat dua puluh.


“Sudah larut dan kau perlu istirahat untuk menghadapi mereka di pagi hari,” katanya memutuskan.

Ia meminum kolanya sampai tandas kemudian beranjak, menyuruh Ethan melakukan hal yang sama. 



****




Begitu sampai di depan SummerHunt, mereka sudah disambut dengan Andrea dan Irish yang berdiri di luar dengan tampang luar biasa cemas. Kedua gadis itu langsung berhambur ke arah mereka, lebih tepatnya ke arah Ethan.


“Kemana saja kau!” Andrea memukul pelan lengan Ethan, jelas sekali ia benar-benar sudah merasa khawatir sepanjang hari.


Irish memegangi kedua sisi tubuh Ethan, “Kenapa tidak menjawab teleponku? Ya, Tuhan jangan lakukan ini lagi, mengerti?” kata gadis itu lirih.


Kemudian setelah beberapa saat kedua gadis itu baru menyadari keberadaannya.

“Aku bertemu dengannya di kawasan Hongdae,” jelasnya. Ia tidak ingin dianggap membantu usaha kabur anak di bawah umur atau semacamnya. 


Irish hanya mengangguk sambil menggumamkan ucapan terimakasih. Gadis itu menawarinya untuk masuk sebentar, namun ia menolak halus. Beralasan masih ada urusan lain. Gadis itu kelihatan keberatan namun tidak memaksa lebih lanjut. Ia menuntun Ethan untuk masuk bersamanya.


“Terimakasih untuk hari ini, hyung,” kata Ethan sebelum masuk.


Ia mengangguk dan melambaikan tangannya. Ia kembali memasukkan tangannya ke saku celana. Matanya melirik Andrea, gadis itu juga menatapnya tanpa gentar. Ada gejolak amarah di dalam matanya. Dan Minyuk sedang tidak tertarik meladeni kemarahan gadis itu.


Jujur saja penilaiannya tentang Andrea mulai berubah dalam cara yang tidak baik. Semalaman ia sudah memikirkan hal ini. Beragam teka-teki mengenai Andrea Jung yang tidak relevan sama sekali, ia pun menarik kesimpulan gadis itu adalah seorang pembohong.  


Tentunya kesimpulan itu membuat ia agak menarik diri dari gadis itu. Sebesar apapun rasa ketertarikannya pada gadis itu.


“Kau tahu? Semenjak aku bertemu denganmu, aku sering mendapatkan masalah,” ucap Andrea dengan nada tidak bersahabat.


Minhyuk sebenarnya bukan orang yang mudah terpancing emosi, namun kali ini beda kasus. Ia memang sudah kesal dengan Andrea sejak tadi malam. Ia merasa kecewa pada Andrea.


“Kau muntah di kaos kesayanganku, kau mengambil kartu mahasiswaku, drama kirim surat dengan ibumu, dan yang terakhir aku bertengkar dengan Irish karena dirimu!” Gadis itu menudingkan telunjuk ke arahnya.


Ia menatap Andrea geram. Ia memang melakukan semua itu, tapi bukan berarti Andrea boleh melimpahkan masalah pertengkarannya dengan Irish padanya.


“Kau itu biang masalah. Kuharap ini pertemuan kita yang terakhir!”


Minhyuk mendecakkan lidah, menatap Andrea tidak percaya. Namun detik selanjutnya ia tersenyum miring. “Tidak usah khawatir,” katanya sebelum memutar langkahnya.


Baru dua langkah, ia teringat sesuatu. Ia kembali menghampiri Andrea yang siap menantangnya lagi.


Ia tersenyum licik, “Mungkin kau sendiri yang membuat hidupmu penuh masalah, Nona Jung.” Minhyuk merogoh lipatan kertas dari saku celananya, memaksa Andrea untuk menerima kertas itu.


Ia menatap Andrea dengan tatapan mengejek. “Sepertinya kau punya terlalu banyak rahasia,” katanya sambil tersenyum. 


Andrea menatapnya bingung, namun terkejut setelah membuka lipatan kertas di tangannya. Gadis itu menatapnya dengan mata terbelalak.


Minhyuk merasa menang karena bisa mengalahkan keangkuhan gadis itu. Andrea nampak ketakutan.
“Selamat malam, Nona Jung,” ucapnya sebelum melenggang pergi. 


Setelah Minhyuk pergi, Andrea masih merasa ketegangan. Bibirnya terasa kering dan sekujur tubuhnya bergetar. Ia diliputi rasa takut.


Darimana Minhyuk mendapatkan alamat rumahnya yang dulu? Ia menatap lagi alamat rumahnya yang berada di kawasan perumahan elit Pyeongchang-dong.



Sepertinya kau punya terlalu banyak rahasia

Apa maksud pria itu? 



TBC 


Sebelum mengisi sesi cuap-cuap ini dengan kalimat bertele-tele yang menjemukan, aku mau mengucapkan selamat ulang tahun untuk GIGSent yang ke-6!!! 


Sebenernya aku lupa kalau tgl 16 september itu tanggal ultahnya GIGSent, dan gak bakal inget kalau Salsa gak heboh di grup setelah baca cuap-cuap Kim Dhira di To Many Bad People yang nyinggung D-3. 


Berhubung kita baru inget dan si Farah baru ingetin di H-3 jadi kita gak ngadain event khusus kayak tahun-tahun sebelumnya. Tapi untungnya Kim Dhira punya event khusus dan akhirnya aku sama Salsa menyerahkan tanggungjawab padanya untuk memeriahkan ultah GIGSent. 


Awalnya aku mikir untuk usaha dulu deh buat nulis fluff atau ficlet gitu. Tapi idenya masih ngawang-ngawang. Nah, karena aku belum dapet ide yang cukup bagus untuk tulisan baru jadi aku memutuskan buat melanjutkan nulis ff ini yang udah tertunda cukup lama. Lagian terakhir kali aku tinggal udah ada 2000-an kata, jadi aku tinggal nambahin aja. Kebetulan juga dapat inspirasi untuk kelanjutan jalan ceritanya


Jadi inilah persembahan dariku untuk ultah GIGSent yang ke-6. Harapanku untuk ke depannya semoga para author gak gampang puas sama karyanya dan terus berusaha untuk menulis lebih baik dan tentunya lebih produktif. Semoga kita bertiga bisa terus berkembang, bukan cuma di blog ini, tapi dimanapun medianya (wattpad, tumblr, blog pribadi, dll).


Terimakasih untuk para pembaca yang mungkin udah mulai bosen sama blog ini dan mungkin berkunjung ke sini karena gak sengaja. Dan terimakasih gak lupa untuk Kim Dhira dan Salsa (yang gak bakal aku sampein langsung di depan mereka) buat kebersamaan kita di blog ini, yang ngasih feedback, semangat, dan dorongan untuk terus nulis. Terimakasih~
Sampai jumpa di kesempatan selanjutnya.



Best Regards,

GSB  

Comments

Popular Posts