Freeze #1 (mysterious room)



Main Cast = Lee Taeyong, Hana (oc)
Genre = Romance, sci-fi (?)
Length = Series
Author = Salsa



Ketika Hana terbangun dari tidur panjangnya, ia seratus persen yakin sudah berada di surga. Ruangan di sekelilingnya bercat putih, seprai yang ditidurinya berwarna putih, bahkan baju yang dipakainya pun putih. Sinar berkilauan masuk lewat celah kaca dan menyinari partikel-partikel debu di dekat kakinya.


Saat Hana hendak menyibak selimut, pintu di hadapannya terbuka dan seorang anak kecil berteriak delapan oktaf di depan mukanya dengan mata membelalak. Anak itu berlari mundur sampai tersandung kakinya sendiri sebelum akhirnya membanting pintu dan menjerit pergi.


Hana sejenak menyangsikan apa ia benar berada di surga. Kalau benar, maka tergolong apa bocah laki-laki tadi? Tidak mungkin ada malaikat berisik begitu, kan? Atau mungkin ada?


Gadis itu duduk di pinggir ranjang dan menoleh ke sana kemari untuk mendapatkan petunjuk. Di mana dia? Sudah mati belum? Di mana orangtuanya? Siapa bocah tadi? Sudah berapa lama dia di sini? Rasanya lama sekali. Kalaupun dirinya ternyata masih hidup, Hana yakin ia bisa menemukan mobil terbang di luar sana, atau tak sengaja menginjak pamflet liburan ke Pluto saat sedang berjalan.


Saat itu, pintu masuk terbuka lagi—kali ini dengan gerakan pelan nan manusiawi. Hana menanti dengan sabar sebelum akhirnya seorang wanita berperawakan tinggi masuk sambil tersenyum penuh syukur. Di belakangnya, bocah yang tadi berteriak bak Whitney Houston itu mengintip-intip sambil memegangi baju sang wanita. Wanita itu memakai baju terusan berwarna jingga dengan rambut digelung tinggi.


Di atas ranjang, Hana sibuk berpikir apa wanita berbaju jingga itu merupakan bidadari surga atau bukan. Oh, Hana tahu betapa konyol dirinya sekarang. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tak bisa memerintah otaknya untuk berhenti mengasosiasikan segalanya dengan surga. Sebab satu-satunya hal yang mampu diingatnya saat ini hanyalah ledakan besar, dan kematian.



Apa jangan-jangan ini semacam dunia roh?


Mustahil aku masih hidup, kan?



“Syukurlah akhirnya kau siuman.”
“M-maaf, siapa Anda?”
“Oh, perkenalkan. Saya yang mengurus rumah singgah ini. Panggil saja Bunda Sejeong.” Wanita itu tersenyum ramah.


“N-nama saya Hana.”
“Nama dan wajahmu, keduanya cantik sekali,” pujinya. “Kebetulan semua anak sedang berkumpul untuk sarapan. Sebelum kita bicara, mari sarapan dulu.”


Hana mengangguk (dan sungguh ia memang kelaparan), lantas tak sengaja bertemu pandang dengan anak kecil di belakang Bunda Sejeong. Bocah itu menyembunyikan sebagian besar wajahnya di punggung sang wanita, seraya bolak-balik mengintip ngeri.


“Hei, ayo perkenalkan siapa namamu!” suruh Bunda Sejeong kepadanya. Namun anak itu malah menggeleng-geleng di punggungnya.


“Ayo, kenapa malah malu-malu begini di depan kakak cantik?”
“Aku tidak mau memperkenalkan diri kepada hantu.” Bocah itu berteriak sebelum mengenyakkan kembali seluruh wajahnya ke punggung sang wanita. Mencengkeram bajunya erat-erat. Bunda Sejeong meringis menahan sakit.


“A-aku hantu?” desis Hana. Matanya terbeliak. Di saat seperti ini, ia bisa percaya apa saja.
“Aduh. Jangan didorong! Punggung Bunda sakit.” Bunda Sejeong berusaha menarik bocah laki-laki itu, namun pelukannya malah semakin erat.


“Oh, baiklah.” Bunda Sejeong menyerah. Matanya kembali menatap Hana dengan ramah. “Bagaimana kalau kita ke aula makan sekarang?”


 “Y-ya.”



**********



Aula makan di rumah singgah itu amat luas, sangat bertolak belakang dengan jumlah penghuninya yang sedikit. Saat Hana masuk, semua orang berhenti beraktivitas dan menoleh padanya dengan tatapan tak percaya yang beraneka ragam. Ada yang terlihat ketakutan, namun ada pula yang tersenyum sumringah. Sulit untuk menebak apa yang sebenarnya mereka pikirkan.


“Anak-anak, harap perhatiannya. Bunda ingin memperkenalkan kalian dengan Kakak Hana. Dia akan ikut sarapan dengan kita pagi ini.” Bunda Sejeong berusaha memecah kesunyian—dan gagal. Semua anak masih menampilkan ekspresi yang sama. Terkejut dengan caranya masing-masing.


“Baiklah, selamat makan,” kata Bunda Sejeong lagi. Lantas menggiring Hana ke salah satu meja.


Selama makan, Hana masih bisa merasakan tatapan anak-anak di belakangnya—di sekelilingnya. Tatapan itu membuat Hana merasa seolah hidungnya menempel di tempat yang salah. Apa yang membuat mereka memandanginya begitu aneh?


Mayoritas dari anak-anak di rumah singgah ini berusia sembilan sampai dua belas tahun, sementara sisanya masih sangat kecil. Seperti bocah Whitney Houston di sebelahnya ini—yang ternyata bernama Cho Jeha. Ya, dia sudah berani memperkenalkan diri, lengkap dengan umur, hobi dan cita-cita. Dia sudah berani menatap Hana dan bahkan sekarang sudah menusuk-nusuk tangannya dengan garpu bekas spageti. Sekadar meyakinkan diri bahwa kulit Hana tidak tembus alias dia-benar-benar-bukan-hantu.


“Jadi, apa yang kau ingat?” tanya Bunda Sejeong selepas sarapan. Mereka berjalan beriringan di koridor rumah singgah entah menuju ke mana.


“Saya ingat kecelakaan itu. Saya ingat mobil kami menabrak pembatas jalan, berguling dahsyat sebelum akhirnya meledak dan….,” Hana tertohok. Ingatannya menusuk tajam sekali. “…dan orangtuaku masih di dalam.”


Langkah Hana terhenti. Matanya bergetar dan ia memandang Bunda Sejeong seolah sedang memohon, “A-aku ingat aku berlari untuk meminta pertolongan. A-apa ada yang menolong mereka?”


Bunda Sejeong langsung mengangguk, berulang kali, namun sinar matanya redup dan Hana tak mau mendengar wanita itu bicara. Ekspresi semacam itu tak mungkin dikeluarkan sebagai pengantar berita baik.


“Mereka tak mungkin selamat, kan?” kata Hana.
“Kau tidak kehilangan keduanya. Dokter sedang berusaha menyelamatkan ibumu. Kondisinya sedang kritis.”


Air mata Hana bergulir turun, tetes demi tetes, sebelum akhirnya semakin banyak dan tak terbendung. Hana menjatuhkan dirinya ke lantai dan menangis menjerit-jerit.


“Hana, sayang, dengarkan Bunda.” Bunda Sejeong berlutut di depannya.
“Bagaimana jika ibuku juga tidak selamat? Aku akan sendirian. Mereka satu-satunya yang kupunya. H-harusnya kami sedang liburan. Kenapa malah begini? Kenapa…. kenapa Tuhan… “ Hana meraung. “…jahat sekali?”


“Hush, tidak boleh bicara begitu. Segalanya terjadi bukan tanpa alasan.”
“Alasan apa? Untuk membuat hidupku menderita?”
“Hana…”
“Bagaimana kalau ibuku tidak bangun juga? Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau tinggal sendiri.”
“Kau punya aku.”
“Aku tidak mau bersama siapa pun kecuali orangtuaku.”
“Hana..”
“Aku tidak mau. Aku tidak mau tinggal denganmu. Aku tidak akan membiarkan orangtuaku meninggal. Ayah dan ibu, tidak ada yang boleh meninggal.”




**********



Hujan turun amat lebat di tengah malam. Hana bergonta-ganti posisi tidur sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Ia sudah menghabiskan dua hari penuh untuk menangis dan mendiamkan semua orang di rumah singgah.


Tadi pagi, Bunda Sejeong memberitahunya bahwa besok jenazah ayahnya akan dikremasi. Salah satu kolega ayahnya bersedia membiayai semua prosesi pemakaman tersebut. Dan jika sesuatu yang lebih buruk terjadi, ia bahkan sudah menawarkan diri untuk mengadopsi Hana juga.


Hana tak menjawab. Selama mereka bicara, sosok Bunda Sejeong dalam pandangannya buram terhalang air mata. Wanita itu berusaha memeluknya namun Hana langsung melengos ke posisi tidur, lantas bergumam memintanya pergi.


Bukannya tidak berterima kasih, tapi ia tak mau ayahnya dikremasi, tidak mau ibunya kritis, tidak mau diadopsi, tidak mau jadi yatim piatu. Hana masih sangat kesulitan untuk menerima ini semua. Minggu lalu, ia masih bersiul-siul di dalam kamarnya sambil mengemas baju-bajunya ke koper. Antusias luar biasa karena esok akan menjadi liburan pertamanya tahun ini.


Mereka berangkat pagi-pagi sekali dari Seoul menuju perkampungan tradisional di daerah Gyeongju. Namun di tengah jalan, tak disangka-sangka sebuah insiden mengerikan terjadi. Hana yang ketiduran di jok belakang refleks terbeliak begitu mendengar bunyi klakson panjang diiringi suara ibunya yang menjerit. Mobil mereka berputar ke kiri dengan sangat kencang dan dirinya yang tidak memakai sabuk pengaman terlempar ke luar dari pintu mobil yang menjeblak terbuka. Hana terhempas ke trotoar sementara mobilnya menabrak pembatas jalan dan berguling-guling di perbukitan. Dengan rasa terkejut dan takut yang luar biasa, Hana bangkit.


Tanpa menghiraukan rasa sakit di sekujur tubuhnya, ia berlari mencari bantuan, dan hal selanjutnya yang ia tahu… ia terbangun di suatu pagi dan mengira dirinya sudah berada di surga.


Malam itu, di antara bising hujan, Hana menyadari bahwa sikapnya sekarang tak akan membuat kehidupannya normal kembali. Pada akhirnya, ia harus belajar ikhlas dan menerima kenyataan. Lagian, tidak adil jika ia melampiaskan kekecewaannya pada Bunda Sejeong.


Selama berjam-jam, Hana hanya terus memikirkan orangtuanya sambil menyeka air mata. Hatinya terasa berat sekali, seakan ada ribuan batu di dalamnya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua pagi saat Hana meliriknya. Ia berusaha menahan kesedihannya dan memejamkan mata. Tapi semakin kuat ia memejam, semakin tak bisa tidurlah ia. Otaknya melolong menyuruhnya memikirkan ini dan itu, tak lupa membisikkan kata-kata jahat. Kau sudah menjadi anak yatim, sebentar lagi akan jadi yatim piatu.


Saat sedang gelisah memikirkan itu, tiba-tiba saja seluruh lampu padam. Hana refleks terlonjak bangun. Ia tak bisa melihat apa-apa, dan suara hujan di luar mendadak terdengar mengerikan.


“B-bunda Sejeong?” Hana berseru. Detik selanjutnya, suara petir terdengar, menggelegar seolah sedang menjawabnya. Gadis berusia lima belas tahun itu sontak ikut berteriak, ia menyembunyikan diri di balik selimut dan berguling ketakutan sebelum akhirnya—BRAKK—terjatuh dari tempat tidurnya yang kecil. Sambil menahan sakit, Hana pelan-pelan berdiri, ia terus memanggil Bunda Sejeong dan Jeha dengan suara bergetar.


Ketakutan Hana akan gelap dan hujan membawanya keluar kamar, ia mengalungkan selimut—menjadikannya jubah—dan berjalan pelan melewati koridor rumah singgah yang gelap nan licin. Pohon-pohon melambai seram, dan kamar-kamar di sepanjang lorong terlihat berhantu. Hana memejamkan matanya kuat-kuat, napasnya tersengal dan kakinya serasa melayang.


“B-bunda Sejeong? J-Jeha? Kalian di mana? A-aku tidak bisa tidur,” serunya takut-takut.


Lorong-lorong di depan Hana seolah memanjang dan tak berujung. Dalam hati, Hana menyesali keputusannya untuk keluar kamar, ia kira ia bisa menemukan Bunda Sejeong atau anak-anak lain pada kamar-kamar di sebelahnya, namun setelah Hana melongok, ternyata semua kamar itu kosong. Sekarang ia sudah terlanjur jauh dari kamarnya sendiri. Hana tak punya nyali baik untuk kembali maupun lanjut berjalan, jadi ia cuma berdiri di sana, menggigil ketakutan, berharap Bunda Sejeong bisa menemukannya hidup-hidup.


Saat itu, terdengar suara debuman keras di belakangnya. Hana berjengit. Ia terus memanggil Bunda Sejeong dengan sengau. Detik berikutnya, pintu aula terbuka dan bunyi kelontangan terdengar mendekat dari dalam sana. Hana yang sudah gemetar hebat refleks berlari. Gadis itu berlari tanpa arah, benar-benar pasrah pada kakinya, ia bahkan berbelok menyeberangi lapangan, menerobos hujan seraya berteriak-teriak minta tolong sampai urat lehernya keluar. Hana beberapa kali menginjak selimutnya dan nyaris terjungkal. Tapi syukurlah ia tidak jatuh di tengah-tengah pelariannya itu.


Begitu Hana melihat sebuah pintu, ia merasa terselamatkan dan tanpa berpikir langsung mendobrak masuk. Ditutupnya pintu itu dan bersandarlah ia di belakangnya. Hana menghirup napas banyak-banyak, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup tidak keruan.


Saat napasnya mulai tenang, Hana baru sadar dia tidak sedang berada di kamar biasa. Ukurannya lebih luas dan suhu di dalamnya dingin bukan main, rasanya seperti dimasukkan ke dalam kulkas, mungkin lebih dingin lagi. Dan alih-alih tempat tidur, Hana justru menemukan sebuah peti kaca besar yang berembun. Ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang putih keperakan.


Detik itu, entah bagaimana, pikiran Hana otomatis melayang ke satwa langka. Ia menerka-nerka binatang apa yang mempunyai bulu putih keperakan dan berhabitat di tempat yang dingin—beruang kutub jenis baru?


Jika bukan binatang, pastilah sesuatu yang amat mahal dan berharga hingga mendapat perlakuan seistimewa ini.


Seraya mengeratkan selimut (yang ujungnya sudah basah dan kotor), Hana berjalan pelan mendekati peti kaca itu. Suara gelegar guruh terdengar  terus-menerus dari kejauhan.


Dan alangkah terkejutnya ia begitu melihat apa yang berbaring di dalam sana. Hana terkesiap amat dalam sampai dadanya terasa nyeri. Ini melenceng jauh dari dugaannya. Bukan barang, alih-alih binatang. Itu adalah manusia, seorang pria tepatnya. Pria itu aneh sekali, kulitnya pucat dan rambutnya berwarna putih menyala. Ia sedang tertidur, atau… tunggu, jika wajahnya sepucat itu,… bisa jadi dia...


Tiba-tiba saja matanya terbuka dan Hana sontak menjerit. Sang makhluk misterius segera mendorong kaca penutup petinya dan menarik tangan kiri Hana yang berbalut selimut.


“Shhh,” bisiknya, “tolong diam.”
“Ya Tuhan, ya Tuhan, kau bicara.” Hana bicara seperti orang asma. “Ya Tuhan, ya Tuhan, ini pasti mimpi.” Sang gadis menampar pipinya keras sekali sampai pria di depannya meringis.


Hana terkesiap begitu merasakan pipinya berdenyut sakit. “I-ini bukan mimpi. Ya ampun, ya ampun,” ucapnya semakin histeris.


“Benar, kau benar, ini bukan mimpi. Aku tahu aku aneh, tolong pelankan suaramu,” desak sang pria. Ia menatap Hana dengan mata abu-abunya yang dingin, yang berkelip-kelip seperti bintang.


“Oh!” Hana berkata dengan suara tercekat. Hatinya mencelos. “Aku tak pernah melihat sesuatu yang seindah itu.”


“Apa?”
“Matamu.”


Pria itu menyeringai dan menatapnya sambil tersenyum.


“Oh!” Hana kembali tercekat. “Itu bahkan lebih indah lagi.”


Masih tersenyum, sang pria mengangkat alisnya tak paham.


“Senyummu.”


Mereka sama-sama terdiam. Keduanya berpandangan canggung selama beberapa saat sebelum akhirnya dengan kompak mendenguskan tawa dan terkikik.


“Oh!”
“Okay, sekarang apa lagi yang indah?”
“T-tidak, aku hanya… tanganku tiba-tiba terasa….” Hana menurunkan pandangannya pada tangan kirinya, begitu pun sang pria. Dan seolah baru menyadari sesuatu, pria bermata indah itu langsung melepas pegangannya dari selimut Hana. Wajahnya terlihat panik sekali.


Hana mengernyit melihat reaksinya itu. “K-kau baik-baik saja?”


“Yeah.”
“Okay, maaf sudah menjerit. Aku hanya benar-benar terkejut. Kau terlihat… berbeda. Aku sempat berpikir kau bukan manusia.”


Pria itu cuma tersenyum.


“Jadi…,” kata Hana antusias. “Kau salah satu anak asuh di sini juga?”


Sang pria tak langsung menjawab. Ia menimbang-nimbang selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk dengan wajah skeptis.


“Bagus. Aku juga,” sambut Hana berseri-seri. Namun ekspresi itu tak bertahan lama, ia menggeleng dengan muram dan menarik ucapannya, “Tidak. Sebenarnya, aku bukan anak asuh. Aku tidak tinggal di sini. Aku hanya menetap sementara.”


Mungkin, karena dibilang senyumnya indah, pria itu memutuskan untuk merespon semua ucapan Hana dengan senyuman.


Hana melanjutkan, “Beberapa hari yang lalu, aku dan orangtuaku mengalami kecelakaan tak jauh dari rumah singgah, aku pingsan dan dirawat di sini sementara orangtuaku.… kau tahu,” Hana tersedak napasnya sendiri, ia bisa merasakan matanya memanas dan air matanya bergulir turun di pipi. “…..ayahku tidak selamat dan ibuku kritis, itu artinya aku tidak punya siapa-siapa sekarang.”


Saat Hana mendongak, tangan sang pria sudah nyaris menyentuh pipinya. Hana terpaku. Tangan yang kurus nan pucat itu terus mendekat dan mendekat. Dan saat pipi Hana dan jemarinya sudah nyaris tak berjarak, tiba-tiba saja lampu-lampu kembali menyala. Pria itu terperanjat dan langsung menarik tangannya.


“K-kau harus pergi.”
“Sekarang? Kita bahkan belum kenalan.” Hana menyeka air matanya dan memaksakan senyum.
“Tidak perlu.”
“Kenapa?”
“Karena kita tak akan bertemu lagi.”


Hana tertegun. “Kenapa?”


“Dengar, aku yakin kau bisa masuk ke sini hanya karena tidak sengaja. Jadi percayalah padaku, kau baru saja melakukan kesalahan besar. Aku senang bertemu denganmu, tapi kumohon jangan pernah ke sini lagi.”


Hana mengernyit bingung. Ia ingin bertanya ‘kenapa’ lagi, tapi ia sudah mengatakan itu dua kali dan jawabannya selalu tidak enak didengar. Tapi, bagaimana mungkin pria itu ‘senang bertemu dengannya’ tapi ‘tidak mau bertemu lagi’?


Hana berpikir sejenak sebelum akhirnya bisa memahami ini semua—setidaknya, itulah yang ia pikir. Hana menatap mata abu-abu sang pria dengan senyum ramah, “Tidak apa-apa. Aku paham kau malu.”


“Malu?”
“Yeah, maksudku, aku juga pasti akan malu jika punya kebiasaan aneh sepertimu; tidur di akuarium, rambut dicat putih, menaburi gliter ke mata sendiri. Itu konyol dan mungkin orang-orang akan sulit menerimanya.” Pria itu mengerutkan kening. Hana melanjutkan dengan wajah pengertian, “Tapi tidak denganku. Aku bersumpah aku melihat semua keanehanmu ini sebagai keunikan. Kau tidak perlu malu padaku. Kau tahu, punya kebiasaan abnormal tidak serta merta menjadikanmu….”


“Cukup. Aku hargai usahamu untuk menafsirkan situasi ini, tapi serius, kau tak mengerti.”
“Kalau begitu jelaskan.”
“Kau tak akan mengerti.”
“Aku tak sebodoh itu. Aku masuk lima besar di kelas,” tukas Hana tak terima.
“Aku tidak bilang kau bodoh. Hanya saja… ini tidak masuk akal. Kau tak mengerti betapa berbahayanya aku. Aku bisa menyakitimu. Aku hampir menyakitimu. Aku tidak mau menyakiti siapa-siapa.”


Hana mengabaikan ucapan menggebu sang pria dan mengulurkan tangannya. “Namaku Hana. Dan saat kau menjabat tanganku, kita resmi berteman.”


“Keluar dari sini.”
“Ayolah, jangan takut!”
“Aku tidak takut.”
“Kalau begitu ayo jabat tanganku.”
“Aku tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa? Anak-anak di rumah singgah semuanya lebih kecil dariku, aku tidak punya teman untuk diajak bicara. Kau satu-satunya harapanku.”


Hana terlalu keras kepala dan sepertinya tak ada cara lain untuk membuat gadis itu mengerti selain dengan menunjukkannya. Ia menghela napas berat sebelum akhirnya menyambut tangan Hana dan menjabatnya. Untuk beberapa saat, Hana tersenyum senang karena ia kira ajakan pertemanannya diterima.


Tangannya dingin dan lembut seperti salju. Hana berpikir mungkin itu adalah pengaruh dari ruangan bersuhu tak normal ini. Namun lima detik setelahnya, rasa dingin itu semakin menjadi-jadi.


“Tanganmu dingin sekali, apa kau yakin kau tidak…….AWW!” Hana merasa seperti diestrum dan refleks menarik tangannya.


Ia terbelalak sembari memandangi telapak tangannya yang mati rasa. Ada ruam kemerahan super besar di sana dan mendadak sekujur tubuhnya merinding ngeri.


“Sekarang kau paham?” kata sang pria. “Keluar dari kamarku!”


Ia memalingkan wajahnya dari Hana. “Dan jangan pernah kembali lagi!”



**********



Keesokan paginya, Hana muncul di aula makan untuk sarapan. Semua yang ada di sana menoleh padanya, tapi yang benar-benar bereaksi hanyalah Bunda Sejeong. Wajah wanita itu terlihat lega sekali. Ia mengulurkan tangannya untuk memeluk Hana.


“Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sopan karena sudah berkata kasar dan mengacuhkanmu berhari-hari. Padahal kecelakaan itu sama sekali bukan salahmu.”


“Tidak apa-apa, sayang. Bunda tahu betapa beratnya semua ini bagimu.” Bunda Sejeong mengelus kepalanya dengan lembut sebelum menggiringnya ke salah satu meja.


Mereka pun duduk bersebelahan di sana. “Makanlah yang banyak.”


Hana tersenyum dan mengangguk.


“Hari ini, rencananya tuan dan nyonya Lee akan mengirimkan sopirnya untuk menjemputmu ke pemakaman. Tapi jangan memaksakan diri, maksudku, jika menurutmu kau belum siap….”


“Aku sudah siap,” potong Hana, berusaha terdengar tabah, tak lupa menyelipkan senyum simpulnya. “Aku sudah siap, Bunda tenang saja.”


Bunda Sejeong tersenyum sedih, kemudian mengusap punggung Hana seolah sedang menguatkan.




Sebagaimana tradisi di rumah singgah, dua orang terakhir yang selesai makan bertugas mencuci piring-piring kotor. Dan berhubung Jeha selesai terakhir, Hana dengan sukarela menawarkan diri untuk menggantikannya. Ia mencuci dengan perempuan berumur sebelas tahun bernama Somin. Wajah anak itu kecil sekali sampai-sampai Hana terus memandanginya.


“Hana eonni?”
“Ya?”
“Bagaimana keadaanmu? Kau merasa lebih baik?”
“Ya, tentu saja,” sahut Hana heran. “Kenapa kau bertanya begitu?”
“Kau dibawa ke sini dalam keadaan pingsan. Dan Jeha memberi tahu kami semua, dari kamar ke kamar, bahwa Bunda Sejeong memasukkan orang mati ke dalam kamarnya. Awalnya kami tak percaya, tapi kami mengintip dan kau terlihat sepucat mayat. Kau juga tidak bangun seharian.”


“Astaga, pantas saja kalian semua menatapku begitu.”
“Maafkan kami. Tapi sungguh, eonni, aku senang kau sadar,” kata Somin tulus.
“Terima kasih banyak.”
“Sama-sama.”
“Jadi,” kata Hana sambil meremas sponsnya. “Sudah berapa lama kau tinggal di sini?”
“Ini tahun ketigaku. Bunda Sejeong membawaku ke sini. Tadinya aku tinggal di jalanan bersama ibu-ibu galak.”


“Ibu-ibu galak?”
“Ya. Jelek dan galak. Dia bukan ibu kandungku. Aku tak tahu di mana ibu kandungku.” Somin terus bercerita. “Yang pasti, tempat tinggalku sebelumnya sangat mengerikan; kumuh dan penuh sesak. Kurang lebih dua puluh anak harus tidur di kamar kecil yang lantainya terbuat dari semen. Hampir setiap hari selalu ada anak baru. Entah dari mana asalnya. Kami disuruh bekerja siang malam.”


Sembari mendengarkan, Hana menyodorkan piring yang sudah ia bersihkan, yang masih dipenuhi busa. Somin membilas piring-piring itu sambil tersenyum lebar pada Hana. “Lalu aku kabur dan bertemu Bunda Sejeong. Betapa beruntungnya.”


Semua cerita Somin membuat Hana tersentuh, dan lebih tersentuh lagi begitu melihat senyum penuh syukur gadis itu. Hana juga ingin merasa sebersyukur Somin dalam hidupnya. 


“Di sini aku punya banyak teman, bisa makan enak dan disekolahkan. Bunda Sejeong adalah malaikat.”


Hana termenung.


“Jadi….,” kata Somin lagi. “Apa eonni akan tinggal di sini?”
“Aku masih belum tahu.”
“Tinggalah di sini! Semua orang di sini sangat baik.”
“Tapi aku masih punya rumah di Seoul. Dan aku masih punya harapan. Ibuku bisa saja bangun.”
“Biarkan saja rumah itu! Dan ajak ibu eonnie ke sini. Tinggalah bersama kami. Aku sangat ingin berteman dengan eonnie, dan aku yakin anak-anak yang lain pun begitu.”


Kalimat terakhir Somin mengingatkan Hana akan kejadian super aneh yang dialaminya semalam. Ia mengucapkan kalimat yang nyaris serupa kepada sesosok makhluk astral berambut putih. Dan jawaban yang ia terima benar-benar... tidak menyenangkan. Oh, walaupun ruam merah di tangannya sudah menghilang, rasa sakitnya masih terbayang jelas sekali.


“Somin,” Hana mematikan keran air yang sedang dipakai Somin. Anak itu pun praktis menoleh. “Apa kau mengenal cowok seumuranku di sini?”


“Melvin?”
“Jadi, cowok rambut putih itu namanya Melvin?”
“Rambut putih?”
“Ya. Aku bertemu dengannya semalam. Aku sangat menyukai mata abu-abunya. Tapi dia agak aneh.”


Somin mengernyit. “Aku tak tahu siapa yang kau bicarakan, eonnie.”


Ia lantas melongok keluar jendela. “Itu! Yang baju merah namanya Melvin.”


Hana mendongak untuk melihatnya. Anak yang dipanggil Melvin sangat tinggi, hampir sama tinggi dengannya. Dari jendela, mereka dapat melihat anak laki-laki itu sedang mengejar Jeha yang tertawa terbahak-bahak sambil membawa-bawa sebuah majalah.


“Bukankah umurnya masih… 12?”
“Aku tahu.” Somin kembali menyalakan kerannya. “Tapi dialah anak laki-laki paling tua di rumah singgah.”


“Kau yakin?”
“Aku sudah tiga tahun di sini.”


Hana mengangguk pelan. Namun dalam hati kebingungan setengah mati. Lalu siapa cowok semalam?



**********



Mobil yang akan mengantar Hana ke makam ayahnya sudah datang. Bunda Sejeong sedang berbincang dengan sang sopir sembari menunggu Hana bersiap-siap.


Namun sebenarnya, Hana sudah siap dari tadi. Ia hanya terus mondar-mandir di depan pintu sambil berpikir keras. Setelah sekian lama menimbang, ia akhirnya menetapkan pilihannya. Gadis itu menarik napas panjang seraya mengangguk pada dirinya sendiri, seolah sedang meyakinkan. Ia melirik ujung selimutnya—yang kotor dan lembap—untuk terakhir kali sebelum membuka pintu kamar dengan pelan dan mengendap-endap melewati bunda Sejeong dan sang sopir.


Ini memang terdengar bodoh, tapi ia sudah memutuskan untuk menemui cowok misterius itu lagi sebelum berangkat. Hana tak tahu di mana letak makam ayahnya dan jika ternyata makam itu terletak di Seoul, maka kemungkinan besar ia akan langsung dibawa pulang ke rumahnya. Lagian, liburan semesternya hanya tersisa tiga hari lagi. Hana tak punya alasan untuk tetap tinggal di sini. Ia hanya ingin membuktikan bahwa apa yang dialaminya semalam adalah nyata. Makhluk itu nyata.


Hana berlari secepat mungkin. Lebih cepat. Sembari berusaha mengingat-ingat jalan yang ia lalui semalam. Ia berhenti di setiap persimpangan dan selalu ragu saat berbelok. Jantungnya berdegup cepat. Hana sudah cukup yakin bahwa dirinya tersesat, tapi masih saja berlari. Rasanya ia tak punya pilihan lain.


Setelah bicara dengan Somin, Hana merasa semakin penasaran. Ia yakin seratus persen apa yang ia lihat semalam bukanlah mimpi. Ia bahkan tak bisa tidur karena telapak tangannya berdenyut-denyut. Apa mungkin otaknya berhalusinasi karena terlalu sedih? Tapi kalau benar itu hanya imajinasi, kenapa selimutnya kotor?


Saat sedang berpikir begitu, ia mendengar Bunda Sejeong memanggil-manggil namanya dari kejauhan. Hana seketika berhenti berlari. Ia memandang sekeliling dengan putus asa sebelum akhirnya memutuskan untuk menyerah dan kembali.



**********



Tanpa Hana ketahui, sosok yang ia cari-cari tengah mengawasinya dari lubang kecil ventilasi. Ia memanjat lemari dan memandangi Hana berlarian ke arah yang salah. Dan saat sang gadis tak lagi terlihat, ia menjauhkan wajahnya dari lubang tersebut dan mendesah sedih.


Pria itu melompat dari atas lemari, kemudian menyandarkan bahunya di sisi tembok. Menghela napas. Ia seharusnya merasa lega. Namun nyatanya sedikit pun ia tak merasa demikian. Yang ada justru rasa kecewa dan hampa. Sejujurnya, sebagian dari hatinya berharap Hana bisa menemukannya (lagi).


Dan untuk makhluk sepertinya, keinginan tersebut amatlah egois.



TBC




G tau kenapa nulis pas lagi liburan itu lebih susah daripada nulis pas lagi kuliah. Aku nulis dear my rival pas lagi UAS (sambil belajar, sebelum berangkat, bahkan di belakang kertas soalnya!! wkwk) dan itu lancar bgt. Tapi ini libur 7 minggu malah g produktif sama sekali, kerjaannya streaming film doang :”( sia-sia banget duh




Mari mengheningkan cipta dan berdoa supaya ff ini g terbengkalai. /sigh






Selamat akhir pekan semuanya (/^^)/

Comments

Popular Posts