Dear My Rival (final battle)




Kabar penyerangan Vernon menyebar cepat ke seluruh penjuru DIMA. Entah di kelas, kantin, jalan, bahkan di kamar asrama masing-masing, nama Vernon mendadak menjadi sangat populer, diucapkan dari mulut ke mulut dengan wajah penuh kengerian. Semua orang membicarakannya, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi dan berspekulasi mengenai siapa kiranya pelaku yang sampai hati.


Suasana di kampus menjadi sangat mencekam. Lapangan parkir yang biasanya hanya diisi oleh kendaraan milik dosen kini penuh oleh mobil polisi. Beberapa orang yang berhubungan dengan Vernon; pembimbing akademik, petugas keamanan yang menemukannya tergeletak di selasar gedung pertunjukan, serta Taeyong, teman sekamarnya, diinterogasi selama berjam-jam.


Berita itu sudah heboh seharian, gempar di setiap sudut kampus, namun walaupun begitu masih saja ada orang yang tidak tahu—Wonwoo, contohnya.


Wonwoo yang seharian mengunci diri di ruang musik baru tahu belakangan. Dan mungkin, jika Jenny tidak datang ke sana untuk mengambil tumblrnya yang ketinggalan, Wonwoo baru akan tahu kabar mengejutkan itu besok siang—saat kelas orkestranya dimulai. Dia memang sudah berniat untuk menginap di ruang musik untuk mengosongkan pikirannya dari seluruh kegiatan partai; rapat harian, Mino, kampanye radio, Hyo Jin. Ya, Hyo Jin. Wonwoo sudah sepakat dengan akal dan hatinya untuk mengklasifikasikan Hyo Jin sebagai kegiatan partai, tak lebih.


Setelah mendengar informasi dari Jenny, pria itu langsung mendorong gitarnya dari pangkuan, menyambar ponselnya dari colokan dan beranjak ke lantai empat gedung kampus—tempat rapat partainya.


Wonwoo berlari melangkahi dua anak tangga sekaligus dengan kecepatan penuh. Sepatunya bergesekan dengan lantai hingga menimbulkan decitan yang berisik. Sesampainya di sana, Wonwoo yang bermandi peluh langsung mendorong pintunya dengan kasar. Atmosfer mencekam di dalam ruangan langsung menyergap. Hampir seluruh kepala berpaling ke arahnya, memerhatikan Wonwoo acuh tak acuh sebelum akhirnya berpaling lagi ke posisi semula.


Wonwoo menutup pintu dengan heran, ruang rapat tak pernah sesepi ini sebelumnya. Malam itu, semua orang hanya terdiam di kursi masing-masing, termasuk Mino. Si diktator yang ditakuti semua orang itu terduduk lesu di panggung dosen sambil meremas-remas tangannya, gelisah. Jelas kabar tentang Vernon sudah sampai di telinga mereka semua.


Setelah mengamati situasi, Wonwoo yang semula hanya berdiri di dekat pintu memberanikan diri untuk berjalan ke depan dan berhenti di hadapan Mino.


“Kita tak bisa diam saja,” katanya. Mino mendongak, namun tak menjawab.
“Aku tahu siapa pelakunya.”
“Aku juga,” jawab Mino enteng.
“Kau tahu?”
“Aku tidak bodoh. Ini masalah politik, ini pasti ulah anak DSP. Bagaimana pun, Vernon itu mata-mata, tidak mungkin dari sekian banyak orang tidak ada yang curiga.”


“Kau sudah tahu risikonya.”
“Vernon pun sudah tau risikonya,” balas Mino, “dan dia menerimanya.”
“Dia tidak akan menerimanya jika kau tidak mengancamnya.”


Mino mengakui hal itu dan tak bisa mendebat. Ia mengusap wajahnya dengan frustasi lalu mendongak lagi menatap Wonwoo, “Jadi apa inti dari pembicaraan ini?”


“Beri tahu polisi-polisi itu! Mereka tidak akan mendapat apa-apa dengan menginterogasi dosen.”
“Tidak. Itu sama saja bunuh diri,” tolaknya. ”Itu sama saja memberi tahu semua orang bahwa kita melakukan politik kotor. Pemilihannya tinggal dua minggu lagi. Kita tidak akan ambil risiko.”


“Kau masih memikirkan reputasi partai?” Wonwoo meninggikan suaranya. “Vernon sedang koma! Apa itu belum cukup untuk membuatmu buka mata?”


“Aku tahu. Kau pikir kenapa aku sefrustasi ini? Bagaimana pun harus ada yang berkorban,” kata Mino. “Dua minggu lagi. Tunggu dua minggu lagi, setelah itu kita beberkan apa yang terjadi.”


“Dan kau bisa menjamin Vernon bisa menunggu sampai dua minggu lagi?”
“Oh, hentikan!” pekik seorang gadis dari belakang. Suara sesenggukannya terdengar. “Biasanya jam segini Vernon masuk tiba-tiba lewat pintu dan mengabarkan hasil rapat partai biru. Ya ampun, kenapa ini terjadi?”


Wonwoo mendesah. Hatinya remuk redam dan sesak oleh rasa bersalah. Dan ia yakin semua orang di ruangan ini merasakan hal yang sama.


“Kita harus menjenguknya atas nama partai,” kata Wonwoo.
“Tidak. Jangan bawa-bawa partai!” Mino menolak usulannya lagi. Dan kali ini Wonwoo tak bisa menerimanya.


“Apa kau sadar nyawa temanmu sedang dipertaruhkan? Dia bisa meninggal kapan saja.”
“Aku tahu. Tapi kalian bisa pergi sendiri-sendiri. Yang orang-orang tahu, Vernon itu anak DSP. Biarlah begitu dulu!”


“Apa kau bisa lebih bejat lagi dari ini?”
“Dengar, Wonwoo.” Mino berdiri. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, pria itu menatap dan berkata pada Wonwoo dengan nada memohon. “Seluruh tanggung jawab partai ada di pundakku, kumohon jangan mengacau!”


Wonwoo menggeleng. Ia mundur selangkah dan berbalik menghadap para anggota.


“Aku akan ke rumah sakit malam ini juga. Siapa yang ikut denganku?”


Mereka semua hanya saling tatap dengan resah sebelum akhirnya memilih menundukkan kepala.


Wonwoo benar-benar tak percaya. Ia mendesah dan tersenyum pahit.


“Oke, aku mengerti,” katanya. “Ternyata partai ini sebegitu pentingnya, ya?”
“Kami juga ingin membesuknya, Wonwoo. Tapi Mino benar,” sahut Jin.
“Persetan!” sambar Wonwoo. “Aku keluar. Aku tak bisa lama-lama berada dalam satu ruangan dengan orang-orang munafik. Apa kalian sungguh tidak punya hati nurani? Bagaimana mungkin pemilihan ketua senat lebih penting dari nyawa seseorang?”


Ucapan berapi-api Wonwoo memenuhi ruang rapat selama beberapa detik sebelum akhirnya melayang pergi bak angin lalu.


Wonwoo mengedarkan pandangannya penuh emosi, sementara semua orang dengan kompak berpaling. Bahkan anggota perempuan yang tadi sempat menangis dramatis itu juga menghindari tatapannya. Pun dengan teman-teman terdekat Vernon—yang hubungannya terpaksa renggang akibat kegiatan mata-mata ini, Mino melarang Vernon untuk mengobrol dengan anak partai merah untuk mengurangi potensi kecurigaan partai sebelah, dan pada akhirnya semua usaha itu ternyata belum cukup.


Wonwoo menoleh kembali pada Mino, pria berbadan tinggi nan kokoh itu tengah mondar-mandir di depan papan tulis. Carut-marut ekspresi lelah dan frustasinya semakin menjadi-jadi.


“Aku akan mengembalikan semua atribut partai padamu,” kata Wonwoo. Mino mengibaskan tangan. Tak peduli.


Wonwoo mengedarkan pandangannya sekali lagi, lantas berlalu.



**********



Tidak ada seorang pun yang menunggu Vernon di rumah sakit. Selain itu, ruangannya pun belum boleh dimasuki. Wonwoo duduk di kursi yang dingin di ruang tunggu yang juga dingin. Orangtua Vernon berada di Amerika dan dia tak punya wali di Anseong. Satu-satunya keluarga yang berada di Korea hanyalah adik tiri ibunya, itu pun tinggal di Seoul. Butuh waktu bagi mereka semua untuk datang ke sini. Vernon bisa bangun kapan saja dan Wonwoo tak ingin anak itu siuman dalam kondisi sendirian.


Wonwoo tengah tertidur di kursi tunggu saat seseorang menyentuh lengannya. Wonwoo mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terjaga, ia mengernyit pada seseorang di depannya sambil memperbaiki posisi duduk.


“Permisi, maaf membangunkanmu.”
“Ya? Ada yang bisa kubantu?” tanya Wonwoo serak. Jarum pendek jam dinding di ruangan tersebut masih menunjuk ruang kosong antara angka tiga dan empat.


“Aku bibinya Vernon dari Seoul. Apa kau temannya? Terima kasih banyak sudah menunggu di sini.”
“Ah!” Wonwoo segera berdiri. “Ah! Iya, saya Wonwoo, temannya Vernon. Silahkan duduk, Bi.”


Bibi itu menjabat tangan Wonwoo seraya duduk. Wonwoo baru sadar ada balita yang sedang tertidur pulas di dalam dekapannya.


“Aku baru saja sampai dari Seoul. Orangtua Vernon sudah diberi tahu, mereka akan datang dalam beberapa hari.”


Wonwoo mengangguk.


“Sebenarnya apa yang terjadi?”


Wonwoo mengusap tengkuknya dan mendesah panjang, “Seseorang memukul kepalanya dengan benda tumpul sampai pendarahan dalam.”


“Astaga! Siapa yang tega melakukan itu kepada keponakanku? Kenapa dia melakukan itu?”
“Polisi sedang menyelidikinya.”
“Ya ampun, Vernonku yang malang. Kapan kejadiannya?”
“Kemarin sore.”
“Ya ampun!”


Sang bibi yang belakangan diketahui bernama Min Kyung itu terus berkata ‘ya ampun’ dan menyebut-nyebut betapa baiknya Vernon dan betapa ia tak seharusnya mendapat perlakuan sekeji itu. Wonwoo mendengarkan segala kerisauan tersebut dengan sopan dan mengangguk setiap kali bibi Min Kyung menoleh padanya, sebagai dukungan mental.


Wonwoo sejujurnya tak begitu mengenal Vernon. Namun berdasarkan percakapan mereka di lapangan asrama (pada dini hari, kemarin minggu), dia bisa menyimpulkan bahwa Vernon adalah anak yang jujur dan tulus, dia juga sangat bertanggung jawab dan tak mau menyusahkan orang lain. Wonwoo tak butuh waktu lama untuk sepakat dengan bibi Min Kyung, Vernon tak seharusnya mendapat perlakuan sekeji itu.


Pukul tujuh pagi, Wonwoo membeli kopi dan sarapan untuk bibi Min Kyung. Ia meletakkannya pelan-pelan di kursi besi di sebelah sang bibi yang terlihat ngantuk berat.


“Ah, kau sudah bangun. Selamat pagi.”
“Selamat pagi. Boleh aku izin ke kampus sebentar? Ada kelas yang harus kuhadiri.”
“Ya. Pulanglah! Istirahat yang benar. Terima kasih banyak sudah menunggu Vernonku.”
“Aku akan kembali sekitar jam dua belas. Apa kau mau menyimpan nomorku? Beri tahu aku jika butuh apa-apa.” Wonwoo dengan sigap mengeluarkan ponselnya. Bibi Min Kyung tersenyum dengan matanya seolah sedang berterima kasih, kemudian menyebutkan nomornya.


“Kalau anakmu, Shin ingin sesuatu, makanan atau apa pun, kau bisa meneleponku. Aku pergi dulu. Dan ini, aku membeli kopi dari kantin, tapi rasanya agak hambar.”


“Ya ampun, kau tidak perlu membelikanku kopi.”
“Tidak masalah. Aku akan sekalian membawa beberapa pakaian, jadi tidak harus bolak-balik lagi.”
“Terima kasih banyak.”



**********



“Hyo? Jadi ikut denganku?” tanya Hoshi.


Hyo jin menatap ponselnya dengan gelisah. “Aku tak melihat L.Joe dari kemarin.”


“Aku juga tidak. Jadi bagaimana? Ikut denganku? Sudah sore. Aku mau jalan sekarang.”
“Ponsel dia rusak, jatuh dari tangga. Aku tak bisa menghubunginya. Aku sudah menghubungi Jeongmin tapi dia bilang L.Joe tak kembali ke kamar dari kemarin. Dia juga tidak ikut rapat, sebenarnya dia…”


“Hyo!” seru Hoshi tegas. “Kalau kau tidak bisa ikut denganku, aku akan cari anggota yang lain.”
“A-aku ikut. Kenapa sih tiba-tiba galak begitu?” Hyo Jin berdiri dengan kaki menghentak dan mengekor di belakang Hoshi.


“Siapa yang tidak emosi kalau ucapannya diabaikan melulu?”
“Maaf. Kau harusnya mengerti aku sedang khawatir.”
“Dia sudah besar. Lagian minggu depan kan sudah UAS, anak itu mungkin sedang sibuk dengan tugasnya.” Hoshi melirik Hyo Jin sambil mengeluarkan ponselnya. “Kau dan L.Joe itu sama saja. Amit-amit posesifnya. Melihat hubungan kalian aku jadi bersyukur tak punya pacar.”


“Begitu, ya?”
“Iya. Sama-sama posesif, sama-sama temperamen. Aku tak percaya kalian bisa bertahan selama ini.”
“Kita sudah sering putus, kok.”
“Benarkah?” tanya Hoshi tak acuh, seraya menempelkan layar ponselnya ke telinga.
“Ya. Delapan bulan sekali.”
“Wajar, sih.”
“Sungguh? Menurutmu itu wajar?”
“Buat pasangan labil seperti kalian tentu saja wajar.”
“Yah!! Siapa yang kau sebut pasangan la..” Hoshi meletakkan telunjuknya di depan mulut. Hyo Jin terpaksa menahan diri.


“Halo….. Aku dan Hyo Jin mau membesuk Vernon di rumah sakit. Motormu kupinjam, ya?...... Oke....... Oke, trims.”


“Motor?” ulang Hyo Jin.
“Kenapa? L.Joe tidak membolehkanmu naik motor?” sindir Hoshi. “Kalian berdua, astaga! Belum menikah saja sudah merepotkan. Ya sudah, cari Nana sana! Lebih baik aku pergi dengannya.”


“Iya, iya! Galak banget!”
“Iya apa?”
“Iya aku yang ikut.”
“Nanti L.Joe-nya marah.”
“Dia tidak akan marah kalau tidak tahu, kan?”


Hoshi memutar mata. Mereka berjalan beriringan dari kafetaria menuju rumah Shownu yang letaknya persis di belakang kampus. Karena letak rumahnya itu, Shownu terpaksa menjadi penyedia jasa pinjam-meminjam motor setiap kali teman-temannya ada keperluan—hari ini, contohnya.


“Jadi menurutmu hubunganku dan L.Joe tidak sehat?” tanya Hyo Jin setelah merenung panjang.
“Dari tadi kau diam karena memikirkan itu?”
“Jawab saja!”
“Yah, aku tidak bisa menentukan sehat atau tidak, memangnya siapa aku? Yang pasti, itu bukan tipe hubungan yang aku inginkan. Aku bukan tipikal orang yang suka dikekang atau mengekang,” kata Hoshi. “Dan soal pertengkaran, yah, pertengkaran memang perlu, tapi kalau putus-nyambung delapan bulan sekali sih kelewatan. Coba pikirkan jangka panjangnya. Bagaimana kalau kalian menikah nanti? Kau tidak bisa bercerai dan menikah lagi setiap delapan bulan sekali. Sebelum terlambat, kalian berdua harus mencari solusi untuk hal itu bersama-sama. Tapi entahlah, aku bahkan tidak punya pacar, menurutmu bagaimana?”


Hyo Jin mendesah. “Aku tidak tahu.”


“Kalau bagi kalian itu bukan masalah, yah, apa gunanya pendapat orang lain? Yang penting kan perasaan masing-masing. Dengar, aku bukan penasihat yang baik untuk urusan percintaan. Jangan menganggap serius ucapanku. Kalau menurutmu aku salah, kau bisa mendebatku kapan saja, oke? Dan mungkin, akan lebih baik jika kau tak bertanya hal-hal semacam ini padaku.”


“Kau itu temanku yang paling bijak, tentu saja aku harus bertanya padamu.”
“Benar,” Hoshi sepakat. Ia membenarkan kerah jas birunya dan tersenyum seperempat pada Hyo Jin. “Kau tahu, aku merasa paling tersanjung tiap kali ada yang menyebutku bijak.”


“Baguslah kalau begitu.” Hyo Jin menepuk pundaknya. “Itu memang satu-satunya hal yang bisa dipuji darimu.”



**********



Sebagaimana janjinya, Wonwoo kembali ke rumah sakit pukul dua belas siang. Pria itu langsung memberi tahu Bibi Min Kyung bahwa ada penginapan murah di depan rumah sakit dan dia bisa membantunya check-in jika mau. Wonwoo benar-benar khawatir, Bibi Min Kyung belum sempat istirahat dengan layak sejak kemarin, sesampainya dari Seoul ia langsung melesat ke sini. Terlebih ia juga memiliki balita yang sedang hobi berlari dan berteriak—Shin. Tak terbayang semelelahkan apa menjaganya di tempat sesempit nan setidak ramah ini. Lagipula, Shin yang usianya belum genap tiga tahun itu jelas membutuhkan istirahat.


Sekitar pukul lima sore, saat Wonwoo sedang duduk bersandar persis di depan ruangan Vernon, seorang dokter datang dan berbicara dengan Bibi Min Kyung. Shin yang menyadari ibunya tengah berjalan menjauh dengan pria berjubah putih langsung berteriak dan berlari menyusul. Namun saat ia melewati Wonwoo, tubuhnya langsung ditangkap. Wonwoo memeluk anak laki-laki itu dengan longgar.


“Mau ke mana? Kau denganku saja.”
“Mamaaaaaa.”
“Hei, lihat aku punya sesuatu di kantongku.”


Shin langsung menoleh pada Wonwoo dan mengernyit ke arah kantong celananya. Wonwoo merogoh kantongnya dalam-dalam dengan ekspresi seolah benda (yang sebenarnya tidak ada) itu sangat besar dan sulit dikeluarkan.


Saat Shin mulai menoleh lagi pada ibunya, Wonwoo baru menghentikan kepura-puraan yang itu dan melanjutkan kepura-puraan yang lain. Kini ia berlagak seolah benda itu sudah ada di tangannya yang terkepal.


Shin memerhatikan tangan Wonwoo yang terulur di depannya dengan ekspresi serius bercampur heran. Jemari kecilnya berusaha memisahkan jari-jari Wonwoo yang ditekuk ke dalam. Shin mulai tak sabar, ia menggunakan kedua tangannya dan mencoba membuka kepalan tangan itu sekuat tenaga. Wonwoo cekikikan sendiri dibuatnya.


Pria itu kemudian pura-pura tak kuasa menahan tenaga Shin dan membuka kepalan tangannya yang kosong. Dan sebelum sang anak sempat sadar bahwa ia dibohongi, Wonwoo dengan gerakan tiba-tiba menekan-nekan sekujur badan Shin dengan telunjuknya, seraya membuat suara tembakan. Shin tertawa kegelian sambil menggeliat menekuk badan.


Sambil menunggu Bibi Min Kyung selesai bicara, Wonwoo mengalihkan perhatian Shin seperti itu, dengan mengajaknya bermain. Wonwoo pura-pura mati setiap kali Shin menembaknya dengan telunjuk. Ia juga meletakkan anak itu di betisnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Shin girang bukan main, dan Wonwoo sendiri amat-amat menikmatinya.


Hingga tanpa sadar Bibi Min Kyung menghampiri. “Shin, jangan tertawa kencang di rumah sakit!”


Wonwoo langsung memperbaiki posisi duduknya yang merosot. Kemudian menurunkan Shin dari lututnya dengan wajah tersipu malu.


“M-maaf, aku yang membuatnya tertawa begitu.”


Bibi Min Kyung menggelengkan kepala, menolak permintaan maaf itu. “Terima kasih.”


Shin berdiam di tempatnya berdiri, padahal biasanya ia selalu berlari ke pelukan ibunya tiap kali mereka terpisah barang sedetik.


“Bagaimana Vernon?” tanya Wonwoo.
“Membaik. Ruangannya akan dipindah.” Bibi Min Kyung lagi-lagi tersenyum dengan matanya yang ramah.


“Syukurlah,” kata Wonwoo. “Kapan?”
“Belum tahu. Yang pasti, barusan dokter bilang mungkin saja dia akan siuman sebentar lagi.” Bibi Min Kyung berbisik, “Firasatku juga bilang begitu.”


“Aku percaya dengan firasatmu.”


Shin berusaha memanjat lutut Wonwoo lagi.


“Apa kau akan menunggu di sini?” Wonwoo sedang menekan pinggang Shin dengan telunjuknya saat bibi Min Kyung bertanya.


“Ya,” jawabnya. Shin tertawa geli dan berusaha balik menembak Wonwoo dengan telunjuknya, tapi untuk saat ini Wonwoo tak bisa pura-pura mati.


“Sepertinya aku harus ke penginapan. Kau tidak apa-apa ditinggal sendiri?”
“Tentu saja tidak apa-apa.”


Bibi Min Kyung pun mengulurkan tangannya pada Shin. “Ayo, Shin!” ujarnya. Shin serta-merta meraih tangan sang ibu, tapi tangannya yang lain tak mau lepas dari Wonwoo.


Baru setelah dibujuk beberapa kali, anak itu akhirnya bersedia juga melepaskan Wonwoo dan mengikuti ibunya ke penginapan. Wonwoo masih tersenyum pada Shin yang terus menoleh padanya sambil menodongkan telunjuk, dan saat ia kembali menoleh ke depan, Hoshi dan Hyo Jin ternyata tengah memerhatikannya. Senyum konyol di wajah Wonwoo seketika hilang. Telinganya memerah karena malu.


Wonwoo bergeming selama beberapa saat—terkejut dan bingung dan luar biasa malu—sebelum matanya bertemu dengan mata Hyo Jin dan otaknya melolong menyuruhnya berpaling. Gerak refleks Wonwoo tidak bisa disebut gerak refleks karena kinerjanya amatlah buruk.


Wonwoo berpaling ke arah perginya Bibi Min Kyung—yang kini sudah tak kelihatan—sementara dadanya bertalu-talu dan ujung-ujung jarinya kesemutan.


“Bagaimana Vernon?” tanya Hoshi, dalam hati menahan diri untuk menghentaknya dengan pertanyaan ‘apa kalian sungguh berteman?’. Hoshi tentu saja cukup bijak untuk tidak membawa-bawa masalah politik di situasi seperti ini, tapi ia juga tak bisa menyangkal keganjilan yang ada. Wonwoo adalah anggota Solidarity of DIMA (partai merah), dan jika mereka berteman…….. bukan tidak mungkin jika mereka bertukar informasi.


“Membaik, tapi belum siuman,” jawabnya dingin, tanpa repot-repot memandang Hoshi.
“Jadi belum boleh dibesuk?”
“Belum.”
“Bisakah kau melihatku?” tukas Hoshi. “Tak nyaman rasanya bicara begini.”


Wonwoo melirik Hoshi sedikit, lalu kembali berpaling, lebih jauh. “Tidak bisa. Aku tidur di kursi tunggu semalaman, leherku sakit.”


Hoshi tahu anak itu berbohong. Dia dan Hyo Jin sudah melihat Wonwoo sejak pria itu masih bermain-main dengan Shin. Namun, walaupun tahu Wonwoo baik-baik saja, Hoshi tak membantah dan mengikuti kemauan sang pria. Hoshi pindah ke sebelah kanan Wonwoo sementara Hyo Jin bergeming di tempatnya semula, cukup paham bahwa Wonwoo tak nyaman melihat dirinya.


“Jadi,” Hoshi dan Wonwoo akhirnya bisa melihat wajah satu sama lain, “hanya kau yang menunggunya di sini?”


“Sekarang? Ya.”


Hoshi mengerutkan kening. “Wanita yang tadi… itu keluarganya, kan?”


“Ya, itu Bibi Min Kyung, adik tiri ibu Vernon. Dia tinggal di Seoul dan baru sampai hari ini jam tiga pagi, sekarang sedang pulang ke penginapan untuk istirahat.” Wonwoo menambahkan, “Orangtuanya menetap di Amerika dan baru bisa ke sini beberapa hari lagi. Lusa paling cepat.”


Hoshi mengangguk-angguk. Ia lantas mengemas rasa penasarannya (soal sedekat apa Vernon dan Wonwoo) menjadi sesuatu yang lebih enak didengar, “Jadi, kau dan teman-teman Vernon yang lain saling bergantian menunggunya?”


“Teman yang mana?”
“Jadi hanya kau saja?”
“Ya. Aku sudah membawa baju ganti. Aku akan menunggu di sini sampai anak itu siuman.”
“Sungguh? Kau tak akan kembali ke asrama? Tapi kita sudah mulai UAS minggu depan. Kau akan melewatkan banyak kelas.”


“Ada yang lebih penting dari kelas,” tukas Wonwoo.
“Benar,” Hoshi sepakat. “Aku tak tahu kau dan Vernon ternyata sedekat ini.”
“Kami tidak dekat,” sangkalnya. “Sejujurnya kau tak harus menjadi dekat untuk punya rasa kemanusiaan.”


Hoshi tak langsung merespon. Ia merasa tertohok selama dua-tiga detik, sebelum akhirnya mengangguk patah-patah.


“Mungkin sebaiknya aku menunggu di sini juga.”
“Untuk apa?”
“Walaupun Vernon masih tergolong baru di partai, dia tetap anggotaku. Dan sebagai ketua, seharusnya aku melindungi orang-orangku.”


“Melindungi orang-orangmu?”
“Ya.”
“Apa pun yang mereka lakukan?”
“Tentu saja.”


Wonwoo tersenyum dan menggeleng. “Kau akan sangat terkejut begitu tahu siapa pelakunya.”


“Kau tahu siapa pelakunya?”


Wonwoo menahan kuat-luat hasratnya untuk menoleh pada Hyo Jin, untuk menyeringai jahat dan mengatakan ‘bagaimana rasanya mencintai orang yang salah selama bertahun-tahun?’. Tapi dia tak melakukannya, tentu saja.


Sebagai gantinya, ia hanya menggeleng, “Bagaimana bisa aku tahu? Aku hanya berpikir kau pasti akan terkejut.”


Hoshi menanggapi dengan santai, “Kita semua pasti akan terkejut, kan?”


“Tentu saja,” jawab Wonwoo. Tentu saja aku tidak akan terkejut. Sejujurnya pria itu sudah bisa membayangkan L.Joe dan kawanannya digiring menuju kantor polisi dengan borgol yang dirantai satu sama lain. Ia amat tak sabar menunggu hari itu datang. Tapi masalahnya, apa hari itu akan datang? Wonwoo bertaruh siapa pun dari mereka (para pengecut itu) tak akan ada yang berani mengaku, jadi satu-satunya harapan untuk mendapat keadilan hanyalah penyelidikan akurat dari kepolisian. Atau… kesaksian Vernon—jika pria itu siuman dan tidak hilang ingatan.


Percakapan mengenai Vernon merembet ke mana-mana, kini Hoshi dan Wonwoo mulai mengobrol tentang berbagai hal. Sementara itu, Hyo Jin bersandar di dinding sepuluh meter jauhnya dari lokasi duduk mereka. Hoshi berulang kali menyuruhnya bergabung, namun Hyo Jin berkeras menolak dengan banyak alasan. Ia tahu Wonwoo tak mau menatapnya.


Walaupun yang mengatakan ‘aku membencimu’ kemarin adalah Hyo Jin, tapi sepertinya Wonwoo lah yang justru membencinya sungguhan. Perasaan Hyo Jin saat ini malah dipenuhi oleh serangan rindu dan rasa bersalah.


“Hyo, kemarilah!” seru Hoshi. “Kenapa semakin lama malah semakin jauh?”
“A-ah, benarkah?”
“Ya. Tadi kau berdiri di sini, kan? Cepat kemari!”
“A-aku, kurasa, aku haus,” katanya sembari memegangi tenggorokan. “Aku mau ke kantin sebentar.”


Hyo Jin langsung berbalik pergi.


Hoshi memerhatikan gadis itu dengan heran, kemudian berkata pada Wonwoo, “Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba dia menjadi sangat gugup saat dekat denganku. Itu aneh, kau tahu, perasaan manusia begitu cepat berubah.”



**********



Sewaktu Hyo Jin kembali, Wonwoo masih duduk bersandar di dinding. Namun pria blonde yang Hyo Jin sebut sebagai teman yang bijak itu tak lagi ada di sebelahnya. Hyo Jin sangat ingin bertanya ke mana perginya Hoshi, tapi ia tak yakin apa Wonwoo mau mendengar suaranya.


Alhasil, Hyo Jin hanya bergerak gelisah lima meter di sebelah Wonwoo. Dia mengecek ponselnya, menoleh ke sana kemari, menggerak-gerakkan kaki dan sebagainya.


Saat itu, tiba-tiba saja Wonwoo menoleh padanya. Hyo Jin berhenti bergerak dan secara refleks ikut menoleh pada Wonwoo. Hyo Jin benar-benar hampir meminta maaf karena mengira semua kegelisahannya telah mengganggu ketenteraman pria itu. Namun sebelum kata-kata maafnya keluar, Wonwoo sudah lebih dulu bicara.


“Dia ke toilet.”
“Oh,” kata Hyo Jin, canggung luar biasa. “Tolong katakan padanya aku menunggu di parkiran.”


Wonwoo tak merespon. Hyo Jin mengamatinya, menanti jawaban sampai ia yakin permintaan tolongnya tak akan mendapat jawaban. Lantas berbalik pergi.


“Katakan saja sendiri! Aku bukan tukang pos,” balas Wonwoo tiba-tiba. Hyo Jin kembali menoleh padanya secepat kilat.


“Benar,” katanya, semakin canggung. “Aku bisa mengiriminya sms.”
“Bagus.”


Hyo Jin mengangguk-angguk seperti orang bodoh. Atmosfer di lorong itu amat-amat canggung. Dan Hyo Jin tak tahu kenapa ia masih berdiri di situ sambil mengamati Wonwoo. Akhirnya, ia memutar kakinya lagi, lantas benar-benar pergi.



**********



Hyo Jin melewati ruang tunggu dan pintu lift begitu saja. Ia memilih menuruni tangga darurat yang sepi sambil terisak tanpa air mata. Hyo Jin menahan-nahan air matanya sekuat tenaga sambil melangkah cepat-cepat. Hidungnya sakit, matanya sakit, hatinya sakit dan ia tak tahu kenapa. Ia tak tahu kenapa tiba-tiba air matanya mendesak keluar. Ia tak tahu kenapa badannya gemetar. Yang pasti, ia amat-amat membenci dirinya karena bersikap begini, karena terlalu lemah. Kenapa melihat Wonwoo yang dingin dan acuh tak acuh membuatnya kecewa dan remuk? Kenapa ia harus kecewa? Kenapa ia remuk?


Hyo Jin nyaris terpeleset di anak tangga saat seseorang tiba-tiba saja menangkap tangannya. Ia terkejut dan nyaris berteriak. Tapi begitu melihat siapa seseorang itu, teriakannya seketika lenyap.


Itu Wonwoo. Tatapannya tajam sekaligus depresi. Dan sejujurnya Hyo Jin pun sama depresinya saat ini. Wonwoo mencengkeram lengan Hyo Jin terlalu kuat, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang menyadarinya.


“Kau masih membenciku?” tanya Wonwoo setelah keheningan panjang.
“Bagaimana mungkin kau bertanya begitu? Bukankah kau yang lebih membenciku? Kau jelas-jelas menolak menatapku.”


“Aku takut menatapmu. Kau bilang sendiri bahwa kau membenciku, aku hanya takut membuatmu tak nyaman.”


“Aku juga takut menatapmu,” balas Hyo Jin cepat. “Karena hal yang sama. Karena kupikir kau pasti membenciku karena kubilang aku membencimu.”


Wonwoo perlahan-lahan melepas lengan Hyo Jin. Dan gadis itu baru sadar akan rasa perih yang ditinggalkannya.


“Aku tahu kau kecewa,” kata Hyo Jin pelan. “Maaf sudah menjanjikan sesuatu yang tak bisa kutepati.”


Hyo Jin teringat akan janjinya di pasar loak Anseong malam itu. Saat Wonwoo bertanya siapa yang akan ia pilih, saat dengan mudahnya ia meloloskan kata ‘kau’ tanpa berpikir. Dan kemudian, tak sampai dua jam setelah menjanjikan itu, ia malah memilih L.Joe lagi.


“Ya, aku kecewa,” kata Wonwoo, “tapi tidak, aku tidak membencimu. Aku tak akan pernah bisa membenci orang yang kusayang.”


“Kau tidak seharusnya bicara begitu.”
“Kau mau aku bicara apa?”
“Tidak tahu. Lebih baik tidak bicara apa-apa. Kenapa kau ke sini?”
“Aku tidak tahu.”
“Kalau begitu pergilah. Aku juga akan pergi.”
“Tidak, tunggu!” Wonwoo menangkap tangan Hyo Jin. “Bisakah kita mengakhirinya baik-baik? Aku tidak ingin kita membuang muka satu sama lain saat berpapasan di kampus.”


“Bagaimana caranya?”
“Beri aku sepuluh menit, kau hanya perlu mendengarkanku.”
“Terlalu lama. Hoshi pasti sudah…”
“Lima menit,” pangkas Wonwoo. Hyo Jin melirik deretan anak tangga menurun di bawahnya dan memejam sambil menghela napas.


“Tidak lebih dari lima menit,” tandas Hyo Jin.
“Ya, tentu. Aku mulai sekarang. Dengar, selama hidupku, aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya,” kata Wonwoo. Ia mengatakannya dengan cepat seolah tak mau membuang waktu barang sedetik. Seolah ia punya ribuan kalimat lain yang menunggu untuk dikeluarkan.


“Awalnya hanya percikan kembang api di ujung tangan, tapi lama-lama sekujur tubuhku kebakaran. Aku tak yakin apa kau mengerti maksudku, tapi begitulah rasanya. Aku tidak bisa berhenti memikirkan matamu setelah konser Crying Cheese malam itu. Aku suka garis tawamu, caramu bicara, betapa klise dan spontannya kau sepanjang waktu. Aku ingin jalan-jalan ke pasar loak ronde dua, aku janji akan membelikanmu baju gipsi itu. Aku sungguh menyukaimu, kau tak mengerti.”


Hyo Jin terus menggeleng selama Wonwoo bicara. “Itu karena kau belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Aku tidak sehebat itu.”


“Kau lebih hebat dari itu.”
“Tidak.”
“Ya. Ini penilaianku,” sergah Wonwoo. “Dan yeah, aku memang belum pernah jatuh cinta sebelumnya, tapi itu bukan alasan bagimu untuk meremehkan perasaanku. Semua perasaan ini, rasanya seperti yang pertama dan terakhir dan satu-satunya. Aku tak mungkin bisa menyukai orang lain lebih dari ini.”


“Kau bisa. Aku berdoa untukmu, kau akan menemukan gadis yang baik, yang bisa memberi cinta yang utuh, yang bisa membuatmu merasakan percikan kembang api tanpa takut terbakar, dan yang terpenting, seseorang yang bisa menepati janjinya.”


“Itu bukan masalah. Aku tidak apa-apa dengan rasa ‘terbakar’-nya, aku…”
“Wonwoo,” sela Hyo Jin, “bukan aku.”


Seketika itu juga Wonwoo merasa dadanya terhantam oleh sesuatu—oleh perkataan ‘bukan aku’. Ia terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum pahit dan menggeleng. “Yeah, bukan kau. Kau hanya untuk L.Joe seorang. Kau hanya pantas untuk dia saja. Ya, ya, dia terlampau unggul jika dibandingkan denganku. Aku hanyalah pria canggung, si pengecut yang senantiasa kabur dari masalah. Sedangkan anak itu bisa menggenggam dunia dengan penuh percaya diri, si pria romantis, komposer lagu, pencipta lirik-lirik manis, pemain sejuta alat musik. Oh, apa yang dia tak bisa? Aku hanya….”


“Hentikan! Ini bukan masalah siapa kau dan siapa dia!”
“Jadi masalah apa? Waktu? Jangan biarkan waktu membodohimu! Seseorang yang kau temui seminggu yang lalu bisa jadi lebih baik dari pria yang kau kenal bertahun-tahun. Waktu seharusnya tidak menjadi patokan untuk menentukan perasaan.”


“Cukup. Bukankah kita akan mengakhiri ini baik-baik?”
“Ya. Benar.”
“Jadi…”
“Jadi, kuharap kau dan L.Joe tak akan putus-nyambung lagi,” kata Wonwoo. Maksudnya, putus saja selamanya.


“Terima kasih,” ujar Hyo Jin tulus. “Dan kuharap kau akan bertemu perempuan yang sama hebatnya denganmu.”


“Maksudmu, yang sama rendahnya dengan levelku?”


Hyo Jin terlihat amat muak mendengar ucapan Wonwoo. Ia sudah membuka mulut untuk mendebat, namun pria di depannya segera berkata ‘ya’ sebanyak-banyaknya dengan ekspresi seolah ia mengerti dan Hyo Jin tak perlu memperjelas apa-apa.


Saat itu, ponsel Hyo Jin berdering.


“Hoshi pasti sudah menungguku di parkiran,” katanya sembari mengecek ponsel.


“Halo?... Ya, aku sedang menuju ke sana…. Oke, segera.”


Hyo Jin kembali menyelipkan ponselnya ke saku jins dan memandang Wonwoo dengan senyum dipaksakan.


“Terima kasih untuk semuanya,” katanya, “kuharap kita bisa bertemu di kampus tanpa membuang muka.”


"Ya."
“Sampai jumpa.”


Wonwoo cuma mengangkat tangannya sedikit dan mengikuti langkah Hyo Jin dengan matanya.


Saat sedang berjalan turun, Hyo Jin bisa mencium aroma segar Wonwoo di hidungnya. Entah bagaimana Wonwoo terasa jauh lebih dekat dari yang seharusnya. Rasanya seolah napas pria itu sedang menjalar di leher dan telinganya. Hyo Jin menoleh untuk memastikan apa Wonwoo mengikutinya. Namun sebelum ia sempat melihat apa-apa, badannya sudah terdorong ke dinding. Dan Wonwoo sudah menciumnya sambil mengerang.


Untuk sesaat, Hyo Jin merasa seperti mencium awan. Wonwoo menciumnya dalam-dalam dan Hyo Jin menyambutnya sampai tak bisa bernapas. Ia akhirnya mengerti betapa ‘terbakar’-nya Wonwoo dan serta-merta ikut terbakar bersamanya. Tangan Hyo Jin berada di bahu, tengkuk, terbenam di rambut dan di mana-mana. Wonwoo merendahkan kepala, menangkup wajahnya dan memeluknya lebih erat. Hyo Jin merasa seperti tengah menggenggam semua hal yang ia inginkan di muka bumi, dan ia tak bisa berhenti.



**********



Kamar asrama milik Zio dan Gong Myung dipenuhi aura kelam. Satu-satunya ekspresi yang terlihat di ruangan berukuran 3 x 3 meter itu hanyalah kegelisahan. Jin Young menempelkan keningnya di jendela dan beberapa kali membenturkan kepalanya di sana. Gong Myung duduk memeluk lutut di ruang kosong di sebelah lemari, sedangkan yang lain menyebar gelisah di sekeliling ruang.


“Mobil polisinya masih belum pergi.” Jin Young menginfokan.
“Diamlah!” seru Gong Myung.
“Apa salahku? Aku cuma memberi tahu.”
“Kita tak perlu tahu hal semacam itu! Mereka tak akan pergi sebelum mendapatkan sesuatu. Mereka tak akan pergi sebelum mendapatkan kita!”


“Aku tak percaya dia sampai koma hanya karena dipukul sedikit,” cetus L.Joe.
“Sedikit? Kayu itu terlalu kokoh dan besar untuk disebut sedikit. Sudah kubilang jangan memukul kepalanya dengan kayu,” ujar Mark.


“Bukan aku yang pukul.” L.Joe menolak untuk disalahkan. Dan bak mendapat komando, semua mata langsung tertuju pada Zio. Namun pria itu terlalu larut dalam pikirannya sendiri hingga tak menyadari tatapan mereka.


“Apa menurut kalian rahasia kita akan terbongkar?” Jin Young bertanya pelan, masih sambil meratapi mobil polisi.


“Cepat atau lambat, tentu saja kita akan ketahuan,” jawab Mark apa adanya. “Sekalipun polisi-polisi itu tidak bisa, Vernon pasti akan memberi tahu semua orang begitu dia siuman. Ini hanya masalah waktu.”


“Jadi, haruskah kita berdoa supaya anak itu tidak usah siuman saja?” tanya Gong Myung.
“Mendoakannya mati, maksudmu?” Jin Young berbalik dari jendela.
“Astaga! Aku tahu berteman dengan kalian adalah kesalahan besar. Dengar, bukan aku yang memukulnya! Dan bukan pula aku yang memberi ide untuk memukulnya. Aku cuma kebetulan berada di sana, oke? Mulai sekarang, anggap kita tidak mengenal satu sama lain.” Jin Young berucap panjang lebar dan segera berjalan menuju pintu. Namun L.Joe menyambar bagian belakang kausnya dan menghempasnya kembali ke tempat semula.


Zio yang semula terlihat paling tenang tiba-tiba berdiri dan mulai mengeluarkan aura kejam. “Siapa yang membuat Vernon melewati ruang pertunjukan? Kau, bodoh! KAU! Ini semua rencana kita bersama-sama. Kau tidak bisa lepas tangan begitu saja. Jika kita dipenjara, kita dipenjara bersama-sama.”


“Aku tidak mau!”
“Memangnya kau pikir aku mau?” hardik Zio. “Lagian kita belum tentu akan dipenjara, kan? Maksudku, kita belum tentu ketahuan.”


“Itu benar,” sambar Gong Myung lantang. Hatinya yang kelabu sejenak mendapat cahaya surga.
“Tidak bisa.” Mark menyangkal, praktis membuat cahaya surga di hati Gong Myung redup. “Seandainya Vernon tak tertolong pun, apa kau mau dihantui rasa bersalah seumur hidup? Tidak, aku tidak mau.”


“Jadi?” L.Joe menoleh pada Mark penuh antisipasi.
“Jadi… menurutku sebaiknya kita mengaku.”
“Ohhhh! Kau tidak bisa lebih bodoh dari ini, kan?” Zio murka. Gong Myung dan Jin Young ikut berteriak, menolak mentah-mentah usulan itu. Sementara L.Joe menghempaskan punggungnya ke dinding. Tubuhnya melemas. Perlahan-lahan ia mengangkat tangannya yang gemetar dan merasakan semesta luluh lantak di hadapannya.


“Dengarkan aku, kalau kita mengaku sekarang, mungkin hukumannya tidak akan terlalu berat. Begini,..” Mark berdiri dan hendak menjelaskan, namun semua orang terlalu panik hingga tak bisa menunggunya selesai bicara. Mereka langsung membantah. Mark balik menyanggah. Dan pembicaraan itu pun berlanjut sepanjang malam. Tanpa titik temu.



**********



Enam jam berlalu dan dada Hyo Jin masih bertalu-talu. Ia berbaring di kamarnya yang gelap sementara kepalanya terus mengulang gerak-gerik Wonwoo yang mampu ia ingat; oh, cara pria itu menatapnya, cara pria itu menggenggamnya, menciumnya.  Ya, dia mungkin tak akan membuang muka saat melihat Wonwoo, namun justru agaknya dia akan membuang muka saat melihat L.Joe—karena rasa bersalah yang tidak bisa ditutupi, karena ia benar-benar merasa seperti habis melakukan perselingkuhan terbesar abad ini.



Hyo Jin membuka galeri ponselnya dan memandangi foto-fotonya bersama L.Joe. Digulirkan jemarinya perlahan, satu demi satu, hingga tiba-tiba saja gerakan jarinya itu terhenti, ia tersadar akan sesuatu hal. Tidak ada percikan lagi. Tidak ada kehangatan di ujung jari alih-alih kembang api. Bagaimana ini?, batinnya. Ia merasa tertampar. Ada apa denganku? Apa yang sedang terjadi?


Hyo Jin mencoba mengingat-ingat betapa besar perasaannya pada L.Joe, betapa ia menyukai senyum pria itu, percakapan tengah malam mereka, semua lagu yang terinspirasi darinya, pertalian jemari yang pas, diam-diam dan mulus, sesi curhat sambil menghitung biji limun, perselisihan kau-masuk-dulu-baru-aku-pergi setiap kali mereka tiba di depan asrama putri, L.Joe yang belajar drum tanpa sepengetahuannya (hanya karena gadis itu tiba-tiba menyukai drummer, ya Tuhan!) dan masih banyak lagi. Namun, saat ia mencoba memunculkan kembali ingatan itu, ingatan tentang Wonwoo malah datang menerobos, menghancurkan tembok kokoh L.Joe—yang ternyata tidak sekokoh yang ia kira—dan mengubahnya menjadi kenangan buram.


Hyo Jin benar-benar tak percaya dengan perasaannya. Seharusnya tidak semudah ini, kan? Seharusnya, memori dua tahun tidak memudar secepat ini.


Ia sudah berguling di ranjang dengan gelisah selama puluhan kali, hingga akhirnya mulai tak tahan dan menyibak selimut. Wendy yang tengah tertidur pulas di ranjang seberang mengerang sedikit, namun tidak terbangun.


Hyo Jin duduk di pinggir tempat tidur dan menelepon Jeongmin.


[Halo?] Jeongmin menjawab dengan suara serak dan tidak jelas.
“Hey, sorry, tapi bisakah kau bangunkan L.Joe dan berikan telepon ini padanya? Aku harus bicara.”


Jeda sebentar diiringi suara kasak-kusuk. Jeongmin mungkin sedang bangkit menghampiri anak itu.


[Dia tidak ada di sini.]
“Kau yakin?”
[Mau kufoto?]
“Kenapa akhir-akhir ini dia tak pernah tidur di kamarnya?”
[Aku tidak tahu.]
“Apa menurutmu dia ada di asrama?”
[Aku melihatnya di kamar Zio tadi sore. Mungkin anak itu masih di sana.]
“Bisakah kau ke sana? Aku harus bicara dengannya. Ini gawat.”
[Entahlah, Hyo. Aku ada kelas pagi.] Jeongmin menguap. [Maaf, bukannya aku tidak peduli dengan masalah gawatmu. Tapi aku baru saja menyelesaikan tugas dan serius, aku ngantuk berat.]


“Okay,” ujar Hyo Jin pasrah.
[Ada lagi?]
“Kalau seandainya dia datang, bisakah kau memberitahunya aku akan ke sana?”
[Kau mau ke sini?]
“Ya.”
[Ke asrama cowok?]
“Ya.”


Jeongmin terdiam cukup lama, sebelum akhirnya mendecak masa bodo. [Oh, baiklah. Terserah.]


“Terima kasih.”


Selang sepuluh menit, Jeongmin mendengar suara pintu kamarnya dibuka. Ia memaksa dirinya untuk tidak terlelap terlalu pulas demi Hyo Jin, dan syukurlah ia tak harus menunggu lama sampai L.Joe datang.


“Tadi Hyo Jin meneleponku,” kata Jeongmin. L.Joe menarik sweternya melewati kepala dan langsung menjatuhkan badan di ranjang. Muka menghadap kasur.


“Ada apa?” tanya pria itu lelah, sedikit redam karena posisinya.
“Ada yang mau dia bicarakan denganmu. Gawat, katanya.”
“Bicara apa?”
“Mana kutahu. Yang pasti dia sedang menuju ke sini.”


L.Joe yang hampir terlelap praktis bangkit lagi. “Huh?”


“Dia bilang begitu sejak sepuluh menit yang lalu, mungkin sekarang anak itu sudah di bawah.”
“Di bawah? Ya ampun, kenapa tidak kau tahan, sih? Dasar! Mau apa coba malam-malam begini.” L.Joe menggerutu. Ia melompat berdiri, memakai sandal, kemudian membuka pintu kamar dengan keras sebelum membantingnya menutup dua kali lipat lebih keras.


Jeongmin menarik napas penuh rasa sabar dan kembali tidur.



**********



Ketika Hyo Jin memasuki lobi asrama pria, L.Joe turun dari tangga bak malaikat kematian—jins hitam, kaus hitam, rambut hitam.


Saat mereka bertatapan untuk yang pertama kali (semenjak dua hari), Hyo Jin refleks membuang muka—menunduk—seolah L.Joe bisa melihat apa yang baru saja ia lakukan di rumah sakit lewat wajahnya, seolah bayangan Wonwoo masih ketinggalan di pupilnya.


Hyo Jin berhenti melangkah dan memberanikan diri untuk mengangkat kepala. L.Joe menghampirinya sambil mengerang.


“Apa yang kau lakukan?”
“Ada yang harus kubicarakan.”
“Besok kan bisa.”
“Aku tidak bisa menunggu sampai besok.”


L.Joe mendorong rambutnya ke belakang dan menghela napas. “Baiklah, tapi kau tak boleh ada di sini. Ayo!”


L.Joe menggenggam tangan Hyo Jin. Mereka melewati lorong-lorong kamar di lantai satu dengan cepat, sampai akhirnya tibalah mereka di kafetaria asrama. Pintunya sangat besar dan menimbulkan bunyi berderit yang nyaring saat dibuka, persis seperti yang ada di asrama putri. Ia melangkah memasuki ruangan dan menahan pintunya untuk Hyo Jin.


Ruangan itu gelap, tapi Hyo Jin masih bisa melihat mesin minuman yang menyala dan berdengung, juga deretan meja-meja panjang dan loket makanan yang kosong. L.Joe meraba-raba dinding untuk mencari saklar dan menyalakan salah satunya. Mereka lantas duduk bersebelahan di salah satu meja panjang itu, di bagian yang disinari lampu.


“Mau bicara apa?” tanya L.Joe tanpa basa-basi.
“Sampai kapan kau akan berkeliaran tanpa handphone?”
“Aku tidak punya uang.”
“Aku punya.”
“Tidak, Hyo. Aku tidak akan menggunakan uangmu,” tolak L.Joe, kemudian kembali mengulang pertanyaannya. “Mau bicara apa?”


“Aku tidak mau bicara apa-apa. Aku cuma mau melihatmu.”
“Yang benar saja! Jam satu pagi?” L.Joe bernapas gusar. “Masalahku sedang sangat banyak sekarang, oke? Tolong jangan ditambah-tambah lagi. Ayo berdiri, kau harus kembali ke asramamu.”


“Tidak, tunggu.” Hyo Jin menarik lengan L.Joe sampai pria itu terduduk lagi. “Aku tidak mau menyimpan rahasia darimu.”


“Rahasia?”
“Ya.”
“Rahasia apa?”


Hyo Jin mulai panik, dan ia tak tahu apakah ia berhasil menutupinya atau tidak. “Kurasa, sebelum mendengar rahasiaku, sebaiknya kau ceritakan dulu apa masalahmu.”


“Tidak, kau tidak mengerti. Itu sangat rumit.”
“Milikku juga sangat rumit.”
“Tidak serumit punyaku.” L.Joe berkeras.
“Kalau begitu aku juga tidak akan bicara.”


L.Joe memandang Hyo Jin dan mendecak, “Oke. Tapi kau duluan.”


“Kau duluan.”
“Hyo!”
“Oke.” Hyo Jin mengalah. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam, kemudian menggenggam kedua tangan L.Joe dan menggiring mata pria itu untuk menatap matanya.


“Apa yang kau lakukan?” L.Joe bertanya dengan kening berkerut.
“Aku ingin bertatapan denganmu dua menit penuh.”
“Hyo, astaga!” L.Joe menarik tangannya dari Hyo Jin dengan geram. Nada suaranya berubah semakin ketus. “Aku tak tahu apa yang sedang merasuki kepalamu malam ini, tapi serius, lebih baik kau kembali ke asramamu dan tidur. Mungkin kau bisa mendapatkan akal sehatmu lagi besok pagi.”


“Tidak, kau tidak mengerti. Kau harus membuatku jatuh cinta padamu lagi.”
“Lagi?” ulang L.Joe, seolah sedang menggarisbawahi. “Apa artinya itu?”


Hyo Jin meremas tangannya sendiri. “Yeah, ini memang agak sulit dipahami. Tapi itu akurat, maksudku, kau benar-benar bisa jatuh cinta pada seseorang hanya karena dua menit tatap mata. Kau pernah dengar istilah ‘mata adalah jendela jiwa’? Mata adalah organ tubuh yang paling jujur, jauh lebih jujur dari mulut. Saat kita saling bertatapan dengan seseorang, walau tanpa bicara sepatah kata pun, akan ada koneksi yang terjalin secara jujur dan alami. Selain itu..”


“Dengan siapa kau melakukannya?” sela L.Joe. Ia mengerti inti ucapan Hyo Jin dan merasa sudah cukup mendengar penjelasan bertele-telenya.


“Itu tidak penting dengan siapa. Yang penting, kita harus memperbaikinya sekarang, sebelum terlambat.”


“Dengan siapa?” desak L.Joe. Tatapannya semakin tajam dan Hyo Jin bisa merasakan emosi yang membara. Ironisnya, gadis itu baru mengatakan satu hal saja dan reaksi L.Joe sudah begitu dingin. Hyo Jin tak tahu apa yang akan pria itu lakukan jika dia mengaku baru saja berciuman dengan cowok lain di tangga darurat rumah sakit.


“Apa yang akan kau lakukan padanya jika kuberi tahu siapa dia?”
“Belum kutentukan.”
“Kau sangat,” Hyo Jin menggeleng, “mengerikan. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan kau perbuat jika kau tahu lebih jauh.”


“Lebih jauh? Yeah, benar.” L.Joe menekan lidahnya di rongga mulut, sembari tersenyum dan mengangguk. “Ini tak mungkin hanya sekedar bertatapan, kan? Siapa dia dan sejauh apa? Apa yang membuatmu merasa begitu bersalah sampai-sampai bersedia melewati jalanan kampus yang kau benci? Terlebih, jam satu pagi?”


L.Joe merepetnya. Hyo Jin berusaha bersikap tenang selama beberapa saat sebelum menyadari bahwa ia tak sanggup lagi menatap mata pria di depannya ini—dan membuang muka.


“Kalian jalan berdua? Kencan?” tebak L.Joe.
“Malam itu, kami cuma membeli buku.”
“Malam itu? Lalu bagaimana dengan malam ini?”


Hyo Jin memejamkan mata. Dia benar-benar bodoh dalam merangkai kata, sedangkan L.Joe benar-benar piawai membuatnya tersudut dan kehilangan kata.


“Berjanjilah tak akan marah! Berjanjilah untuk menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin!”
“Ya,” jawab L.Joe, lantas bertanya dengan nada tak sabar, “Siapa dan apa yang kalian lakukan?”
“Wonwoo. Dan kami….” Hyo Jin terus-terusan menghela napas. Ia tak ingin diliputi rasa bersalah seumur hidup, tapi berkata jujur tentang hal ini adalah sebuah tindakan super tolol dan sama saja seperti cari mati—dan Hyo Jin sepertinya siap mati. “… berciuman.”


“Apa?”
“Kau janji tak akan marah,” sambar Hyo Jin sebelum L.Joe sempat meneriakkan kata lain selain ‘apa’.


L.Joe mendenguskan tawa frustasi dari hidung, ia tersenyum tak percaya dan menggeleng, kemudian mengangkat tangannya seolah sudah menyerah. Reaksinya membuat Hyo Jin menyesal sudah bicara. Mungkin seharusnya ia tak usah terlalu jujur, mungkin seharusnya ia tidak usah ke sini dan pura-pura bersikap seolah tidak ada yang salah dengan perasaannya saja—yang sejatinya telah memudar dalam skala besar, sangat besar sampai-sampai ia harus berbaring di tempat tidur selama lima jam hanya untuk mengingatkan dirinya sendiri bahwa ada masa di mana hubungan mereka seindah pelangi—Hyo Jin seharusnya bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Ia seharusnya menghimpit rasa bersalahnya di ulu hati sampai rasa bersalah itu musnah sendiri.


Tapi… sekalipun itulah yang ia lakukan, siapa yang bisa menjamin situasi akan lebih baik? Siapa yang bisa menjamin ia masih mencintai L.Joe dengan cara yang sama? Setelah semua yang terjadi, setelah ia menemukan semesta baru di bola mata cowok lain, tak ada lagi yang sama.


“Lalu apa yang mau kau dengar dariku?” L.Joe mendesah dalam senyumnya, menyiratkan keputusasaan. “Kau ingin aku mengelus kepalamu dan berkata, ‘oh, tidak apa-apa. Ciumlah dia lagi selagi aku tak ada!’, begitu?”


“Dengar, Hyo. Kita bisa bertengkar soal apa pun. Apa pun kecuali ini. Kecuali orang ketiga.”
“Apa menurutmu tidak ada perempuan lain yang lebih cantik, lebih lucu, lebih hebat darimu? Ada. Banyak. Lalu kenapa aku terus-terusan memilihmu selama dua tahun ini?” L.Joe tak menunggu Hyo Jin menjawab. “Karena kupikir kau juga akan terus-terusan memilihku. Sekalipun ada kalanya kita bertengkar, tapi pada akhirnya kita selalu memilih satu sama lain. Oh, sepertinya sudah bukan ‘selalu’ lagi karena kau jelas tidak memilihku sekarang. Dan tak ada yang bisa kuperbuat dengan itu. Aku tak bisa menahan hati yang berubah, kan?”


“Aku memilihmu. Menurutmu apa yang kulakukan di sini jika aku tidak memilihmu?”
“Kau mencium Wonwoo kemudian memilihku?” L.Joe mendenguskan tawa dari hidung.
“L.Joe, dengar…”
“Tidak, kau tidak memilihku,” potongnya. Ekspresinya berubah dari senyum kecut ke serius hanya dalam setengah detik. Dia akan jadi aktor yang sangat hebat jika masuk jurusan teater. “Kau hanya tak mau merasa bersalah. Kau ke sini bukan karena aku, tapi karena dirimu sendiri.”


“Tidak.”
“Ya. Aku mengenalmu, Hyo,” tandasnya. “Kau hanya ingin merasa lebih baik. Tapi apa kau bahkan memikirkan apa pengaruhnya bagiku?”


“Apa kau pikir kita bisa bersikap biasa setelah ini? Apa kau pikir aku tak kecewa? Kau tak bisa mendapatkan segalanya sekaligus. Kalau kau mau kesetiaan, kau juga harus melakukan hal yang sama.”


“L.Joe, please, jangan menyudutkanku begini.” Hyo Jin memohon sambil merundukkan kepala dan mulai menangis. Namun L.Joe tak peduli dan tetap melanjutkan.


“Mungkin, setelah ini aku akan menghabiskan banyak malam untuk berbaring menatap langit-langit dan berpikir apa yang salah dariku? Apa yang kurang dariku? Apa yang bisa dia berikan padamu sedangkan aku tidak? Apa kau tahu betapa tidak enaknya perasaan ini? Ketika kau berpikir kau sudah memberikan segalanya dan ternyata segalanya itu belum cukup?”


“Kau cukup. Aku hanya…”
“… sampah,” tandas L.Joe.


Hyo Jin mencelos.


“Aku tak peduli situasi macam apa yang sudah kau lalui sampai kau melakukan itu, bagiku tidak ada alasan yang cukup. Pengkhianat tetaplah pengkhianat. Oke, aku tidak bisa menyalahkanmu. Yeah, itu sifat dasar manusia—selalu menginginkan lebih dari yang ia punya. Dan aku pun begitu. Tapi setidaknya aku memahami prinsip kesetiaan, dan sejujurnya kukira aku tak perlu meragukan hal itu darimu. Tapi ternyata, yeah, ekspektasiku terlampau tinggi.


“Aku tak tahu lagi harus bicara apa, Hyo. Aku benar-benar kecewa. Kalau kau mencintaiku, seharusnya kau tidak melakukan itu, seharusnya kau bahkan tidak memikirkan itu. Sudahlah.”


L.Joe berdiri. Hyo Jin mendongak dengan wajah basah, “Kau mau ke mana?”


“Kamar.”


Hyo Jin menangkap tangan L.Joe. “Jangan pergi! Lalu bagaimana denganku?”


“Kau tahu kan kamar Wonwoo ada di lantai dua?” sindirnya, kemudian menyentak tangan Hyo Jin.
“L.Joe!”


Pria itu memutar mata, lalu berjalan menuju pintu sambil mengangkat tangannya, seolah berkata ‘aku tidak peduli’. Dan Ya Tuhan, Hyo Jin tak bisa lebih sakit lagi. Pandangannya buram karena air mata dan hatinya serasa bolong. Ini pertama kalinya Hyo Jin melihat L.Joe begitu asing, teramat asing sampai-sampai punggung yang menjauh itu tak bisa lagi ia kenali.


Pintu kafetaria yang besar nan tinggi itu pun tertutup keras.


Suara gaduh itu membuat Hyo Jin tersadar bahwa tidak semua hal bisa diperbaiki. Sekalipun bisa, segalanya tak akan sama lagi.



**********



Dua hari berlalu dan orangtua Vernon akhirnya tiba di rumah sakit. Bibi Min Kyung langsung berdiri dan menyambut mereka sambil menangis. Wonwoo dengan sigap langsung mendekap Shin yang hendak berlari menyusul sang ibu, mengangkat anak itu ke pangkuannya dan mengajaknya bermain untuk mengalihkan perhatian.


Bibi Min Kyung tak bisa menghentikan air matanya yang bercucuran selama mengabarkan kondisi Vernon saat ini; sudah dipindahkan dari bangsal rawat intensif ke kamar pribadi, katanya sudah membaik walau tidak signifikan, tapi masih belum siuman dan ini sudah hampir empat hari.


Wonwoo tak kuasa lagi mencuri pandang, perasaannya saat ini sama perihnya dengan semua anggota keluarga Vernon. Ia mendekap Shin dan berusaha untuk membalas semua perkataan bocah itu dengan riang.


Tak lama kemudian, Bibi Min Kyung dan juga ibu Vernon duduk lemas di kursi tunggu sambil menyeka air mata masing-masing dengan sapu tangan. Sementara itu, ayah Vernon menoleh pada Wonwoo dan memerhatikan pria yang sedang pura-pura tidak diperhatikan itu dengan saksama, sebelum akhirnya melangkah menghampiri.


Ia duduk di sebelah Wonwoo, menawarkan minum dan mengakrabkan diri sebelum mulai bertanya tentang kronologis kejadian dan sebagainya. Ia juga menceritakan bagaimana Vernon berkeras untuk kuliah di DIMA walau tak mendapat izin, bagaimana Vernon sebenarnya sangat sulit untuk bersosialisasi dan membiarkannya tinggal di asrama adalah hal paling sulit.


Vernon tahu akan kekurangannya (takut pada orang-orang, takut pada dunia) dan mencoba untuk melawan. Ia berjuang melawan ketakutannya sendiri dengan tinggal jauh dari keluarga yang senantiasa melindunginya, dengan mendaftarkan diri dalam partai kampus, semata-mata supaya ia bisa lebih dewasa dan mandiri, supaya ia mendapat pengakuan dari orang-orang yang ia takuti, tapi justru beginilah balasan dari keberaniannya itu. Wonwoo paham betapa marah dan sedihnya orangtua Vernon saat ini, karena ia pun merasa demikian.


Wonwoo mencengkeram ujung kursi, mulai muak pada dirinya sendiri. Alasannya? Oh, banyak sekali. Ia muak karena tidak bisa seberani Vernon, ia muak karena senantiasa cari aman. Ia tahu apa yang terjadi, tapi masih saja memilih untuk tutup mata. Ya, Hyo Jin mungkin akan hancur saat tahu cowok kesayangannya adalah salah satu dalang dari kejadian ini. Ya, partainya pasti akan hancur, sebab membeberkan siapa pelakunya sama saja seperti membeberkan kebusukan partainya sendiri. Ya, DSP juga akan hancur. Ya, ya, banyak sekali kehancuran. Tapi… ia tak bisa diam saja.



**********



Segala hal punya prosesnya masing-masing. Begitu pun patah hati.


Pada malam pertama setelah L.Joe mencampakkannya, Hyo Jin masih berada dalam fase penolakan. Ia sampai ke kamarnya pukul dua pagi dan langsung meringkuk di balik selimut. Kepalanya kosong dan segalanya terasa tidak nyata. Apa ia benar-benar menemui L.Joe barusan? Ya. Mungkin. Bisa jadi. Apa itu hanya mimpi? Ya. Mungkin. Bisa jadi.


Kemudian, pukul tujuh pagi, saat matahari bergerak naik, Hyo Jin menemukan dirinya mulai menggigil. Tangannya gemetar kencang dan hatinya tersayat-sayat. Segalanya mulai nyata. Apa ia benar-benar menemui L.Joe semalam? YA, SIALAN! YA. ITU BUKAN MIMPI.


Hanya berselang setengah jam dari fase kedua, fase ketiga pun muncul. Yang terburuk dari yang terburuk. Air mata perlahan-lahan mengalir hingga membasahi bantalnya. Lalu lebih deras dan lebih deras lagi. Tenggorokannya terasa terbakar dan hatinya hancur lebur. Hyo Jin tak pernah menangis sebanyak itu sebelumnya. Untungnya Wendy sudah berangkat ke kampus saat fase itu terjadi. Jadi tak ada seorang pun yang melihatnya gemetar dan menangis sesenggukan seperti orang kesetanan.


Untuk berjam-jam berikutnya, hal yang Hyo Jin lakukan hanyalah bergelung di kasurnya bersama alunan lagu sedih (yang liriknya seakan-akan ditulis untuk dirinya seorang). Sengaja. Seolah membuat dirinya lebih tersiksa adalah ide bagus. Sekujur tubuhnya terasa nyeri sampai-sampai gadis itu berpikir ia akan mati. Apa ada orang yang mati karena patah hati?


Saat Wendy pulang, Hyo Jin masih di sana, di ranjangnya. Ia bisa mendengar suara lagu melalui earphone yang menyantol langsung di telinga Hyo Jin, terlalu keras, terlalu mengkhawatirkan. Wendy beberapa kali mencoba mengajak gadis itu bicara, namun diabaikan. Hingga ia akhirnya menyerah, Wendy berpikir mungkin anak itu butuh waktu sendiri. Jadi dibiarkanlah Hyo Jin begitu.


Saat tengah malam, saat dunia menjadi hening, Hyo Jin akhirnya melepas earphone-nya. Telinganya sakit dan berdengung. Ada rasa terbakar yang naik dari perut ke tenggorokan, serta lonjakan kesedihan yang meledak di kepalanya.


Kata orang, dengan menangis, perasaanmu akan terasa lebih lega. Hyo Jin penasaran berapa banyak air mata yang dikeluarkan orang-orang itu agar bisa merasa lega? Sebab dalam kasusnya, setelah menangis seharian penuh pun, perasaannya malah semakin memberat saja. Ia menangis tanpa henti sampai-sampai kehabisan air mata.


Saat Hyo Jin memutuskan untuk berhenti berpikir, ia menoleh ke luar jendela dan melihat daun-daun kering yang berguguran. Seketika itu juga kepalanya mengasosiasikan daun-daun itu sebagai masa depannya—masa depan mereka, yang sudah terencana kelewat baik; menyewa apartemen kecil di kota Incheon, bekerja untuk teater kota, L.Joe akan mengaransemen lagu dan Hyo Jin akan tampil di panggung sebagai pelakonnya, menabung untuk membeli rumah di dekat pantai, bahagia selamanya—yang kelak tak akan terjadi.


Hyo Jin bergelung di balik selimut dan mendengar napasnya bergema. Air matanya masih tak bisa keluar. Tak memiliki air mata saat kau sedang sangat membutuhkannya terasa luar biasa menyakitkan. Hyo Jin merasa hancur. Dan ia harap L.Joe juga sehancur dirinya.


Keesokan paginya, Hyo Jin yang sedang mendengarkan musik keras-keras di balik selimut merasakan badannya diguncang. Ia menoleh sedikit dan menemukan Wendy di ujung ranjang. Ia melepas sebelah earphone-nya dengan ekspresi ketus, seolah bertanya ‘apa maumu?’.


“Ayo makan denganku,” ajak Wendy. Hyo Jin langsung memasang earphone-nya lagi.
“Hyo! Hentikan! Sampai kapan kau akan begini?”
“Kau pergi saja. Aku sedang ingin sendiri.”
“Aku sudah memberimu waktu untuk sendiri.”
“Aku butuh lebih banyak waktu.”
“Tidak. Kau tidak butuh waktu, kau butuh makanan. Serius, apa saja yang kau makan tiga hari ini? Aku tidak pernah melihatmu bergerak dari tempat tidurmu.”


Hyo Jin mengabaikannya. Tangannya menekan-nekan tombol volume menjadi lebih keras.


Wendy habis kesabaran. Ia menarik kabel earphone Hyo Jin dan melemparnya ke lantai.


Hyo Jin langsung terlonjak duduk. Matanya membelalak, “Kau pikir siapa dirimu hingga berani mencampuri urusanku!?”


“Aku temanmu!”
“Bukan,” sangkal Hyo Jin. “Sejak kapan? Hanya karena kita sekamar bukan berarti kita berteman. Bukankah kau selalu menghindariku dari dulu?”


“Maafkan aku, itu karena Changjo. Karena kau bergabung dengan DSP, dia berpikir…”
“Dia benar,” tukas Hyo Jin. “Aku memang hanya mau memanfaatkanmu untuk kepentingan partai. Sekarang pergilah dan jangan ganggu aku!”


“Hyo, aku tak peduli lagi dengan urusan partai. Aku tak mau teman sekamarku mati konyol karena cowok temperamen yang tidak ada bagus-bagusnya. Lagian apa yang membuatmu berpikir ini benar-benar yang terakhir? Kalian sudah biasa putus dan pada akhirnya selalu baikan.”


“Yang ini tidak akan baikan!”
“Jangan berlebihan! Aku pernah patah hati, semua orang pernah patah hati. Ayolah, kau bisa melalui ini lebih baik.”


“Ya. Benar. Jadi apa yang harus kukatakan sekarang, Wen? Maaf karena merasa sedih? Maaf karena aku tak bisa melalui ini sehebat dirimu? Oh, bagimu cowok itu tak ada bagus-bagusnya, tapi bagiku dia segalanya. Aku tak pernah memintamu untuk mengerti, cukup jangan ganggu aku! Ya, aku memang berlebihan, lalu kau mau apa?”


“Bukan itu maksudku! Aku mengerti kau sedih, tapi ini sudah tiga hari!”
“Memangnya rasa sedih ada jangka waktunya? Dengar, aku akan sedih seumur hidup dan itu bukan urusanmu! Bisakah kau diam dan urus dirimu sendiri?!”


“Kenapa kau melampiaskan kemarahanmu padaku?!”
“Kubilang pergi!!”
“Tidak,” balas Wendy tegas, “kecuali kau ikut denganku. Kau.Harus.Makan.”
“Persetan. Aku tidak akan beranjak secenti pun dari sini.”
“Kau akan beranjak dari sana.”
“Coba saja!”


Hyo Jin kembali ke posisi tidurnya, menarik selimut dan menahannya kuat-kuat. Wendy menggeram. Ia masuk ke dalam kamar mandi dan kembali dengan segayung air.


Byurrrrrr


“WEENNN!!!!” Hyo Jin terlonjak duduk. Ia mengangkat kedua tangannya dan membuka mulutnya tak percaya.


“Sialan. Kau benar-benar….”
“Kau masih mau tidur di kasur basahmu, huh? Ikut denganku!”



**********



Bukannya ke kantin asrama, Wendy malah membawanya ke kantin kampus. Hyo Jin ketar-ketir membayangkan kemungkinan berpapasan dengan L.Joe, atau tak sengaja mendengar namanya disebut, atau bahkan sekadar melihat teman sekamarnya (Jeongmin) dari kejauhan. Di saat seperti ini, otaknya sama sekali tak bisa berpikir logis. Langit senantiasa berwarna pastel dan semua benda yang ia lihat tiba-tiba berhubungan dengan L.Joe. Dia melihat seorang pria yang lengan kemejanya digulung dan langsung teringat akan L.Joe—yang juga biasa menggulung lengan kemejanya. Ia melihat es limun dan teringat mereka selalu memesan minuman itu, taruhan soal ganjil genap jumlah bijinya, lalu menghitungnya seperti orang bodoh. Ia merasakan udara dan tiba-tiba teringat L.Joe juga bernapas dengan udara. Ya Tuhan.


Wendy mendorong pintu kantin dan seketika bau makanan serta riuh suara manusia menyambut mereka. Hyo Jin yang sudah mengisolasi diri selama tiga hari merasa sangat asing melihat makhluk hidup lain selain Wendy.


“Wen, tunggu!” Hyo Jin menangkap tangan teman sekamarnya itu sebelum mereka masuk lebih jauh.
“Ada apa?”
“Tolong jangan katakan pada siapa pun,” katanya, “soal Wonwoo. Soal betapa murahannya aku.”
“Jangan bilang begitu!”
“Please.”
“Aku tidak akan bilang pada siapa pun. Justru kau yang harus hati-hati.”
“Aku?”
“Kau sangat mudah bercerita.” Wendy tersenyum sambil menyikutnya pelan. “Aku bertaruh sebentar lagi kau akan menceritakan semua itu pada Changjo.”


“Changjo?”
“Ya. Dia sudah menunggu kita.”
“M-menunggu? Tapi dia tak suka padaku.”
“Dia tak suka semua orang,” ralat Wendy. “Santai saja, ada aku.”


Saat mereka tiba, Changjo tengah duduk sendirian sambil bermain game di ponsel. Wendy memegang bahu Hyo Jin dan mendudukkannya tepat di hadapan Changjo, kemudian dirinya sendiri berjalan memutari meja dan duduk di sebelah pria itu.


“Aku melewati levelmu, Wen,” seru Changjo antusias, tanpa sedikit pun mengalihkan mata dari layar. Wendy menarik ponsel itu dan membuat Changjo berteriak panjang. Namun teriakannya terhenti saat matanya bertemu mata Hyo Jin.


Hyo Jin mengangguk dan tersenyum tegang sebagai sapaan.


Changjo tidak membalas senyum itu dan langsung menoleh pada Wendy.


“A-aku akan pindah jika kau….”
“Tidak, tidak, tidak apa-apa,” cegah Changjo. “Kau sudah baikan?”


Hyo Jin terkejut mendengar pertanyaan itu dan praktis melotot pada Wendy, menuntut penjelasan. Apa saja yang sudah kau ceritakan pada pria ini?, katanya lewat tatapan mata.


Wendy tersenyum meringis. “A-aku akan ambil makanan untuk kita bertiga,” katanya seraya berdiri, kemudian bergegas pergi begitu saja, jelas-jelas menghindar.


Hyo Jin mendecak, lantas melempar pertanyaannya langsung pada Changjo. “Apa saja yang sudah dia ceritakan padamu?”


“Dia hanya bilang kau sedang sedih karena putus dari pacarmu—siapa namanya? Lojo?”
“L.Joe.”
“Yeah, L.Joe. Dia memintaku untuk bersikap baik,” kata Changjo sambil memutar mata. Tak terima dengan permintaan konyol begitu. Memangnya kapan aku tidak bersikap baik?


Kau tak perlu bersikap baik, aku tahu itu pasti sangat sulit bagimu. Jadilah dirimu sendiri. Lagian, aku baik-baik saja. Wendy benar, aku berlebihan. Tidak seharusnya aku sedih hanya karena cowok yang tidak ada bagus-bagusnya, iya, kan?”


“Wendy bilang begitu?”
“Bilang apa? Berlebihan? Ya. Dan aku setuju.”
“Dia salah,” tukas Changjo. “Kau berhak sedih. Kau berhak merasakan apa pun yang kau rasakan sekarang. Semua orang punya toleransi rasa sakitnya masing-masing. Jangan dengarkan dia! Wendy tidak mengenal L.Joe sebagaimana kau mengenalnya. Wendy tidak melalui dua tahun bersama L.Joe sebagaimana kau melaluinya. Dia tak punya kenangan yang sama dengan yang kau punya. Perasaanmu milikmu. Jadi, atas nama Wendy, aku minta maaf untuk itu,” ujar Changjo begitu bijaknya. “Tapi aku tahu maksud anak itu baik. Dia meneleponku berkali-kali semalam, dengan cemas bertanya apa yang harus dia lakukan karena kau tak berhenti menangis sejak kemarin lusa. Percayalah, dia benar-benar khawatir.”


Hyo Jin terenyuh. Ia benar-benar tidak enak sudah membentak Wendy pagi ini.


Setelah diam selama beberapa saat, Hyo Jin kembali menatap Changjo. “Menurutmu begitu?”


“Apanya?”
“Aku tidak berlebihan?”
Well, semua orang punya caranya sendiri untuk sembuh.”
“Sembuh? Aku tidak yakin aku bisa sembuh.”
“Klise,” dengus Changjo. “Itu yang dikatakan semua orang saat sakit hati.”
“Tapi bagaimana jika itu benar? Bagaimana jika ternyata lima tahun ke depan aku masih merasakan jantungku diremas tiap kali mengingat namanya?”


“Kau harus periksakan jantungmu ke dokter.”


Hyo Jin menggeram mendengar jawaban bodoh itu.


“Aku bercanda,” kata Changjo. “Tapi aku tak tahu, dan nyatanya kau sendiri pun tak tahu. Kau bisa bicara begitu hanya karena segalanya masih sangat menyakitkan sekarang. Tak ada yang kekal, Hyo. Tak ada sama sekali, termasuk rasa sakitmu itu.”


“Ya, tapi…” Hyo Jin mengusap wajah dengan gelisah. “Entahlah. Aku masih berharap sesuatu mengetuk kepalanya dengan sangat keras sampai dia berubah pikiran. Aku benar-benar ingin dia menyesal dan kembali padaku.”


“Kalau begitu, kau harus memberinya waktu. Setidaknya tiga hari. Tunggu tiga hari, tanpa pesan, tanpa telepon, tanpa apa pun. Lalu lihatlah apa dia kembali.”


“Ini sudah hari ketiga dan dia tak menemuiku.”
“Ini masih pagi.”
“Aku tahu. Tapi bagaimana jika dia…. tidak datang?”
“Lalu kenapa kau mau bersama dengan orang yang tidak menginginkanmu? Mengapa kau menginginkan cowok seperti itu?”


“Kau tak mengerti masalahnya. Ini salahku. Akhir-akhir ini aku dekat dengan cowok lain. Apa Wendy cerita juga soal itu?”


Changjo menggeleng.


“Aku tak bisa bercerita banyak padamu. Yang pasti, malam itu aku ke asrama pria dan minta maaf pada L.Joe.”


“Minta maaf karena kau selingkuh?” Changjo bertanya dengan nada tak percaya.
“Yeah, aku tahu aku bodoh. Tapi itu benar-benar tidak nyaman, rasanya seperti menyimpan dosa besar dan aku bisa gila jika tidak jujur padanya.”


“Oke, itu logika berpikirmu,” kata Changjo dengan ekspresi aneh.
“Jadi kau ingin aku berpura-pura tak ada yang salah setelah mencium Wonwoo?”
“Wonwoo?”
“Oh, sial.” Hyo Jin menepuk mulutnya.
“T-tunggu, cowok itu, maksudmu, Wonwoo?”


Hyo Jin tak menjawab, tapi itu juga merupakan jawaban.


“Apa Wendy tahu soal ini?”
“Dia yang pertama tahu,” bisik Hyo Jin. “Aku menceritakan semuanya saat berjalan ke sini.”


Changjo bisa merasakan hatinya mencelos. Walaupun tak pernah berkata terus-terang tentang perasaannya, tapi Changjo seratus persen yakin bahwa Wendy menyukai Wonwoo. Dan pria itu benar-benar tak mengerti kenapa Wendy menyuruhnya menghibur Hyo Jin padahal dirinya sendiri juga sedang patah hati?


Changjo melongok dan melihat Wendy di antrean terdepan, sedang meletakkan kotak susu di masing-masing nampan. Ia memerhatikan Wendy selama beberapa saat sambil mendecak dan menggeleng seolah gadis itu sangat bodoh.


“Aku akan membantu Wendy,” kata Hyo Jin tiba-tiba.


Sebelum gadis itu sempat berdiri, Changjo meraih lengannya. “Ada yang mau kutanyakan.”


“Ada apa?”
“Kau menyukai Wonwoo?”
“Aku..tidak… mau menyukainya.”
“Tapi kau suka?”


Hyo Jin menelan ludah, kemudian mengangguk amat tipis.


“Lalu bagaimana hubungan kalian sekarang?”


Gadis itu tak langsung menjawab. Ia menekan buku-buku jarinya beberapa kali sebelum memberikan jawaban setengah yakin. “Kami sadar apa yang kami lakukan adalah salah dan memutuskan untuk mengakhirinya.”


“Apa maksudnya itu?”
“Aku tidak tahu.”
“Kau tak bisa mendapatkan keduanya sekaligus.”
“Aku tahu.”



**********


Saat Wendy kembali, Changjo dan Hyo Jin terlihat sudah sangat akrab. Mereka tengah tertawa terbahak-bahak membahas sesuatu.


“Kau tak akan percaya, Wen!” seru Changjo. “Kita sama-sama dari Chuncheon.”
“Oh, benarkah?” tanya Wendy seraya meletakkan nampan besarnya—yang berisi tiga buah nampan makan kecil yang dipenuhi menu sarapan komplit—di tengah-tengah mereka.


“Aku baru tahu Hyo Jin dari Chuncheon,” tambah Wendy seraya duduk.
“Ya. Dan bukan itu saja! Kita ternyata satu SD!” Hyo Jin nyaris menggebrak meja karena terlalu antusias.


Wendy refleks menoleh pada Changjo dengan mata terbelalak. “Yang benar? Bagaimana bisa kalian tidak mengenali muka satu sama lain?”


“Aku sungguh tak mengingat anak ini,” kata Changjo menunjuk Hyo Jin.
“Aku juga tidak mungkin mengingatmu jika kau tak bilang duluan, kau sangat sangat berbeda,” sergah sang gadis, kemudian bicara pada Wendy dengan penuh semangat. “Seingatku namanya bukan Changjo, tapi Jonghyun. Dia sudah sok tahu sejak SD. Dia ketua kelas dan pipinya sebesar ini.”


“Yah! Tidak sebesar itu,” protes Changjo.
“Maaf. Maksudku sebesar ini.” Hyo Jin membuat jarak antara tangan dan pipinya lebih lebar lagi. Changjo menarik napas dan terlihat sudah siap untuk mengajaknya adu panco.


“Oh, begitu,” Wendy berkomentar. “Pantas saja kau tak pernah memperlihatkanku foto masa kecilmu.”
“Dia seperti babi,” celetuk Hyo Jin. Wendy yang sudah memasukkan sesumpit nasi ke dalam mulut hampir menyemburkannya lagi. Mereka tertawa sangat geli sampai suaranya tak terdengar.


“Yah Park Hyo Jin! Jangan sampai aku membongkar masa kecilmu!” ancam Changjo dengan kilat mata berbahaya.


“Katanya tidak ingat?” balas Hyo Jin cuek.
“Kau cewek aneh berambut cepak itu, kan? Yang kalau ke sekolah mukanya cemong?”
“Huh? Kapan aku cepak? Cemong?”
“Eyy, kau mengingatku dengan sangat baik tapi melupakan dirimu sendiri?” Changjo mengeluarkan seringai menyebalkan, kemudian menoleh pada Wendy. “Tidak sepertiku, dia tidak terlalu menonjol saat SD, jadi wajar jika susah diingat,” tambahnya sok penting.


“Aku sudah secantik dewi saat SD,” bela Hyo Jin.
“Dewi celepuk?”
“Yah! Aku sungguh tak tahu siapa yang kau bicarakan!”


Changjo merobek ujung kotak susunya sambil cekikikan. Sementara Hyo Jin terus membela diri dengan heboh; dia bersumpah rambutnya tak pernah lebih pendek dari bahu, ia juga bersumpah tak pernah pakai bedak waktu SD. Wendy tak tahu siapa yang harus ia percayai, tapi membayangkannya saja sudah membuat gadis itu tertawa sampai menangis.


Hyo Jin yang tadi pucat pasi kini terlihat berseri-seri, dan Wendy merasa amat lega melihatnya begitu. Membawa Hyo Jin menemui Changjo adalah ide yang cemerlang. Walaupun menyebalkan, Changjo yang memandu sesi curhat di radio setiap Selasa sore itu memang selalu tahu apa yang harus dikatakan, dia piawai memberi nasihat mulai dari yang sangat bijak sampai yang sangat bodoh, dia selalu berhasil membuat semua orang tertawa atau paling tidak berdebat dengannya—dan berdebat lebih baik dari bersedih, ya, kan?


Selepas makan, mereka hanya berbincang-bincang santai sembari menunggu kelas. Perbincangan mereka mengalir seperti air sampai-sampai waktu terlewat begitu saja. Hyo Jin bahkan lupa ia sudah menangis sejak kemarin lusa dan terus tertawa seperti tak punya masalah.


Sampai akhirnya… Wendy tiba-tiba berhenti tertawa, ekspresi mukanya pun berubah dingin. “Mau apa dia lihat-lihat ke sini,” desisnya.


Hyo Jin refleks menoleh mengikuti arah pandang Wendy dan seketika itu juga jantungnya serasa diremas lagi. L.Joe tengah berdiri di samping salah satu meja di dekat pintu keluar, ia menunjuk Hyo Jin dan lewat bahasa isyarat memintanya bicara empat mata di luar.


“Itu yang namanya L.Joe?” tanya Changjo penasaran. Hyo Jin mengangguk.
“Nah, kubilang apa!” Changjo menjentikkan jari ke mukanya. “Kau hanya terlalu cemas. Lihat, kan? Dia datang! Itu artinya dia menyesal dan masih menginginkanmu.”


“Tidak,” tolak Wendy keras. “Jangan terima dia lagi!”
“Tidak, Hyo. Jangan dengarkan dia! Dengarkan dirimu sendiri! Kalau kalian masih saling sayang kenapa tidak dipertahankan?”


“Kau tak mengerti. Makhluk itu benar-benar berengsek.”
“Logikanya, cowok mana yang tidak marah kalau pacarnya selingkuh?”
“Hyo Jin sudah bicara jujur dan meminta maaf. Menurutku itu tindakan yang berani. Harusnya dia hargai sedikit kejujuran Hyo Jin, kan? Kalau dia yang ada di posisi Hyo Jin, aku berani bertaruh si bajingan itu tak akan berani bicara. Lagian, mana ada cowok yang bilang pacarnya sampah?”


“Dia bilang begitu?” Changjo terperangah.
“Dia bahkan meninggalkan Hyo Jin sendirian di kantin asrama cowok jam satu pagi! Kalau bukan berengsek, maka apa namanya? Anak itu sama sekali tak bisa memilah sikap, alih-alih mengatur emosi, dan Hyo Jin berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik.”


Changjo tak berkutik. Ia menoleh pada Hyo Jin dan mengangkat bahu, “Pilihan ada padamu.”


“Tidak,” tukas Wendy lagi, amat geram hingga nyaris mendorong meja. Ia benar-benar ingin menyumpal mulut Changjo dengan sesuatu. Bangku, andai muat. “Please. Kalau kalian jadian lagi, aku akan mencari teman sekamar lain. Dengarkan aku, hubungan itu seperti gelas kaca. Kalau sudah ada bagian yang pecah ya dibuang, kalau kau memaksa untuk minum dengan gelas pecah itu, kau akan berdarah.”


“Kau bisa minum lewat bagian di seberangnya, kau tahu, sisi yang tidak pecah,” cetus Changjo.
“Diam kau!” bentak Wendy galak. “Kurobek mulutmu!”


Wendy kembali mengalihkan pandangannya pada Hyo Jin dan berusaha bicara dengan lembut, “Aku tahu kalian sudah bersama selama dua tahun. Aku tahu dia sudah menjadi rutinitas harianmu. Aku tahu sesuatu pasti terasa hilang darimu saat ini, tapi.. apa kau mau menghabiskan sisa hidupmu bersama seseorang yang bisa begitu mudahnya membuatmu merasa tak berharga? Seseorang yang dengan mudahnya berkata ‘kita putus’ setiap kali ada masalah?”


“Kau tahu kenapa dia bisa bicara begitu?” Wendy tak menunggu Hyo Jin menjawab. “Itu karena dia tahu apa pun yang terjadi kau akan selalu menerimanya. Dia tahu kau selalu ada, dia tahu dia tak akan kehilanganmu dan semua itu membuatnya berada di atas angin. Kau tak ingin membuatnya menyesal sedikit, huh?”


“Mungkin, jika kau lebih sulit digapai kali ini, dia bisa berubah dan tidak semena-mena lagi.”
“Tapi, sekalipun dia berubah, jika kau kembali padanya lagi, kau sudah tahu akhirnya akan bagaimana, maksudku….” Wendy mengangkat bahu. “…akhirnya akan sama, kan? Temperamen bukan sesuatu yang bisa diubah. Itu permanen.”


Pada akhirnya Changjo ikut mengangguk setuju, namun Hyo Jin masih terlihat belum bisa menentukan pilihan. Ia menatap Wendy dan Changjo bergantian, lantas berdiri.


Please, pikirkan kata-kataku sebelum kau membuka mulut.”



**********



Setelah Hyo Jin meninggalkan meja mereka, Wendy malah menjadi semakin gelisah.


“Aku sudah tidak menyukai L.Joe semenjak mereka bertengkar di depan kamar asrama kami. Perkataannya benar-benar kasar dan walaupun tidak ditujukan padaku, aku tetap saja sakit hati dan ketakutan—aku sampai tak berani keluar kamar, sungguh. Aku tak mengerti apa yang dilihat Hyo Jin dari cowok itu sampai begitu menyukainya.”


Wendy mendengus keras, kemudian mencari-cari sesuatu yang masih bisa dijejalkan ke dalam mulutnya, “Apa kau akan memakan kue tar itu?”


Changjo menggeleng, lantas menyodorkan jatah kuenya kepada Wendy.


Dengan garpu plastik, Wendy menusuk kue itu di tengah-tengah dan memasukkan sepotong besar ke dalam mulutnya. Ekspresi kesalnya baru melunak begitu rasa manis karamel meleleh di lidahnya.


Changjo hampir-hampir tertawa. Ia mengambil botol air mineral dari dalam tas dan meletakkannya di sebelah kue tar miliknya—yang sekarang jadi milik Wendy. “Sudah selesai marahnya?” tanya Changjo, seperempat tulus, tiga per empat meledek.


Sorry,” kata Wendy pelan, seraya membuka tutup botol. “Aku hanya tak mengerti dengan jalan pikiran Hyo Jin. Dalam kasus ini, bukan hanya mereka berdua yang terluka, kan? Apa mereka melupakan….”


“Wonwoo?” sela Changjo.
“Tentu saja dia cerita padamu.” Wendy meneguk airnya.


Changjo menyangga kepalanya dengan tangan kiri dan mengangguk mengiyakan pernyataan Wendy.


“Kau memikirkan terlalu banyak orang, Wen,” komentarnya. “Bisakah kau berhenti mengurus orang lain? Maksudku, lihat dirimu! Mengurus diri sendiri saja belum benar.”


“Apa maksudmu?”
“Cokelatnya belepotan di mukamu.”
“Mana?” Wendy mengusap mulutnya.
“Di jidat.”
“Jidat?” ulang Wendy kaget, seraya menggosok-gosok keningnya dengan punggung tangan.


Changjo praktis cekikikan, dan akhirnya Wendy sadar siapa yang baru saja dia percayai.


“Yah!” serunya, kemudian ikut geli sendiri mengingat betapa bodohnya dia.
“Kau tahu, aku pengagum berat perempuan yang bisa tersenyum walau hatinya sedang sakit.”
“Kau masih berpikir aku menyukai Wonwoo?”


Changjo memutar mata. Ia tahu Wendy tak akan mau jujur padanya soal itu. Dan ia tak akan memaksa.


“Ayo bolos hari ini! Kita jalan-jalan.”
“Ke mana?”
“Ada toko ramen yang baru buka di dekat stasiun. Katanya ownernya cantik.”
“Kau mau beli ramen atau beli ownernya?” Bibir Wendy meliuk menjadi cibiran.


Changjo hanya cengar-cengir, “Jadi bagaimana?”


Wendy menyendok kue tarnya lagi sembari berpikir.


“Kita bisa mampir di McDonald. Kau mau mencoba es krim rasa baru itu, kan?” tambah Changjo. Dan tawaran kali ini sukses membuat Wendy mengangguk tanpa berpikir.


“Jadi, kapan kita pergi?”



**********



Langkah Hyo Jin terasa sangat berat seolah-olah kakinya berubah menjadi timah. Semakin dekat jaraknya dengan L.Joe, semakin gelisahlah dia.


Setelah Hyo Jin hampir sampai, L.Joe berbalik dan menggiringnya keluar kafetaria. Mereka berbelok menuju lorong di samping kantin dan akhirnya berdiri berhadapan.


Hyo Jin cuma melirik L.Joe sedikit-sedikit. Ia tak mampu menatap pria itu lama-lama karena terlalu gugup.


“Pertama-tama,” L.Joe terlihat seperti hendak berpidato panjang dan Hyo Jin amat gugup sampai mau muntah, “aku ingin minta maaf karena sikapku malam itu. Aku terlalu emosi sampai-sampai meninggalkanmu begitu saja di kafetaria.”


Sebagian dari Hyo Jin ingin langsung berkata ‘tidak apa-apa’ karena dia adalah L.Joe, tapi sebagian yang lain ingin memaki dan menggocoh wajahnya dengan sangat keras karena alasan yang sama.


Kenapa begitu mudahnya? Membentak seseorang kemudian minta maaf keesokan harinya. Dimaafkan dan diulangi lagi. Sampai kapan mau begini?


“Dan maaf tak bisa menemuimu lebih cepat dari ini. Sebenarnya, aku ke sini karena ingin mengakui sesuatu.”


Hyo Jin langsung melatih berkata ‘tidak’ di dalam kepala kalau-kalau L.Joe mengajaknya balikan lagi. Bagaimana pun, ucapan Wendy tadi ada benarnya.


Namun perkataan L.Joe selanjutnya sungguh di luar dugaan.


“Aku berpikir kau harus jadi orang pertama yang tahu, mengingat betapa dekatnya kita beberapa tahun ini,” katanya, kemudian menarik napas berat. “Kau tahu soal Vernon, kan?”


Hyo Jin merasa semakin mual. Ia mulai bisa menerka ke mana arah pembicaraan ini.


“Sebenarnya, aku dan beberapa anak DSP yang….. melakukannya.”


Hyo Jin terdiam.


“Awalnya hanya mau menggertak. Kami benar-benar tak menyangka akan sejauh ini. Tapi tenang saja, hari ini aku akan mengaku.”


Hyo Jin cuma bisa memandangi L.Joe. Ia kehabisan kata. Pria itu terlihat sangat stres sampai kantung matanya punya kantung mata.


“Maaf sudah mengecewakanmu, Hyo. Tapi aku tidak menyesal hubungan kita berakhir, aku tak mau kau menanggung malu karena punya pacar seorang penjahat sepertiku.”


“Entahlah, mungkin aku akan dibawa ke kantor polisi setelah ini.”


L.Joe mengulurkan tangannya untuk membelai pipi Hyo Jin.


“Terima kasih sudah jujur padaku. Kuharap kita tetap bisa berteman baik setelah ini.”



**********



Selang dua jam sejak percakapan itu, DIMA gempar bukan main. Mobil polisi keluar-masuk area rektorat sampai sepuluh kali. Seperti yang L.Joe bilang, ia (beserta gerombolannya) dibawa ke kantor polisi.


Semua orang membicarakan betapa tidak percayanya mereka dan menyesalkan kejadian ini. Beberapa orang yang sebelumnya tidak mengenal Hyo Jin tiba-tiba merangkulnya sok akrab hanya demi mendengar apa yang terjadi—atau apalah yang bisa dijadikan bahan gosip.


Oleh sebab itu, segera setelah kelasnya selesai, Hyo Jin langsung pulang ke asramanya dan menonaktifkan ponsel. Apa yang harus ia katakan pada orang-orang? Dirinya sendiri pun tak menyangka. Hanya karena ia mengetahui hal ini dua jam lebih awal dari mereka, bukan berarti ia tahu segalanya.


Di lain tempat, tepatnya di bangsal rawat Vernon di rumah sakit, ada kegemparan yang tak kalah hebat. Vernon siuman. Keluarga sudah diperbolehkan menjenguk satu per satu walau dalam waktu terbatas. Bibi Min Kyung, ayah serta ibu Vernon masuk bergantian. Masing-masing tak sampai sepuluh menit.


Selagi menunggu gilirannya tiba, Wonwoo berjalan ke kantin untuk membeli minuman bagi mereka semua. Saat di dalam lift, ia baru teringat bahwa kabar bahagia ini harus disebarkan ke anak-anak DIMA, lantas segera mengeluarkan ponselnya.


Wonwoo berniat memberitahukan kondisi Vernon di grup angkatan saat melihat betapa banyaknya pesan tak terbaca di sana—padahal ia baru membuka aplikasi pesan tersebut tiga jam yang lalu. Begitu dibuka, nama Zio, L.Joe bahkan Hoshi dan Mino mewarnai pembicaraan semua anak.


“Dia mengaku?” gumam Wonwoo, terkejut namun juga lega di saat yang sama. “Syukurlah anak itu ternyata tak sepengecut yang kukira.”


Sekembalinya ke ruang tunggu, bibi Min Kyung langsung menyuruhnya masuk dengan wajah berseri-seri. “Wonwoo, kau ke mana saja? Giliranmu yang masuk. Ajak dia bicara, ya! Tadi sih sudah bisa merespon walau cuma bergerak sedikit.”


Wonwoo memberikan bungkusan di tangannya pada bibi Min Kyung, kemudian pelan-pelan mendorong pintunya.


Ruangan itu gelap dan dingin, berbau seperti obat dan memiliki aura tak bersahabat. Vernon berbaring tak berdaya di ranjangnya bersama tabung oksigen. Wonwoo ragu-ragu melangkah semakin dekat dan duduk di kursi plastik di samping tempat tidur.


“Hei,” bisik Wonwoo. “Jujur aku tak terkejut kau siuman. Aku tahu kau tidak lemah.”
“Bagaimana rasanya koma, huh?”


Vernon sudah sadar, dia bisa mendengar semua orang mengoceh di sebelahnya dan diam-diam tersenyum di balik masker oksigennya.


“Ada banyak sekali yang ingin kuceritakan padamu, tapi tak mau sekarang. Tak enak rasanya bicara tanpa direspon.”


“Jadi cepatlah sembuh!”
“Sebagai teman yang baik, aku akan memberikan spoiler tentang apa yang mau kubicarakan,” kata Wonwoo, sementara Vernon mulai gelisah di ranjangnya. Ia mau mendengar segalanya sekarang, tapi sekujur tubuhnya tak mau menurut. Badannya sakit dan nyeri, dan tak ada yang bisa digerakkan selain sudut bibir dan jari-jari.


“Semua anak berengsek yang membullymu sudah ada di kantor polisi,” kata Wonwoo, memberikan spoiler seperti yang ia janjikan. “Salah satu dari mereka mengaku sudah memukul kepalamu kepada Rektor. Gila, ya! Dari mana dia mendapat keberanian untuk bicara begitu? Apa kau menghantuinya selagi koma?”


“Dan, coba tebak siapa yang habis mencium Park Hyo Jin?”



*********



Hoshi benar-benar sakit kepala. Semua orang membuat gosip mengenai partainya seenak jidat. Reputasi DSP anjlok drastis, kepercayaan yang sudah susah payah dibangun lenyap begitu saja.


Sebenarnya, bukan hanya DSP saja yang kehilangan reputasi. Hal yang sama pun terjadi pada partai merah. Mino dicerca habis-habisan karena kelicikannya—menyelundupkan Vernon ke DSP. Sementara Hoshi dicerca karena anggotanya yang barbar. Intinya, partai kampus tahun ini sudah hancur berantakan. Tak ada satu pihak pun yang bisa dipercaya.


Meskipun begitu, Hoshi tak akan melempar tanggung jawabnya begitu saja. Ya, dia memang tak tahu menahu kalau Vernon merupakan mata-mata, dia juga tak tahu menahu kalau beberapa anggotanya tengah mencoba memecahkan misteri itu di belakangnya, tapi… mereka semua tetaplah anggotanya, dan mau tak mau, suka tak suka, sebagai pemimpin Hoshi tetap harus bertanggung jawab. Hoshi berpikir ini memang kelalaiannya, dia terlalu fokus pada hal-hal eksternal (perolehan suara dan pemilihan) sampai-sampai tak menyadari ada masalah serius di internal partai.


Pengumuman rektor mengenai pembekuan sementara kegiatan partai ditempel dan diumumkan lewat speaker di seluruh penjuru DIMA. Tak ada satu pun mahasiswa yang diperbolehkan berkeliaran dengan atribut merah atau birunya. Baik Hoshi maupun Mino sudah terlanjur pasrah dengan sanksi yang akan diberikan. Pembubaran adalah kemungkinan terburuk. Pemilihan ketua senat yang seharusnya digelar tepat pada hari terakhir UAS sepertinya tak akan terlaksana.


Di ruang kelas studio perancangan, Hoshi diam-diam membuat forum kecil berisi anggota DSP. Semua orang di dalam ruangan itu tertunduk lesu, mereka semua kena imbasnya. Hyo Jin bersandar di dekat pintu, sementara Nana berdiri di sebelahnya. Perempuan berkaki jenjang itu sudah sepuluh kali bertanya ‘Apakah L.Joe benar-benar tidak memberitahumu sebelum ini?’ dan Hyo Jin sudah menjawab ‘Tidak’ dalam jumlah yang sama. Tapi Nana tetap saja terlihat tidak percaya. Menurutnya, L.Joe tidak akan mampu merahasiakan apa pun dari Hyo Jin. Saat Nana sudah membuka mulut untuk bertanya lagi, Hyo Jin buru-buru menggeleng.


“Aku sedang tidak ingin membicarakannya sekarang.”
“Kalian benar-benar putus gara-gara ini, ya?”
“Bukan karena ini.”
“Yang benar?” Nana membuat ekspresi itu lagi—skeptis, tak percaya, seolah sedang menuduhnya berbohong. Hyo Jin menghela napas.


Suara Hoshi yang sedang meminta maaf terdengar dari arah depan. Hyo Jin mengirimkan tatapan ‘lebih-baik-kita-dengarkan-Hoshi’ dengan wajah serius. Nana mendecak tak senang, namun tetap menurut.


“Tolong, ini pelajaran untuk kita semua. Jika ada apa-apa, please beri tahu ketuamu dulu. Jangan sok bisa menyelesaikan segalanya sendiri, apalagi dengan kekerasan. Kalau sudah begini, apa yang bisa kita perbuat? Nama politik kampus di DIMA sudah terlanjur jelek, dan kebenciannya pun tidak pandang buluh. Tak peduli jika berbulan-bulan ini kita berpolitik dengan jujur, jari tengah tetap akan diacungkan semua orang di depan muka kita—yeah, terima kasih pada segelintir orang yang tidak bertanggung jawab itu. Jujur saja aku tak pernah sekecewa ini seumur hidup. Selangkah lagi kita akan menang.”


Hoshi tak memakai ikat kepala birunya, rambut blondenya jatuh di kening, acak-acakan menutupi wajahnya yang kuyu. Hoshi lebih dari sekadar kecewa. Ia mencurahkan segala tenaga dan pikirannya untuk partai dan beginilah hasil yang ia dapat. Betapa tidak adilnya.


“Forum kututup. Terima kasih sudah mengorbankan malam-malam kalian untuk rapat harian selama dua bulan ini. Tidak ada yang sia-sia, seandainya besok atau lusa rektor mengumumkan pembubaran partai, setidaknya kita sudah belajar banyak di sini, iya, kan? Kita belajar apa itu kerja sama dan tanggung jawab.”


Hoshi mengusap wajahnya sebelum mengangkat kepala dan memaksakan senyum.


“Terima kasih sudah hadir hari ini. Kegiatan partai resmi kuhentikan sampai pengumuman selanjutnya. Kalian boleh bubar.”



**********



Seumur hidup, Wonwoo tak pernah dijamu dengan makanan sebanyak ini, terlebih di dalam rumah sakit. Bangsal rawat Vernon yang tadinya berbau obat sekarang malah tak ubahnya food court. Kardus-kardus makanan cepat saji bertumpuk-tumpuk di pinggir ranjang, sementara seseorang yang seharusnya berbaring di sana malah duduk di sofa sambil memakan burger ketiganya.


Menurut Vernon, makanan rumah sakit tidak ada rasanya dan dia mengeluh tidak akan bisa sembuh jika diberi makanan seperti itu. Kemudian orangtua Vernon yang kaya raya dan mencintai anak tunggalnya itu sepenuh hati tanpa pikir panjang segera menelepon restoran pesan-antar, dan dalam sekejap, pizza, burger, ayam goreng, daging asap, sosis, steak, kentang, puding dan minuman soda berbagai merek terhidang di tempat tidur yang beralih fungsi jadi meja makan itu.


Sesuai janjinya, Wonwoo menceritakan apa yang terjadi pada L.Joe cs dan juga peristiwa di tangga darurat bersama Hyo Jin.


“Jadi,” kata Vernon seraya mencomot kentang goreng, “apa menurutmu mereka sudah putus?”
“Kalau dia waras, seharusnya sudah, kan? L.Joe akan dipenjara untuk waktu yang belum ditentukan.”
“Kau benar-benar ingin dia dipenjara, ya? Mungkin saja cuma  ditahan sebentar.”
“Tetap saja statusnya akan jadi mantan narapidana. Apa yang lebih buruk dari itu?”
“Entahlah, mencium pacar orang di tangga rumah sakit sepertinya tak kalah buruk jika kau tanya pendapatku,” kata Vernon santai.


Wonwoo berhenti mondar-mandir dan berdiri di hadapan Vernon, bertolak pinggang. “Aku rela bolos banyak sekali mata kuliah penting demi menemani seseorang yang tidak kukenal-kenal amat di rumah sakit. Apa kau masih tak mau berada di pihakku setelah semua ini?”


“Jangan menjadikanku sebagai alasan. Kau pasti senang kan bisa bolos.” Vernon berkata sambil mengulurkan tangannya untuk mengambil milkshake, namun Wonwoo berhasil menyambarnya duluan.


Vernon menghela napas, kemudian mendongak menatap Wonwoo. “Apa sih yang kau lihat dari Hyo Jin? Kau bertingkah seperti tak ada cewek lain.”


“Apa kau pernah jatuh cinta? Jika belum, biar kuberi tahu, kau itu tak bisa memilih siapa yang mau kau cintai. Semuanya terjadi begitu saja. Lagian, aku sama sekali tak berniat merebutnya atau apa. Aku menciumnya waktu itu karena….” Wonwoo mengingat bagaimana perasaannya hari itu dan mendesah, “karena dia membuatku amat gelisah selama berhari-hari. Karena saat akhirnya dia ada di hadapanku lagi, aku merasa.. entahlah, utuh? Aku tak mungkin membiarkannya pergi begitu saja. Apalagi setelah kami sepakat untuk berakhir.”


“Kau benar-benar menyukainya, ya?” Vernon tiba-tiba merasa iba.
“Ya Tuhan, jika kau melihat Hyo Jin sebagaimana aku melihatnya, mustahil kau tak suka. Dia punya mata yang luar biasa indahnya,” kata Wonwoo, setengah tersenyum, setengah menerawang, “Rasanya seperti melihat samudra.”


“Maaf menghancurkan fantasimu, tapi.. samudra warna biru, matanya warna cokelat,” koreksi Vernon.
“Aku menghubungkannya dengan samudra karena dia membuatku tenggelam, bukan karena warnanya. Saat bicara dengannya, aku selalu butuh beberapa detik untuk menarik diri sebelum bisa menjawab.”


“Apa kau yakin itu bukan karena daya tangkapmu yang agak terbelakang?”
“Park Hyo Jin itu seperti karakter utama dalam novel. Bukan dalam artian sempurna, maksudku, selalu saja ada sesuatu yang baru di setiap babnya. Dia misterius, dia sangat menarik, dia bisa membuatmu ingin membacanya lebih jauh dan mengenal karakternya lebih dalam,” lanjut Wonwoo, mengabaikan Vernon yang sedang cekikikan karena ucapannya sendiri. Walaupun masih mengenakan baju rumah sakit jelek dan infus, namun melihat Vernon dalam kondisi begini (bahagia kelewatan dan menyebalkan), semua orang pasti akan sepakat menuduhnya pura-pura koma.


“Ya Tuhan, kukira anak teater adalah yang paling dramatis.” Vernon tertawa lagi.
“Yah! Hentikan, aku serius.”
“Lalu apa rencanamu sekarang? Seandainya mereka benar putus, kau mau apa?”


Wonwoo meletakkan milkshake dalam genggamannya ke meja, yang lantas disambar oleh Vernon secepat kilat.


“Mau apa?” tanya Vernon, lebih lantang, seraya menyandarkan kepala dan membasahi kerongkongannya dengan milkshake stroberi yang segarnya bukan main.


“Tidak ada, kurasa.”


Vernon tersedak. “Tidak ada?”


“Kami sudah sepakat untuk kembali ke hidup masing-masing.”
“Dia tidak menyukaimu?”
“Aku tak tahu. Waktu itu dia bilang suka, tapi besoknya malah kembali pada L.Joe. Aku juga tak mengerti, dia memperlakukanku seperti tempat penampungan sementara.”


“Atau rest area,” tambah Vernon. “Tidak, terlalu bagus. Kau lebih cocok jadi halte.”
“Terima kasih.”


Vernon cekikikan lagi, kali ini dengan mulut penuh milkshake.


“Aku tahu aku payah, aku punya kebiasaan menghindar dari apa yang membuatku gugup. Aku tak datang saat harus siaran terbuka, aku kabur diam-diam saat pengambilan nilai, aku bukan perangkai lirik yang bagus, satu-satunya alat musik yang kubisa hanyalah gitar, itu pun belum begitu lancar. Aku anak yang canggung sedangkan L.Joe mahir dalam segala hal. Jadi, yah… aku mengerti kenapa Hyo Jin memilihnya.”


“Lihat dirimu! Belum apa-apa sudah pesimis,” cibir Vernon.
“Lalu apa? Kau mau aku menjadi senekat dirimu? Sok bersedia jadi mata-mata, tapi ujung-ujungnya malah koma.”


“Cih, sekarang sudah bisa meledekku, huh? Kata Bibi Min Kyung kau sangat khawatir sampai-sampai tidak mau pulang ke DIMA selama aku tak sadar.”


“Itu karena semua temanmu tak ada yang peduli. Mereka semua takut pada Mino. Jangan besar kepala! Aku hanya kasihan.”


Vernon menyeringai lebar. “Kau bahkan mengundurkan diri dari partai merah dan berteriak pada Mino. Semua itu demi aku, kan?”


“Diam kau! Sudah kubilang aku hanya kasihan. Jiwa kemanusiaanku terusik.”
“Lupakan jiwa kemanusiaanmu. Ini, makan yang banyak.” Vernon mengambil sepotong pizza dari loyang dan menyodorkannya pada Wonwoo. “Kau butuh banyak nutrisi untuk memikirkan Hyo Jin.”


Wonwoo mengambil pizza yang lain dan menjejalkannya ke mulut Vernon tanpa belas kasih. “Kau juga makan yang banyak. Jangan sampai tiba-tiba koma lagi.”


Oh, Park Hyo Jin itu bagai samudra~ Matanya membuatku tenggelam~,” kata Vernon dengan suara dibesar-besarkan.


Saat seorang suster datang untuk mengecek keadaan Vernon, kedua pria itu masih tertawa terbahak-bahak dan mencibir satu sama lain sambil menjejalkan pizza.


Si suster memanggil dokter yang sedang berjaga dan tak lama kemudian, dokter tersebut datang dan mulai mengamuk.



**********



Wendy sudah seratus kali meyakinkan Hyo Jin bahwa ia akan baik-baik saja tanpa L.Joe, perasaannya akan memudar dan segalanya akan kembali normal.


“Tapi itu butuh proses, dan yang terpenting, itu membutuhkan kesungguhanmu juga,” kata Wendy sambil mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Dia sudah memakai track suit abu-abunya dan bersiap untuk lari pagi.


“Kau sudah hapus lagu-lagu ciptaan dia?” Hyo Jin yang sedang mengikat tali sepatunya mengangguk.
“Sms? Foto?”
“Sudah.”
“Coba sini kuperiksa!” Wendy menyambar ponsel di pangkuan Hyo Jin.
“Wen!!” Hyo Jin refleks berdiri, lantas mencoba merebut ponselnya kembali.
“Yah! Apa-apaan ini? Isi galerimu masih sama.”
“Aku akan menghapusnya nanti malam.”
“Kenapa nanti malam? Biar aku saja yang hapus!”
“Jangan! Belum kupindahkan ke lap—“ Hyo Jin terdiam. Kapan mulutnya yang berengsek ini bisa berhenti melontarkan semua isi kepalanya tanpa disaring?


Wajah Wendy seketika menggelap. “Dasar idiot! Sebenarnya apa maumu?” omelnya. “Apa gunanya dihapus kalau sebelumnya dipindahkan ke laptop dulu? Kau ini niat melupakannya atau tidak, sih?” Saat gadis itu hendak mengomel lagi, ponsel dalam genggamannya berbunyi. Hyo Jin dengan sigap merebutnya.


“Ya ampun, ini ibunya L.Joe.”


Wendy mengernyit, tak mengerti kenapa ibu L.Joe malah menelepon Hyo Jin. Hyo Jin berdeham beberapa kali sebelum mengangkatnya.


“Halo eomonim. Apa kabar?..... ah, baik, kok. ….. oh, itu, ponselnya jatuh dari tangga. Dia bilang belum sempat diperbaiki….. belum tahu juga, dia belum bilang apa-apa…… nanti biar kutanya….. sekarang? Aku sedang tidak bersamanya, yeah, dia agak sibuk…… benar, UAS tertulis akan dimulai besok Senin ….iya, semoga semuanya bagus hahaha.”


Wendy meniru tawa kaku Hyo Jin. Hyo Jin menendang betis gadis itu sambil melotot.


“Baiklah, terima kasih eomonim. Semoga harimu menyenangkan juga.”


Hyo Jin menurunkan ponselnya dan mendelik pada Wendy yang terus meniru gayanya.


“Aw, baiknya calon menantu yang satu ini. Hubungan kalian sepertinya sudah dekat sekali. Apa jadinya kalau mereka tahu kalau kalian sudah putus,” cibir Wendy.


“Aku tak mungkin bicara sekarang. Sepertinya keluarganya belum ada yang tahu kalau dia di kantor polisi.”


“Harusnya kau beri tahu. Mereka kan orangtuanya.”
“Bagaimana aku menceritakannya?” Hyo Jin kemudian meninggikan suaranya seolah sedang berbicara di telepon. “Yeah, eomonim, kami suduh putus, dia sedang ditahan di kantor polisi, dia memukul anak orang sampai koma. Hahaha.” Hyo Jin kembali ke mode suara normalnya. “Itu bukan sesuatu yang bisa diceritakan lewat telepon.”


Wendy memutar mata. “Cepat atau lambat, pihak kampus pasti akan menelepon mereka, kan? Apa salahnya tahu lebih awal?”


“Bisakah kita berhenti membicarakan ini? Ada yang lebih penting, aku harus ke kantor polisi.”
“Mau apa?”
“Barusan Ibu L.Joe menanyakan apa L.Joe akan pulang ke Gunsan liburan semester ini. Aku harus bertanya pada anaknya langsung.”


“Kau tahu sendiri dia tak mungkin pulang. Dia akan menghabiskan liburannya dalam jeruji besi.”


Hyo Jin mengabaikan ucapan Wendy, terlalu sibuk menatap layar ponsel dan menggulirkan jarinya ke sana kemari.


“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Mencari alamat kantor polisi. Apa lagi?”


Wendy mendecak, “Kau lupa ya seberapa sering aku ke kantor polisi?”


Gerakan tangan Hyo Jin seketika terhenti. “Benar!” serunya. “Kau selalu ke sana karena Changjo.”


Berdasarkan semua cerita Wendy, Changjo punya hobi untuk jalan-jalan sendiri di malam Minggu dan menegur orang-orang yang menurutnya mengganggu ketertiban umum. Tidak sadar kalau dirinya sendiri—yang berlagak bak penegak hukum itu—sebenarnya juga tak kalah mengganggu.


“Yeah, aku tak tahu sudah berapa kali aku ke sana. Yang pasti, aku sudah sangat hapal rutenya sampai bisa mengantarmu dengan mata tertutup.” Wendy menggeleng pada dirinya sendiri, tiba-tiba merasa tak terima. Kenapa orang baik-baik sepertinya malah akrab sekali dengan kantor polisi?


“Di mana alamatnya?”
“Akan kuberi tahu setelah kita lari pagi.”
“Tck, cepat beri tahu!”
“Kita sudah merencanakan ini dari semalam. Kau kenapa, sih? Tak sabar bertemu L.Joe?”
“Wen!”



**********



Pada akhirnya, mereka baru berangkat ke kantor polisi pukul sebelas siang. Hyo Jin terus mengelap telapak tangannya yang basah pada jinsnya. Dia tak bisa menebak apakah alasannya segugup ini ialah karena akan bertemu L.Joe atau karena fakta bahwa inilah kali pertama ia mendatangi kantor polisi. Terlebih, Wendy tak bisa ikut masuk karena harus segera kembali ke kampus, ada urusan UKM yang tak bisa ditinggal.


Sesampainya di sana, Hyo Jin harus memohon-mohon dan menunggu selama dua puluh menit lebih sebelum diperbolehkan untuk menemui L.Joe.


“Pakai telepon itu untuk bicara.”


Hyo Jin mengangguk seraya mendekat ke kursi, lantas duduk dan mengangkat gagang telepon yang tersedia. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat L.Joe memasuki ruangan seberang, masih mengenakan kaos dan jins alih-alih baju tahanan seperti yang Hyo Jin bayangkan. Pria itu duduk persis di hadapan Hyo Jin, hanya dibatasi kaca, kemudian mengangkat gagang telepon di kubiknya.


“Kau seharusnya tak usah ke sini,” kata L.Joe dengan suara pelan dan kepala tertunduk.
“Sampai kapan kau akan di sini?”
“Tak tahu.”


Hyo Jin sesaat merasa amat sedih. Ia terus memandangi L.Joe sementara tangannya mencengkeram gagang telepon.


L.Joe meliriknya sedikit dan langsung menunduk lagi. “Jangan memandangiku seperti itu. Aku baik-baik saja.”


“Kenapa kau begini, sih?” tanya Hyo Jin. Suaranya parau. “Kenapa kau harus ada di sini? Apa yang kau pikirkan? Kenapa bisa sebodoh ini? Dasar! Kau mengomeliku karena jalan dengan Wonwoo, tapi kau sendiri melakukan sesuatu yang lebih buruk. Kau sama sekali tidak sedang berada di posisi yang pantas saat menyebutku sampah, kan?”


“Maaf,” bisik L.Joe, masih tak mau mengangkat wajah.


Hyo Jin terisak-isak keras. Polisi yang berjaga di depan meja berteriak menyuruhnya diam.


“Apa mereka memperlakukanmu dengan baik di sini?” kata Hyo Jin, jauh lebih pelan.
“Apa yang kau harapkan? Kasur yang empuk? Makanan mewah? Fasilitas hotel?”
“Setidaknya, mereka memberimu makan dan waktu tidur, kan?”
“Yeah.”
“Bagus.”


Saat itu, saat Hyo Jin tak lagi bicara dan hanya memandanginya dengan iba, L.Joe mulai mendapat kekuatan untuk mendongak, bahkan menatap mata Hyo Jin juga.


“Jadi,” kata L.Joe, “kau ke sini hanya untuk menanyakan keadaanku?”
“Tidak, tentu saja. Aku ke sini karena ibumu meneleponku.”


L.Joe menelan ludah. “Ibuku sudah tahu?”


“Tidak, belum. Dia khawatir karena kau tak bisa dihubungi dan bertanya apa kau akan pulang ke Gunsan liburan semester ini.”


Tangan L.Joe bergerak mendorong poninya yang sudah amat panjang, yang langsung jatuh lagi ke matanya begitu tangannya diangkat.


“Boleh minta tolong?” pinta sang pria, sebelah tangannya memegangi tengkuk. “Katakan pada ibuku aku akan tinggal di rumahmu liburan ini.”


Hyo Jin tak menjawab.


“Aku janji akan menceritakan segalanya saat masalah ini selesai.”


Hyo Jin masih tak menjawab.


“Hyo, please. Kau mengenal ibuku. Aku tak mungkin cerita sekarang. ”
“Iya. Baiklah,” kata Hyo Jin. “Tapi kau harus tanggung semua risikonya. Kalau ibumu tahu aku berbohong…”


“Tentu saja,” sela L.Joe.


Saat itu, polisi di belakang meja menoleh pada Hyo Jin dan membuat isyarat bahwa waktunya sudah habis.


“Kau harus pulang.”
“Ya.”
“Hati-hati.”
“Ya.”


Hyo Jin tak pernah membayangkan suasana bisa secanggung ini saat bicara dengan L.Joe. Pria itu meletakkan gagang teleponnya duluan, kemudian berdiri dan langsung membuang muka dari Hyo Jin—yang entah bagaimana malah membeku. Saat L.Joe sudah meninggalkan ruangan seberang, Hyo Jin baru menyesal. Seharusnya dia yang menutup telepon duluan dan membuang muka. Seharusnya dia yang bersikap acuh tak acuh begitu. Dasar.



**********



UAS sudah berjalan hampir dua minggu saat pengumuman rektor lainnya keluar. Pemilihan ketua senat yang seharusnya dihelat Jumat besok ditiadakan, dan seluruh partai kampus, baik DSP mau pun Solidarity of DIMA, baru boleh memulai kegiatannya lagi pada awal semester ganjil. Ketua senat yang sedang menjabat sekarang dapat melanjutkan tugasnya sampai akhir semester depan.


Tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan ekspektasi banyak orang—pembubaran. Lagipula, semester besok Hoshi sudah dapat mencalonkan dirinya sendiri alih-alih menjadi ketua tim sukses semata. Tugas partai biru sekarang hanyalah membangun kembali kepercayaan yang sudah terlanjur sirna.



*********



Kendati sudah segar bugar, Vernon tetap saja masih belum diperbolehkan pulang. Teman-temannya yang semula hilang ingatan (pura-pura tidak mengenal Vernon karena perintah Mino) kini mulai pulih ingatannya. Mereka tiba-tiba menjadi teman paling loyal sedunia dan siang malam menghabiskan waktu di dalam kamar rawat Vernon. Wonwoo beberapa kali datang dan pulang lagi begitu mendengar suara gelak tawa dari balik pintu. Sepertinya, tugasnya menemani Vernon sudah selesai.


Malam itu, Wonwoo sedang mempelajari not-not balok saat Mingyu menarik kopernya dari kolong ranjang.


“UAS-mu sudah selesai?”
“Yeah, besok aku pulang.”


Wonwoo terdiam. Sama seperti Hyo Jin, Mingyu juga merupakan anak teater. Wonwoo berpikir apa mungkin gadis itu juga akan pulang besok pagi. Ia belum melihat Hyo Jin sama sekali sejak di rumah sakit, dan jujur saja, Wonwoo amat merindukannya. Kalau benar Hyo Jin pulang besok pagi, ia harus menunggu dua bulan lamanya sebelum semester ganjil dimulai, sebelum bertemu Hyo Jin—atau paling tidak punya kesempatan untuk melihatnya lagi.


Bagaimana kabarnya? Sehancur apa dia saat mengetahui pacarnya yang sempurna itu ternyata merupakan tukang bully? Apa dia masih suka menangis? Apa mereka putus? Kuharap, iya. Apa dia merindukanku juga? Apa dia bahkan mengingatku?


“Kapan kau akan pulang?” tanya Mingyu seraya membuka kopernya yang berdebu. Wonwoo tersadar dari lamunannya, kemudian mengangkat bahu. “Tidak tahu.”


“Kau tak boleh tinggal di asrama selama liburan.” Mingyu mengingatkan.
“Yeah, tapi aku sedang tak ingin pulang.”
“Kalau begitu kau harus mulai mencari tempat kos dari sekarang.”


Wonwoo menutup bukunya dan menyandarkan punggung di tembok. Wajahnya terlihat frustasi sekali, dan ia sendiri tak tahu apa itu karena Park Hyo Jin, karena tak tahu harus ke mana selama liburan, atau karena tak mengerti apa yang ia pelajari. Mungkin gabungan ketiganya.


“Kenapa tidak mau pulang?” tanya Mingyu.


Bukannya menjawab, Wonwoo malah terus mengusap-usap mata dan wajahnya.


“Uangmu sudah habis untuk ongkos ke rumah sakit, ya? Atau untuk beli makanan buat keluarganya Vernon? Dia kan orang kaya, harusnya kau minta ganti. Aku heran kalian kenal dari mana. Dia kan anak teater, kau anak musik. Oh, benar, dia mata-mata dari partaimu, ya. Pantas saja,” cibir Mingyu, persis seperti orang yang sedang cemburu. “Apa kau akan sekamar dengannya semester depan?”


“Kau ini kenapa, sih? Aku hanya ingin membeli sesuatu yang lain dengan ongkos pulangku.”
“Kau nyaris tak pernah tidur di sini selama dua minggu kemarin.” Mingyu menggerutu.
“Ya Tuhan, kau cemburu?”
“Yang benar saja! Aku ini normal. Seratus persen. Sekalipun tidak, aku pasti pilih-pilih.”


Wonwoo melirik Mingyu dengan aneh dan menggeleng-geleng.



**********



Sementara itu, di kamar terpojok di lantai empat asrama putri, Hyo Jin dan Wendy tengah berbaring di ranjang masing-masing sambil mengobrol. Lampu sudah dimatikan dan satu-satunya cahaya yang ada hanya berasal dari luar—lampu jalan dan bintang-bintang.


“Kau tahu, bahkan jika tak ada percikan lagi, aku masih ingin bersamanya,” kata Hyo Jin. “Kukira fase menyedihkanku sudah berakhir, tapi saat menemuinya lagi di kantor polisi, saat melihat matanya lagi, semua usahaku untuk berhenti merindukannya terasa sia-sia. Aku sangat merindukannya, Wen. Nyaris gila rasanya.”


Wendy menghela napas. “Hanya karena kau merindukan L.Joe, bukan berarti kau harus kembali padanya. Kadang kau hanya harus tetap merindukan anak itu sampai kau terbangun suatu hari dan menyadari kau tak lagi membutuhkan dia.”


Wendy berbaring miring menghadap ranjang Hyo Jin yang gelap gulita, kemudian melanjutkan, “Belum ada sebulan sejak kalian putus. Wajar jika kau masih belum bisa menerimanya.”


“Yeah, tapi dia mustahil untuk dibenci. Maksudku, mana bisa kau membenci seseorang yang pernah begitu lama kau sayang?”


“Siapa bilang kau harus membencinya? Jangan benci dia! Kalau benci, artinya kau masih memikirkannya, artinya kau masih peduli.”


“Jadi?”
“Jadi..jangan peduli lagi. Jangan ada perasaan apa-apa lagi. Jangan repot-repot membenci.”
“Jangan ada perasaan apa-apa lagi?” Hyo Jin tertawa. Suaranya berdesah, menyiratkan keputusasaan.
“Ya,” jawab Wendy tegas. “Dan kau bisa melakukan itu, asalkan kau mau usaha. Hal seperti itu tak bisa datang dengan sendirinya.”


“Terima kasih. Dan maaf sudah membuatmu mendengarkan semua kebodohanku.”


Wendy berdecak. “Hyo, tolong jangan bicara begitu.”


Hyo Jin tersenyum kepada langit-langit, kemudian bertanya dengan nada ragu. “Semester depan, apa kau masih mau sekamar denganku?”


“Kalau kau mau, aku mau.”
“Aku mau,” jawab Hyo Jin langsung, seraya berguling menghadap ranjang Wendy. “Jadi kita sungguh sudah berteman sekarang?”


“Ya Tuhan, selama ini kau menganggapku apa?”
“Jadi kita berteman?” Hyo Jin mempertegas.
“Tentu!” seru Wendy.


Setelah itu, walaupun keduanya tahu satu sama lain belum tidur, mereka tak lagi bicara. Sejujurnya, Wendy ingin sekali bertanya soal Wonwoo; Bagaimana menurutmu perasaan Wonwoo sekarang?, Apa kau tidak mempertimbangkan Wonwoo sebagai pengganti L.Joe?, Apa yang kau lihat dari Wonwoo?, Apa yang membuatmu menyukainya?, tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat. Perasaan dan pikiran Hyo Jin sedang sangat kusut, berputar-putar pada satu nama. L.Joe, L.Joe dan L.Joe saja.


Lalu bagaimana dengan Wonwoo?


Apa kau masih menyukainya?


Apa kau bahkan masih mengingatnya?



**********



Wonwoo mengangkat kopernya ke dalam bus. Ia sudah mengambil uang kiriman orangtuanya dari ATM dan menelepon mereka—untuk minta maaf dan berjanji akan pulang semester depan. Yeah, liburan ini Wonwoo punya rencana lain. Ia ingin belajar, ingin memperdalam ilmu musiknya; mulai dari membuat lirik sampai improvisasi gitar. Ia ingin sekali bisa unggul di semester depan. Semua orang pasti berubah, kan? Wonwoo juga ingin berubah, menjadi lebih baik, lebih berani dan ia akan berusaha mewujudkan itu.


Begitu tiba di tempat tujuan, Wonwoo mendorong pintu masuknya perlahan-lahan. Di dalam sana, dilihatnya seorang pria tua yang amat familiar, tengah duduk di kursi kayu pendek sambil memijat-mijat pergelangan kakinya.


“Paman Ong,” panggil Wonwoo. Sang pemilik nama menoleh dan mukanya langsung berbinar-binar.
“Wonwoo!” serunya seraya berdiri. “Ya Tuhan, bagaimana kuliahmu?”
“Kami sedang liburan.”
“Aku senang sekali kau mampir.”
“Err, sebenarnya,” Wonwoo menarik kopernya ke depan, “bukan hanya mampir.” Melihat itu, muka Paman Ong yang sejak tadi sudah berbinar menjadi semakin berbinar. Ia terlihat berseri-seri sampai kulit wajahnya berubah menjadi merah jambu.


“Aku berjanji tak akan merepotkan. Aku hanya sedang tak ingin pulang dan pergi ke tempatmu adalah pilihan terbaik. Aku akan membantumu menjaga toko dan mengangkat semua alat musik—aku yakin kau memijit kakimu seperti tadi karena habis mengangkat semua alat musik ini sendirian, iya, kan?” Wonwoo merujuk pada seperangkat keyboard yang ditata di paling depan. “Aku sangat siap menjadi asistenmu, Paman. Dan tenang saja, kau tak perlu membayarku sepeser pun. Aku hanya butuh tempat tidur dan kamar mandi, kau bahkan boleh menyuruhku tidur di lantai. Dan satu lagi, aku sudah punya uang untuk membeli gitar. Aku akan membeli satu.”


Paman Ong terdiam. Ia menghela napas sebelum membenamkan matanya ke lengan baju dan menggosoknya pelan, seolah ucapan Wonwoo benar-benar membuatnya menangis.


“Jeon Wonwoo, aku benar-benar menyayangimu. Kau boleh tidur di tempat tidurku, aku akan tidur di atas drum.”


“K-kau serius?”
“Tidak, tentu saja.”



**********


Baru seminggu menghabiskan waktu di rumah, Hyo Jin sudah merasa tidak betah. Ibunya terus bertanya tentang L.Joe, sementara Hyo Jin harus terus memaksakan senyum dan berbohong. Keluarga mereka sudah sangat dekat dan Hyo Jin tak berani membayangkan akan sekacau apa nantinya saat mereka tahu bahwa anak-anaknya sudah putus.


Belum lagi kemarin, saat tanpa diduga-duga ibu L.Joe menelepon ibu Hyo Jin, Hyo Jin harus menguras otaknya, mengarang cerita sedemikian rupa agar keduanya percaya. Yeah, L.Joe magang di daerah Chuncheon, tapi dia tidak tinggal di rumahku. Yeah, studio musik tempatnya bekerja terlalu jauh dari sini. Apa boleh buat!


Ia kira pulang ke rumah akan membuatnya lebih baik, tapi ternyata tidak. Hyo Jin tak pernah mengira bahwa sebenarnya ia sangat membutuhkan Wendy. Saat gadis itu tidak ada di sekitarnya, Hyo Jin merasa hampa. Tidak ada yang mengomel dan menyirami telinganya dengan kata-kata bijak. Tidak ada yang mengguyurnya dengan segayung air, mengajaknya lari pagi, meminjam body lotion atau mendesah sambil berkata, ‘oh, Hyo, jangan bilang begitu’ dengan nada keibuan.


Segalanya terasa lebih berat. Semua anggota keluarganya gemar sekali membahas L.Joe, seolah pria itu adalah satu-satunya topik yang bisa dibicarakan di depan Hyo Jin.


Seiring berjalannya waktu, Hyo Jin bisa merasakan dirinya berubah menjadi lebih sensitif; mulai mengisolasi diri dan menangis hanya karena hal-hal sepele. Ia menangis karena piamanya belum kering, karena mangkuk serealnya dipakai Woojin (adik laki-lakinya yang baru lulus SMP), karena ibunya salah membeli susu cokelat kesukaannya. Dan semua tangisan itu benar-benar tangis sungguhan, seolah piama, mangkuk sereal dan sekotak susu sudah menghancurkan hatinya.


Hingga suatu hari, sang ibu mulai menyadari ada yang salah dengan anak perempuannya. Hyo Jin sedang sibuk mengisi teka-teki silang di ruang makan saat ibunya tiba-tiba bertanya.


“L.Joe tidak magang, kan?”


Hyo Jin terdiam, menimbang apakah ia harus berbohong lagi atau menangis saja.


Karena terlalu lama menimbang, ibu Hyo Jin pun kembali bicara. “Kita bisa berhenti membicarakannya. Ibu akan bilang pada Woojin dan ayahmu untuk berhenti juga.”


Hyo Jin tak menjawab, tapi dalam hati ia amat berterima kasih. Ibunya ternyata tidak kalah peka dari Wendy—walau agak telat sedikit. Yeah, berhenti membicarakan pria itu adalah hal yang paling Hyo Jin butuhkan sekarang. Ia harus bisa menyembuhkan diri sebelum bertemu dengan L.Joe lagi. Harus bisa ‘tidak merasakan apa-apa’ saat menatap matanya lagi.



**********



Wonwoo meninggalkan toko baju gipsi dengan senyum lebar dan langkah ringan. Di tangannya, terdapat bungkusan kuning berisi gaun maxi yang dulu dicoba Hyo Jin, yang penuh motif abstrak dan bagian bawahnya terbuat dari sifon yang melambai.


Semakin jauh ia melangkah, semakin bingunglah ia. Untuk apa aku membeli gaun ini?


Tadi, saat melewat toko gipsi itu, Wonwoo tiba-tiba ingin sekali masuk, seolah dengan masuk ke sana, ia bisa melihat Hyo Jin lagi, keluar dari ruang ganti dengan baju-baju aneh yang ajaibnya sukses membuat Wonwoo jatuh hati. Di dalam sana, Wonwoo melihat flower crown dan beberapa hiasan kepala yang berjajar di etalase, lalu membayangkan benda-benda itu melingkar di kepala Hyo Jin dan mulai senyum-senyum sendiri. Hyo Jin terlihat amat cantik di kepalanya dan ia hampir membeli semua benda ganjil itu hanya karena halusinasinya saja, tapi syukurlah uangnya hanya cukup untuk membeli gaun ini.


Sesampainya di toko musik Paman Ong, Wonwoo semakin kebingungan. Ia bingung harus diapakan gaun ini dan berpikir untuk mengembalikannya lagi.


“Mana salepku?”
“Salep?” Wonwoo mengernyit sebentar sebelum membelalak, baru ingat akan tujuannya keluar. Dia seharusnya membeli obat pereda nyeri otot untuk Paman Ong. Ya Tuhan, apa-apaan yang dia beli?


“Bungkus apa itu di tanganmu?"
“Ba..ju?”
“Baju? Dari tempat gipsi itu?” Paman Ong membaca tulisan di bungkusnya. “Kukira barang-barang di sana khusus perempuan?”


“Aku beli ini untuk anak perempuanmu.”
“Aku tak punya anak, Wonwoo. Aku yakin kau sudah tahu itu.”
“Ah, benar.”
“Apa jangan-jangan kau membelinya untuk gadis yang waktu itu?”
“Yang mana?”
“Yang mengintip saat kau sedang main gitar.”
“Mengintip?”
“Ya.” Paman Ong mulai mengingat-ingat. “Dia punya rambut yang lurus, kecokelatan dan amat panjang. Aku cuma ingat dia memegang bungkusan buku. Gadis itu bersandar di pintu dan mendengarmu bermain, lalu saat aku menoleh lagi… dia sudah tidak ada.”


Wonwoo tak perlu berpikir keras untuk tahu siapa gerangan gadis tersebut. Apa mungkin malam itu dia bertingkah aneh—tiba-tiba mengajakku berdansa dan sebagainya—karena ia menyukai laguku? Karena terpesona dengan melodi buatanku?, pikir Wonwoo.


“Ngomong-ngomong, bagaimana kelanjutan lirikmu?” tanya paman Ong, praktis membuyarkan lamunan Wonwoo.


“Oh, aku sudah membuat beberapa bait, tapi masih ada kalimat-kalimat yang harus kuganti. Kau mau dengar?”


“Tentu saja.”


Wonwoo buru-buru mengambil gitarnya. “Err, ini sebenarnya agak menggelikan. Kau tahu selera musikku lebih ke arah hard-core hip-hop atau musik rock, kan? Jadi, yeah, menulis lirik—apalagi lirik percintaan—sama sekali bukan keahlianku dan..”


“Wonwoo, kau sudah mengucapkan itu ratusan kali. Mainkan saja.”


Wonwoo memetik senar gitarnya selama dua detik, kemudian berhenti. Ia berdeham keras-keras untuk membersihkan tenggorokannya, “Kau tahu kan aku bukan penyanyi jadi..”


“Ya ampun, Wonwoo. Aku mengerti. Mainkan saja.”
“Oke, aku mainkan sekarang.”


Ia berusaha berkonsentrasi sebelum akhirnya memetik senar gitarnya (lagi) dan kali ini tak berhenti. Ia bernyanyi dengan suara rendah.


Aku merasakan lukamu,
Melihatnya di matamu,
Aku paham betapa sakitnya,
Tapi tolong jangan gegabah



Kau kira tak ada jalan keluar,
Kau kira tak ada yang bisa dilakukan,
Hingga suatu pagi, kau lelah dan pergi
Hanya meninggalkan catatan di lemari



Mungkin lupa aku masih di sini,
Mungkin lupa ku terlampau peduli



Perempuanku,
Oh tidakkah kau pergi terlalu dini?
Biarkanlah aku yang memegang kemudi
Percayalah padaku sekali ini
Takkan kubiarkan kau terluka lagi
(Takkan kubiarkan)



Perempuanku,
Perasaan ini tak salah
Tapi oh, tahukah kau?
Jika mencintaimu sungguh salah
Aku tak tertarik lagi untuk menjadi benar..




**********



Lagu-lagu di radio berkumandang di kamar Hyo Jin yang kecil. Hyo Jin menghabiskan seharian penuh dengan sahabat karibnya di Chuncheon, Min Hyo Sun. Setelah tiga minggu, gadis itu akhirnya punya waktu untuk berkunjung dan hanya dengan melihat gadis itu saja, hidupnya serta-merta berubah indah lagi. Mereka duduk di lantai, menyelesaikan puzzle seraya bernostalgia tentang masa-masa sekolah dan curhat soal ini-itu.


“Jonghyun yang waktu SD?” tanya Hyo Sun sambil menyesap cokelat panasnya. Potongan puzzle yang belum berhasil tersusun di papan tumpang tindih di pangkuannya.


“Iya!” seru Hyo Jin. “Sebenarnya aku agak jijik mengatakan ini, tapi dia jadi lumayan… keren.”
“Masa?”
“Yah, kalau dibandingkan dengan Jonghyun waktu SD, kau tidak akan percaya. Sekarang badan dia jadi bagus; tinggi, tegap. Terus asik juga anaknya, bisa diajak serius, bisa bercanda. Tapi freak-nya masih sama, makin tambah malah.”


“Serius? Kita sedang membicarakan orang yang sama, kan? Jonghyun yang galak-gendut-tukang ngadu itu?”


“Serius. Di sana dia dipanggil Changjo, nama Jonghyun sudah terlalu banyak katanya. Aku juga tak mungkin bisa mengenalinya kalau anak itu tidak bilang sendiri. Tadinya mau pulang barengan ke Chuncheon, tapi UAS dia belum selesai.”


“Memang beda jurusan?”
“Dia jurusan audio production, terus di kampus aktif jadi wakil ketua UKM radio.”
“Mau lihat mukanya.”
“Aku tidak punya fotonya,” desah Hyo Jin, namun mendadak teringat Wendy. “Eh, tunggu! Teman sekamarku sahabat dia.”


“Cewek?”
“Kalau kubilang teman sekamarku, maka sudah pasti cewek, kan?”
“Kenapa dia sahabatan sama cewek?” Hyo Sun mendumel protektif, sementara Hyo Jin berdiri dan mengambil ponselnya dari saku jaket yang digantung di belakang pintu.


Selagi Hyo Sun menggerutu, Hyo Jin sudah mengirimkan pesan kepada Wendy. Tanpa tedeng aling-aling, ia terus terang meminta foto Changjo karena ada temannya yang mau lihat. Dan berselang dua menit saja, foto yang diminta sudah masuk ke handphone Hyo Jin.


Hyo Jin terperangah sebentar sebelum tertawa terbahak-bahak.


Hyo Sun menyambar handphone di tangan Hyo Jin dan mendecak melihat foto selfie Changjo yang luar biasa jeleknya, “Apa, sih? Kenapa fotonya begini?”


“Hahaha. Ya Tuhan.” Hyo Jin menghapus air matanya. “Wendy itu manusia paling peka di kampus. Sepertinya dia sudah punya feeling kalau ada yang naksir Jonghyun. Makanya dikasih foto kaya gini.”


“Bagaimana mau naksir kalau lihat juga belum? Ih, Hyo, suruh temanmu kirim yang bagusan!”
“Ketik saja langsung!”


Hyo Sun mengetikkan permintaannya itu dengan cepat, lantas di detik berikutnya sudah mendecak lagi.


“Itu paling bagus katanya,” keluh Hyo Sun. “Pelit amat, sih. Jonghyun doang bukan Lee Minho.”


Hyo Jin cekikikan. “Ya sudah, sabar. Siapa tahu tahun depan ada reuni SD?”


Hyo Sun merengut seraya menyentakkan ponsel Hyo Jin ke ranjang. “Terus siapa lagi yang ganteng di kampusmu?”


“Banyak,” sambar Hyo Jin dengan mata berbinar. Puzzle setengah jadi di hadapan mereka tak lagi tersentuh. “Ada Minhyuk, drummer pujaan mahasiswi sekampus. Terus ketua partaiku, si Hoshi yang mukanya imut kaya anak bayi, anaknya asik, tukang lawak, cerewet tapi kalau sudah di forum pasti berubah imej bak presiden; bijak, pintar, serius. Terus Vernon, cowok bule yang kuceritakan itu, dia juga keren. Yah, pokoknya banyak. Makanya kuliah yang jauh, piknik ke luar kota. Jangan di Chuncheon melulu!”


“Terus selingkuhanmu itu, siapa namanya? Wonwoo? Dia bagaimana?”


Hyo Jin langsung menyikut Hyo Sun sampai cokelat panas di tangannya nyaris tumpah. “Yahh!”


“Lagian apa coba selingkuhan?” protes Hyo Jin.
“Terus apa namanya?”


Hyo Jin tak tahu harus menjawab apa, jadi ia cuma bersedekap dan merengut.


“Tapi jujur, aku senang kau putus dari L.Joe. Jangan tersinggung ya, tapi dari dulu aku memang kurang suka dengannya,” kata Hyo Sun seraya meletakkan gelas cokelatnya di samping milik Hyo Jin.


Hyo Jin tersenyum kecut, dia ingat Wendy juga bilang begitu. Rasanya seperti semua orang bisa melihat dia sedang meneguk racun, kecuali dirinya sendiri.


“Terus apa yang membuatmu menyukai Wonwoo? Ayo ceritakan padaku!” pinta Hyo Sun. “Tunggu, aku siap-siap dulu!“ Gadis itu menggeser papan puzzle mereka ke tembok, kemudian menarik selimut dari kasur Hyo Jin dan menggulung-gulung kakinya di dalam sana. Kelihatan antusias sekali. Mengira ia akan mendengar cerita panjang. “Nah, ayo ceritakan kenapa kau bisa menyukainya.”


Namun bukannya bercerita, Hyo Jin malah mengangkat bahu, lantas menyesap cokelatnya—entah dari gelas miliknya atau tertukar dengan punya Hyo Sun.


Hyo Sun tak lantas menyerah. Posisinya sudah luar biasa sempurna untuk mendengarkan curhatan panjang, “Apa dia mirip L.Joe? Sifatnya, maksudku,” pancingnya.


“Sifat?” lengking Hyo Jin. Ia meletakkan gelasnya dan menggeleng tegas. “Tidak sama sekali.”


Hyo Sun tersenyum, pancingannya termakan. “Jadi bagaimana sifat Wonwoo?”


“Wonwoo itu agak clumsy, kadang terlalu pesimis, pasif, tapi manis, tulus, sopan, dia baik sama orang tua, akrab sama anak kecil, loyal sama teman. Waktu Vernon koma, aku bertemu dengannya di rumah sakit, dia sedang mengajak main keponakan Vernon yang masih tiga tahunan. Cekikikan berdua, pura-pura tembak-tembakan, pura-pura mati. Siapa coba yang tidak meleleh melihat cowok yang bisa akrab sama anak kecil?” Hyo Sun bisa melihat betapa berbinarnya mata Hyo Jin selama bicara, tapi ia tak berkomentar.


“Sebelumnya waktu di pasar Anseong, ada toko musik langganan dia. Yang jaga di sana sudah tua dan tidak punya keluarga. Aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka dari pintu. Wonwoo itu baiknya minta ampun, dia memainkan gitar untuk kakek itu dan entah kenapa malah aku yang tersentuh. Bahkan sampai menangis. Padahal tidak ada liriknya, tapi melodi dia tidak kosong, lagunya terdengar tulus sekali sampai tubuhku gemetar.


“Dia jauh berbeda dari L.Joe. L.Joe melakukan segalanya untukku, dia membuat lagu-lagu untukku, dia belajar drum karena aku (karena aku menyukai Minhyuk). L.Joe juga manis, perhatian, posesif—yang sama sekali tak kulihat sebagai kejelekan, maksudku, aku merasa berharga, tapi sepertinya orang di sekitarku menentang itu?” Sebagai salah satu penentang keposesifan sebagai sesuatu yang manis, Hyo Sun mengangguk-angguk tegas. “L.Joe mengantarku ke mana-mana, dia segala yang kuinginkan dari seorang cowok. Saat aku bersamanya, semua orang jadi tidak berarti lagi, tapi setelah mengenal Wonwoo, semua perasaan itu mendadak berubah.”


Hyo Sun memeluk lututnya dan mengingat liburan semester lalu, tepatnya saat ia diperkenalkan kepada L.Joe untuk pertama kalinya. Gadis itu mengangguk setuju, “Ya. L.Joe melakukan segalanya untuk mendapat perhatianmu, untuk diapresiasi olehmu, kau, kau dan hanya kau saja.”


“Dan dia akan kesal sekali jika reaksiku tak sesuai ekspektasinya,” sambung Hyo Jin, kemudian membesarkan suaranya meniru suara L.Joe. “Kenapa tanggapannya cuma begitu? Kau tak suka laguku? Entahlah, Hyo, kenapa kau tidak berteriak? Kenapa ini, kenapa itu, kadang aku harus pura-pura terkejut supaya dia senang.”


“Di sisi lain, Wonwoo melakukan segalanya bukan untukku. Tapi aku justru malah menangis karena alunan gitar tanpa liriknya—yang ditujukan untuk kakek penjaga toko alat musik itu—bukan karena lagu-lagu L.Joe. Serius, lirik buatan L.Joe adalah hal terindah yang pernah kudengar, tapi mereka tak pernah membuatku gemetar, alih-alih menangis.


“Sejak malam itu, aku mulai melihat Wonwoo dalam cara yang berbeda. Dia tiba-tiba jadi sangat indah dan tidak nyata. Maksudku…” Hyo Jin berusaha mencari kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya. Tapi tidak ada kata yang tepat. “Er, entahlah.”


“Yeah, aku mengerti,” kata Hyo Sun. Tangannya terulur untuk mengacak rambut Hyo Jin. “Aku turut bahagia, temanku yang clueless ini akhirnya bisa menemukan cowok seperti itu. Semester depan jangan lupa ajak dia mampir ke sini, ya.”


“Cih, aku kuliah bukan untuk cari cowok.”
“Bukan cari cowok, tapi cari jodoh?”
“Yah Min Hyo sun!”


Hyo Sun terkikik.



**********



Setibanya di toko alat musik, Paman Ong langsung menyuruh Wonwoo mengangkat ponselnya.


“Benda itu terus mengagetkanku,” protes Paman Ong. Wonwoo mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan terkejut begitu melihat dua belas panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal. Padahal ia cuma keluar sebentar untuk membeli tteokbokki, tak sampai sepuluh menit.


“Kenapa kau tak mengangkatnya?” tanya Wonwoo resah. Pikirannya sudah melayang ke Changwon, kampung halamannya. Bagaimana jika itu panggilan penting? Bagaimana jika terjadi apa-apa pada keluarganya?


Paman Ong baru saja hendak menjawab saat nada dering Wonwoo (musik rock yang didominasi oleh suara drum yang menggebu-gebu) membuatnya terlonjak—lagi.


“Yah, Wonwoo! Aku benar-benar membenci suara itu!”


Wonwoo menoleh pada Paman Ong untuk mengisyaratkan permintaan maaf, lantas mengangkat panggilannya dengan gugup.


“Halo?”
[Halo? Yah, Jeon Wonwoo! Ke mana saja kau? Kenapa baru diangkat?] Suara melengking Vernon terdengar, dan Wonwoo praktis bisa bernapas lega. Ternyata bukan keluarganya.


“Kenapa kau meneleponku banyak sekali? Kukira sesuatu yang penting. Dasar!”
[Memangnya aku tidak penting?]
“Kau bercanda? Bahkan ikan Koi di rumahku jauh lebih penting.”
[Aku yakin itu bukan dari hati,] kata Vernon. [Bicara soal penting, kenapa kau tidak pernah mengunjungiku lagi di rumah sakit?]


“Kau masih di rumah sakit?”
[Tidak, maksudku.. saat aku masih di sana. Kenapa tiba-tiba kau berhenti datang?] Nada suara Vernon memelan. [Padahal aku menunggumu.]


Wonwoo tersedak mendengar kalimat terakhir Vernon. Bulu kuduknya meremang. Vernon bicara dengan penuh perasaan hingga terdengar terlalu romantis. Entah dia sengaja mempermainkan Wonwoo atau memang begitulah caranya bicara.


“Untuk apa kau menungguku? Semua temanmu ada di sana, kan? 24 jam.”
[Yeah, tapi mereka bukan kau.]


Wonwoo tersedak lagi. “Bisakah kau berhenti mengatakan hal-hal yang membuatku merinding?”


[Hei, bagaimana kalau semester besok kau sekamar denganku!] kata Vernon, terdengar seperti perintah alih-alih ajakan.


“Mingyu sudah mengajakku duluan.” Wonwoo menyesalkan pilihan katanya—ia merasa seperti sedang diperebutkan untuk diajak ke prom.


[Mingyu anak teater?]
“Ya. Aku sudah sekamar dengannya dari semester satu.”
[Sejak semester satu? Ya ampun, pasti bosan sekali, ya? Lebih baik cari suasana baru.]


Wonwoo memutar mata. “Aku tidak masalah dengan siapa pun, sungguh. Tapi Mingyu sudah mengajakku.”


[Baiklah.]


Baiklah? pikir Wonwoo keheranan. Setahunya, Vernon bukanlah tipikal manusia yang akan menyerah semudah ini. Tapi baguslah jika dia mengerti. “Syukurlah kalau kau paham.”


[Yeah, aku akan langsung menelepon Mingyu saja.]
“Apa?”
[Jangan khawatir, aku tahu nomornya. Kami sama-sama anak teater.]
“Bukan itu maksudku, untuk apa ka—“
[Bye.]
“Yah, Vernon!”


Vernon sudah mematikan sambungannya. Wonwoo memandang layar ponselnya dan mendesahkan tawa. Ia tak habis pikir kenapa malah dua cowok itu yang terpesona dan memperebutkannya? Kenapa bukan anak teater yang lain… jika kalian tahu siapa maksudnya.



**********



Akhir liburan semester datang terlalu cepat bagi Hyo Jin. Gadis itu memang senang karena dalam tiga hari ia sudah bisa bertemu Wendy lagi. Namun dua bulan bersama keluarganya (tepatnya sebulan terakhir, sejak mereka berhenti mengungkit-ungkit nama L.Joe tiap sepuluh detik sekali) merupakan saat paling menyenangkan dalam setahun ini. Masakan ibunya seribu kali lebih enak dari masakan asrama, ayahnya mengajaknya main tenis meja nyaris setiap sore dan Woojin adalah manusia paling asik untuk diajak keluyuran di mall. Susah rasanya untuk meninggalkan mereka, bahkan sekadar membayangkan empat bulan tanpa keluarganya saja sudah membuat Hyo Jin mual.


“Aku tahu aku cantik, tapi bisakah kau berhenti menatapku?” kata Hyo Jin, melirik adik semata wayangnya yang langsung memutar mata.


“Bukan cantik, tapi kau jadi sangat berbeda dengan rambut pendek.” Woojin mengklarifikasi, namun lantas membuang mukanya jauh-jauh dan melanjutkan dengan suara memelan, “berbeda dalam arti bagus.”


Hyo Jin membuat suara ‘awwwww’ yang panjang dan langsung mengalungkan lengannya di leher Woojin dan menariknya rapat-rapat ke sisinya. “Kau tidak akan mati hanya karena memujiku satu kali. Tapi tidak apa-apa kuhargai usahamu.”


“T-tapi aku akan mati jika kau mencekikku begini,” protes Woojin dengan napas tertahan. Sang kakak pun akhirnya melepas cekikan (bagi Hyo Jin, itu adalah pelukan)-nya, namun senyum kelewat lebar masih menghiasi wajah gadis itu. Woojin meringis memijiti lehernya.


“Kau apa-apaan, sih? Di sana tidak ada yang muji, ya? Memangnya L.Joe hyung tidak pernah bi—“ Woo Jin berhenti, senada dengan senyum di wajah Hyo Jin yang seketika lenyap. “er.. sorry, aku lupa.”


“Tidak masalah. Mendengar namanya sudah tidak berpengaruh apa-apa lagi bagiku.”
“Baguslah. Tch, tapi sayang sekali. Padahal L.Joe hyung sudah berjanji mengajakku ice skating.”
“Kenapa harus dengan dia? Kan ada aku.”
“Huh? Kau? Berdiri saja tidak bisa, mau apa di sana? Mending tidak usah pergi kalau harus mengajakmu.”


“Kau ini benar-benar! Aku serius. Aku masih punya waktu tiga hari sebelum kembali ke Anseong. Berhubung kau sudah menemaniku belanja dan potong rambut, sebagai kakak yang baik aku akan menuruti maumu. Kita bisa pergi ice skating besok jika kau mau.”


“Tidak usah. Lebih baik kau cari hyung baru buatku, yang jago ice skating seperti L.Joe hyung. Liburan semester depan aku jalan dengannya saja.”


“Yah Park Woojin!” teriaknya. “Sama saja dengan Hyo Sun! Aku ke sana untuk belajar.”
“Kalau hanya mau belajar, di Chuncheon juga bisa, kan? Untuk apa jauh-jauh kuliah di luar kota kalau bukan mau cari pa—“ Hyo Jin langsung membekap mulutnya, sementara tangannya yang lain mencubit dan memelintir perut Woojin sampai anak itu menggeliat dan berteriak-teriak.


“Dengar ya, aku bersumpah tidak akan pacaran dengan siapa pun selama semester depan, aku akan fokus belajar dan menjadi mahasiswi paling cemerlang sefakultas. Lihat saja!”


Woojin menarik tangan Hyo Jin dari mulutnya dengan napas tersengal. “Heh! Astaga! Kalau kau bukan perempuan sudah kubalas!”


“Sayang sekali, ya? Hahaha,” ledek Hyo Jin. Gadis itu menepuk-nepuk kepala sang adik—yang langsung ditepis—lalu menjulurkan lidah dan berjalan menuju kamarnya dengan sukacita.


Oh, dia akan sangat merindukan Park Woojin.



**********



Setelah hari gelap, Hyo Jin yang sedari tadi berleha-leha di ranjang akhirnya mengganti blus dan jinsnya dengan piama. Gadis itu hendak keluar untuk makan malam saat ponselnya berbunyi, sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, Hyo Jin menjawab panggilan itu.


“Halo?” katanya sambil membuka pintu kamar.
[Hey.] Satu kata dan jantungnya berhenti. Oh, itu bahkan bukan kata. Hyo Jin melangkah mundur dan menarik kembali pintu kamarnya. Terlalu bertenaga dari yang ia harapkan. Pintu itu terbanting menutup dan membuat dirinya sendiri berjengit.


[Aku sudah keluar dari penjara, kami hanya dikurung selama dua bulan sebelum bebas bersyarat,] terang si penelepon tanpa ditanya. [Intinya kami masih di bawah pengawasan. Harus melakukan pelayanan sosial selama enam bulan, denda dan lain-lain. Yah.. tidak buruk. Tadinya mau langsung didaftarkan wajib militer, untungnya kuliah dijadikan pertimbangan. Jujur saja, aku belum siap jika harus wajib militer sekarang.]


Hyo Jin tak tahu apa ia membutuhkan semua informasi itu, Hyo Jin tak tahu apa ia harus menjawab dengan reaksi senang atau melontarkan sarkasme saja. Yang ia tahu, sekujur tubuhnya panas dingin mendengar suara L.Joe lagi. Ia benar-benar mual dan gemetar. Siapa yang memberi tahu L.Joe bahwa menghubunginya lagi adalah ide bagus? Terlebih pria itu bicara dengan antusias, seolah tak ada yang terjadi, seolah hubungan mereka masih baik.


[Aku cuma mau memberi tahu bahwa aku sudah beli ponsel baru. Jadi jangan lupa mengganti kontak ‘chicken-ssi’-mu dengan yang ini,] dia berkata lagi, begitu mudahnya. Hyo Jin bahkan bisa mendengar eyesmile dalam suaranya.


Hyo Jin berusaha membuka mulut, untuk mengatakan sesuatu, apa saja, tapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Ia tak percaya L.Joe masih berefek sebegini besar padanya. Tadinya, setelah semua ini, ia kira hatinya sudah berubah menjadi sekokoh baja. Tapi nyatanya L.Joe hanya membutuhkan ‘hey’ untuk membuat hatinya lembek lagi. Benar-benar tidak adil.


“Mungkin kali ini bukan ‘chicken-ssi’ lagi.” Hyo Jin akhirnya bisa bicara, walau dengan suara serak seolah tenggorokannya tersumbat batu.


[Yeah, aku tidak masalah dipanggil apa saja.] Hyo Jin ingin bertanya apa ia masih tidak masalah jika dipanggil ‘sampah’.


[Apa kau tahu ibuku menelepon ibumu Sabtu lalu?] tanya L.Joe.
“A-apa?”
[Ya, keluargaku akhirnya tahu dan mereka langsung menelepon ibumu. Aku minta maaf soal itu.] Hyo Jin terdiam—walaupun sedari tadi ia memang lebih banyak diam. Sang ibu sama sekali tak bilang apa-apa padanya soal ini dan Hyo Jin merasa amat durhaka. Hyo Jin mengerti ibunya pasti tak ingin membuat dirinya khawatir, tapi seharusnya tidak begini. Semua ini salah L.Joe. Seratus persen. Kalau saja pria itu tak menyuruhnya bohong dari awal… kalau saja dirinya tak setuju untuk berbohong…


Rasanya Hyo Jin ingin berlari keluar kamar dan memeluk ibunya sambil meminta maaf dan mengucapkan seribu terima kasih. Dua ribu. Lebih dari itu.


[Tapi tenang saja, aku percaya mereka sudah baikan lagi. Aku sudah menjelaskan semuanya,] tambah L.Joe.


Memang seharusnya begitu, pikir Hyo Jin. Semua ini tanggung jawabmu, dasar idiot. Namun yang keluar dari bibirnya justru malah “terima kasih,” dengan suara setipis satin.


[Ngomong-ngomong, kapan kau kembali? Aku akan menjemputmu di terminal jika…]
“Aku sudah meminta Wendy,” potong Hyo Jin. Tuhan tahu dia belum meminta siapa pun. Gadis itu hanya ingin menghindari L.Joe.


[Okay, tak masalah. Kita bisa bertemu di kampus.]


Kuharap tidak. “Yeah.”


Hyo Jin sejujurnya merasa sangat aneh dengan semua perbincangan ini, sangat sangat aneh. Ia merasa seperti pikiran dan perasaannya tak sejalan. Seolah L.Joe bukanlah apa-apa, sekaligus segalanya. Di dalam kepala, ia terus menjawab ucapan L.Joe dengan ketus, tapi di bibirnya ia tidak bisa. Hyo Jin tak tahu apa maunya, ia bahkan tak tahu bagaimana persisnya perasaannya.


Ini pasti sudah sangat terlambat untuk kembali, kan?


Atau mungkin belum?


[Jadi,] kata L.Joe. Hyo Jin bisa mendengar pria itu menarik napas, sementara dirinya di sini malah menahan napas.


[Jadi,] ulang L.Joe, lebih yakin, [Hyo, dengar, maafkan aku.]
[Please, aku tidak bisa hidup begini. Bisakah kita baikan?]



***********



Sembilan hari kemudian.



Area di depan panggung benar-benar penuh sesak—90% di antaranya adalah mahasiswa baru, dan di antara mahasiswa baru itu 90% di antaranya adalah perempuan, menjerit-jerit seperti melihat setan. Hyo Jin berkeliling di stan minuman sambil sesekali melirik ke panggung. Band L.Joe sedang manggung dan ya, objek jeritan para mahasiswi baru itu adalah si drummer.


Hyo Jin tak tahu pelayanan sosial macam apa yang L.Joe lakukan selama ini, tapi itu jelas membentuk lengannya menjadi sangat sempurna. Pria itu menggunakan kaus merah tipis tanpa lengan, jins hitam yang robek di bagian-bagian berbahaya dan menabuh drumnya dengan penuh tenaga dan ekspresi sensual.


Pria itu jelas baru potong rambut—mungkin spesial untuk acara penyambutan mahasiswa baru ini, spesial untuk penampilan pertama band-nya, spesial untuk memenangkan hati para mahasiswi semester satu. L.Joe terlihat bercahaya, berbahaya, dan gilang-gemilang. Walaupun hari sudah semakin siang, barisan penggila L.Joe masih setia berdiri di depan panggung sambil berteriak dan mengipas-ngipas mukanya—entah gerah karena terik matahari atau karena keringat yang menetes konsisten di pelipis si drummer itu.


Pamor L.Joe melesat bak roket hanya dalam waktu seminggu kuliah. Bahkan fakta bahwa dia pernah dipenjara malah membuatnya semakin digilai saja. Tapi, yah, bukankah memang begitu? Bukankah mayoritas perempuan memang lebih tertarik dengan bad boy? Mengelaklah sepuasmu, tapi sudah ada bukti ilmiah soal itu. Dan menariknya, L.Joe yang beberapa bulan lalu bukan siapa-siapa tiba-tiba menjadi kandidat paling sempurna untuk menyabet predikat bad boy pujaan itu.


Hyo Jin baru saja berbalik, hendak pulang ke asramanya saat tiba-tiba teriakan para gadis di depan panggung terdengar lebih dekat. Belum sempat ia menoleh, tangan L.Joe yang lebih berisi dan penuh keringat melingkar di pundaknya.


“Mau ke mana?” tanyanya. Hyo Jin terkejut. Ia yakin pria itu langsung melompat dari panggung begitu lagunya habis. Sebab tadi, tak lama sebelum Hyo Jin memutuskan untuk pulang, L.Joe masih di atas sana, duduk di belakang drum, terlihat berkilau dan sempurna dan tidak nyata. Dan tiba-tiba saja dia di sini. Masih tidak nyata, dalam arti, bagaimana mungkin seseorang yang berkeringat sebanyak itu masih bisa berbau seperti lemon dan citrus?


Selama mereka melangkah menuju asrama putri, Hyo Jin bisa mendengar desas-desis iri di sekitarnya. Gadis itu berharap mereka memelankan suaranya sedikit. Serius, apa mereka semua mengira Hyo Jin itu tuli?



‘Dia pacarnya?’

‘Serasi, sih, tapi… semoga cepat putus.’

‘Jurusan musik juga?’

‘Setahuku sih anak teater.’

‘Namanya Park Hyo Jin, seangkatan sama L.Joe oppa.’

‘Katanya mereka sudah pacaran dari semester satu.’

‘Kok awet, yah?’

‘Kalau pacarnya secakep itu, ya pasti diusahakan supaya awet.’

‘Ceweknya nggak banget.’



Kalau menuruti nafsunya, Hyo Jin pasti sudah berbalik badan dan menampar mulut mereka satu per satu. Tapi ia berusaha menahan diri. Ia tak mau namanya booming karena hal-hal sampah.


Saat itu, Hyo Jin tak sengaja melihat Wonwoo, kemudian mengeluarkan senyum seperempat yang nyaris tidak menimbulkan lekukan di pipinya. Tapi sepertinya senyumnya kelewat tipis untuk bisa dilihat. Mereka cuma bertukar pandang sesaat, sebelum akhirnya Wonwoo membuang muka.


“Jadi, kulihat kau sudah semakin akrab dengan Wendy.” Hyo Jin menoleh ke sebelahnya dan baru sadar ia masih berjalan berdampingan dengan L.Joe, pria itu bahkan masih merangkulnya. Oh, jika ia ada di posisi Wonwoo, ia juga pasti akan membuang muka.


Hyo Jin berdeham sambil menarik bahunya. “Penggemarmu sudah tidak ada.”


“Oh,” L.Joe menurunkan tangannya, “benar.”
“Aku mau ke asrama.”
“Kalau begitu kuant—“
“Akan lebih baik jika kau pergi,” potong Hyo Jin. Nada bicaranya sedikit terlalu dingin. Sejujurnya agak kesal karena….oh, ia belum melihat Wonwoo selama seminggu penuh dan sekarang ia malah bertatap muka di situasi seperti ini. Terima kasih banyak.


“Oke, Hyo, apa-apaan sekarang? Kau bilang kita bisa berteman.”


Hyo Jin berbalik menghadap sang pria. “Apa menurutmu ini namanya berteman? Aku tidak bisa pura-pura menjadi pacarmu lagi. Ini sudah seminggu.”


“Oh, ayolah, aku benar-benar tidak nyaman dengan semua….”
“Kalau begitu bilanglah langsung pada mereka!” potong Hyo Jin. “Bilang pada semua mahasiswi baru itu kalau kau tak suka dengan tingkah genit mereka. Kau tidak harus punya pacar untuk membuat mereka menjauh. Lagian, ini semua benar-benar menyusahkanku. Mereka menghadangku di tangga asrama hanya untuk bertanya apa benar kita pacaran, mereka tiba-tiba tahu nomor ponselku, menanyakan hal-hal aneh, ya Tuhan. Kau benar-benar seperti idol sekarang. Selamat.”


Well, aku yakin kau menikmatinya,” tambah Hyo Jin.
“Apa maksudmu?”
“Cowok mana yang tidak suka digilai banyak perempuan, iya, kan?”
“Tidak semua cowok begitu.”
“Tapi kau jelas begitu,” tukasnya. “Kau amat bersinar sekarang, aku jadi merasa bersalah sudah memacarimu dua tahun kemarin. Aku merasa sudah menghalangi pesonamu, menumpuknya untuk diriku sendiri. Kalau kita masih pacaran, aku tak yakin kau bisa sepopuler ini.”


“Hyo, kau tahu ini tidak sebanding dengan apa yang kurasakan dulu,” katanya dengan suara rendah. “Apa kau sungguh tidak merindukan….” L.Joe menelan ludah, “kita?”


“Kau merindukannya?”
“Serius? Kau masih menanyakan itu? Aku benar-benar patah hati saat kau menolakku di telepon kemarin.” L.Joe menatapnya dengan intens.” Kukira kita masih bisa menjadi……., kau tahu, kita.”


“Dulu, aku pernah membaca satu kalimat yang sama sekali tidak kumengerti. Katanya, dalam kehidupan ini, kita bisa merindukan sesuatu tapi tidak menginginkannya kembali,” ucap Hyo Jin. “Dan sekarang akhirnya aku mengerti. Itulah yang kurasakan sekarang.”


“Ya, aku merindukan kita, tapi tidak, aku tidak menginginkannya lagi.”


L.Joe terdiam. Bibirnya bergerak hendak mengatakan sesuatu namun pada akhirnya ia hanya mengangguk.


“Maafkan aku. Tapi nikmatilah hidupmu yang baru. Tanpa kita. Aku berjanji segalanya akan lebih baik saat kau sudah bisa menerimanya. Kau bilang sendiri, kan? Di luar sana ada banyak perempuan yang jauh lebih cantik, lebih baik, lebih hebat dariku. Kalau kau bisa mendapatkan yang lebih, kenapa harus aku, iya, kan?”


L.Joe tak menjawab. Ia memandangi Hyo Jin dengan tatapan terluka sebelum akhirnya mengambil satu langkah mundur. Pria itu menunduk, dan Hyo Jin bersumpah ia melihat matanya berkaca-kaca.


Beberapa detik setelahnya, L.Joe mengangkat kepala dan memaksakan senyum. Senyum itu membuatnya tampak semakin menyedihkan. Senyum itu bisa membuat seluruh pengagumnya remuk redam. “Baiklah, aku akan kembali ke lapangan,” katanya sambil mengarahkan ibu jarinya ke belakang. Hyo Jin benar-benar merasa seperti tokoh antagonis.


“Ya.”


Tapi di satu sisi, Hyo Jin yakin inilah yang terbaik.


“Selamat tinggal.”



**********



“Lihat yang itu! Yang baju ungu, dia lebih cantik dari yang pakai sweter tadi,” kata Mingyu, jarinya menunjuk-nunjuk tak tahu malu.


Vernon menggeleng, “Yang sweter merah jambu lebih imut.”


“Kau harus bisa membedakan mana imut dan mana kekanakan.”
“Menurutku dia berpenampilan sesuai umur. Yang baju ungu memang cantik, tapi kelihatan palsu.”
“Palsu apanya? Kau bisa lihat dari garis wajahnya kalau dia cantik alami.”
“Justru menurutku garis wajahnya tidak mungkin alami.”
“Heh!” Wonwoo membentak. “Ya ampun, sudah berapa lama kalian tidak melihat perempuan? Jaga sikaplah sedikit! Kalau ada yang mendengar pembicaraan kalian, aku jadi ikut malu. Lagian, tidak etis menilai fisik orang lain seperti itu.”


“Kenapa kau sensitif sekali?” tanya Vernon.
“Sedang PMS, ya?” tambah Mingyu. Kedua pria itu lantas berhigh-five sambil cekikikan. Wonwoo menggeleng menyabarkan diri.


Soal kamar, pada akhirnya Mingyu dan Vernon justru sekamar berdua, sementara Wonwoo mau tak mau harus pindah ke kamar lama Vernon, bersama Taeyong. Ia tak mengerti kenapa dua orang itu berlomba-lomba memperebutkannya kalau pada akhirnya ia dibuang begini.


“Eh, itu samudramu! Tokoh dalam novel!” celetuk Vernon spontan. Mereka semua serempak menoleh ke arah yang sama. Ke arah Park Hyo Jin, tepatnya.


Wonwoo bisa merasakan sudut bibirnya melengkung membentuk senyum. Mereka sudah mulai kuliah sejak hari Senin, dan ini pertama kalinya dia melihat Hyo Jin lagi. Dengan potongan rambut baru—sedikit lebih pendek dengan warna coklat karamel—gadis itu terlihat semakin mengagumkan saja.


Wonwoo berdiri seraya merapikan kausnya, sudah berniat untuk menghampiri Hyo Jin saat tiba-tiba saja seorang pria merangkul gadis itu dari belakang. Wonwoo mencelos.


“Bukankah itu L.Joe? Kukira mereka sudah putus,” komentar Vernon.


Saat itu, Hyo Jin tak sengaja menoleh padanya seraya mengumbar senyum tipis. Namun Wonwoo cuma balik memandangnya dengan datar, lantas membuang muka. Oke, itu memang haknya untuk memilih L.Joe (yeah, gadis itu bilang sendiri bahwa jatuh cinta menggiringmu pada kebodohan, dan bukan hanya bicara, ia pun mempraktikkannya dengan benar) tapi Wonwoo tetap tak bisa menahan diri untuk tidak merasa kecewa.


“Ada apa dengan Park Hyo Jin?” tanya Mingyu tak tahu menahu.
“Yeah, bagaimana bisa mereka masih pacaran?” sambar Vernon.
“Bukan, maksudku, apa hubungannya dia dengan Wonwoo?”


Vernon langsung menoleh pada Mingyu dengan mata membelalak. “Kau serius tidak tahu? Itu perempuan yang Wonwoo suka.”


“P-perempuan yang Wonwoo suka?”
“Bagaimana bisa kau tidak tahu? Semester lalu kalian benar sekamar, kan?”
“J-jadi, itu gadis yang mencium rahangmu dengan hidung?” Mingyu menjeda sesaat sebelum menepukkan tangannya dan berteriak keras. “Ya ampun! Kenapa kau tak pernah bilang kalau gadis itu adalah Park Hyo Jin? Heh, aku pernah satu proyek teater dengannya. Aku punya nomor ponsel dan nyaris semua akun snsnya. Wonwoo, astaga, kau benar-benar idiot!”


“Oh, benar. Kau pernah berperan jadi kakak laki-lakinya di pentas tengah semester.” Vernon menambahkan, sementara Mingyu mengangguk-angguk dengan kencang sampai kepalanya sakit.


“Aku bisa memberimu nomornya sekarang jika kau…..”
“Tidak, terima kasih,” potong Wonwoo dingin. “Aku duluan, ada urusan.”



**********



Wonwoo tak berbohong saat berkata ‘ada urusan’. Pria itu pergi ke gedung UKM radio yang letaknya jauh di belakang gedung serbaguna, di lingkar terluar area kampus. Jalan setapak menuju ke sana sudah dipenuhi rumput, ilalang di kanan kirinya pun sudah semakin tinggi. Begitu sampai, Wonwoo disambut dengan begitu banyak orang, delapan—jika ia tak salah menghitung. Mereka semua memakai sarung tangan karet, masker dan membawa peralatan kebun.


Wendy menjadi orang pertama yang menyadari keberadaan Wonwoo.


“Hei,” sapa Wendy sambil menurunkan maskernya ke leher. “Mencari sesuatu?”
“Y-yeah,” jawab Wonwoo. “Tunggu, t-tidak, maksudku tidak.”


Saat itu, Changjo, Seungkwan, dan beberapa wajah lain yang kurang familiar menoleh bersamaan. Rasa panik menyerang Wonwoo sampai ia sulit bernapas. Walaupun tak bicara apa-apa, mereka jelas-jelas mengirimkan pandangan yang menyuruhnya pergi.


Changjo melepaskan kaitan maskernya, membuatnya menggantung di satu telinga. “Apa yang membawamu ke sini?”


“A-aku… hanya, err begini,…..”
“Bicaralah yang benar!” seru Changjo tegas.
“Aku mau minta maaf!” Wonwoo refleks balas berseru. “Maaf sudah meninggalkan siaran terbuka tanpa bicara apa-apa, maaf sudah mengacaukan acara radio waktu itu. Aku sudah lama ingin menemui kalian, tapi aku tidak berani.”


Mereka semua terdiam. Bahkan Wendy yang senantiasa menatapnya dengan mata ramah pun terdiam juga.


“Setelah mengacaukan siaran terbuka, alih-alih minta maaf, aku malah tidak pernah datang ke sini lagi. Aku mengerti aku salah, dan jika kalian mengizinkan, bolehkah aku memperbaikinya?”


“Kau mau kembali ke UKM?” tanya Wendy, matanya berbinar namun juga ragu di saat yang sama.
“Kau tahu kami tak menerima anggota partai, kan?” tambah Changjo, ketus, dingin dan sok seperti biasa.


“Ya, tentu aku tahu. Aku sudah keluar dari partai sejak lama.”


Changjo melepas kedua sarung tangannya hanya untuk bersedekap dengan tampang galak. Wendy menggeleng-geleng melihat tingkah pria itu. Demi Tuhan, Choi Changjo cuma wakil, Wendy lah ketua UKM radio yang sesungguhnya.


“Bagaimana kami bisa percaya kau tidak akan kabur lagi?”
“Aku berjanji.”
“Kau pikir janjimu itu cukup?”
“Jadi bagaimana supaya cukup? Apa yang kau inginkan?”


Changjo tak langsung menjawab. Ia memberi jeda sekian lama supaya menambah kesan dramatis, sebelum akhirnya menoleh pada Seungkwan dan menyuruhnya berdiri di sampingnya.


Tangan Changjo meremas bahu Seungkwan selagi ia berjalan ke belakangnya. “Soal itu, biar kuserahkan pada Seungkwan,” katanya. “Dia yang paling panik saat kau tidak datang. Seungkwan harus mengganti beberapa naskah sendirian. Kau mungkin lupa, tapi itu bukan hanya siaran perdanamu saja, itu siaran perdana Seungkwan juga. Bayangkan bagaimana perasaannya saat itu!”


Kecanggungan mencekik Wonwoo tanpa ampun. Seungkwan sepertinya sangat sakit hati sampai tidak mau menatapnya. Rasanya seperti ditampar. Wonwoo memang tak pernah memikirkan ini, dia dan Seungkwan nyaris tak pernah bertemu karena mereka berbeda fakultas. Tapi setelah dipikirkan, sikap pengecutnya waktu itu benar-benar tidak bisa dimaafkan. Dia sudah mempermalukan Seungkwan, membuat pria itu kalang kabut di meja siaran di tengah-tengah lobi, sendirian.


“Kau baru bisa bergabung dengan kami jika Seungkwan mengizinkan,” kata Changjo, kemudian melanjutkan dengan suara besar, “aku menganggap semua anggota radio sebagai keluarga, dan aku tak mau ada kecanggungan, apalagi kebencian di antara keluargaku. Jadi, lebih baik kalian selesaikan masalah ini dulu. Soal menjadi anggota UKM atau tidak, itu urusan belakangan.”


Setelah Changjo menjauh ke belakang, Seungkwan mendengus keras sebelum akhirnya memaksakan diri untuk menatap Wonwoo. “Dengar, aku tidak membencimu. Aku hanya tidak suka dengan sikapmu yang tidak ada otaknya itu. Bukan hanya kau saja yang gugup, oke? Aku juga sangat gugup sampai rasanya jantungku mau meledak, tapi aku tetap datang. Gugup saja sudah sangat mengganggu, tapi kau malah memutuskan untuk tidak datang dan membuatku tambah gugup lagi. Kau benar-benar hampir membunuhku, tahu tidak?”


“Aku tahu,” kata Wonwoo. “Aku benar-benar minta maaf.”


Wonwoo sudah menyiapkan diri untuk mendengar ‘kau pikir maaf saja cukup?’ namun Seungkwan malah menepuk bahunya. “Ini semua terserah Wendy dan Changjo, tapi aku sama sekali tak masalah jika kau mau bergabung.”


Wonwoo terbelalak. “B-benarkah?”


“Ya. Tentu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, jadi lebih baik kau masuk tim radio dulu.” Seungkwan mengulurkan tangannya sambil menyeringai kecil. “Akan lebih mudah membalasmu jika kita sering bertemu, iya, kan?”


“Benar.” Wonwoo sepakat, kemudian menjabat tangannya.


Saat itu, Changjo mengambil gunting rumput dari tangan Seungkwan dan memberikannya pada Wonwoo. “Tugas pertama sebagai anggota radio,” katanya datar.


Wonwoo menerima gunting rumput itu.


“Dan satu lagi,” katanya seraya berbalik. “Selamat datang.” Choi Changjo, untuk pertama kalinya dalam sejarah, tersenyum pada Wonwoo. Dan Wonwoo praktis balas tersenyum, hatinya mencelos senang. Ia benar-benar merasa diterima. Rasanya seperti memenangkan sesuatu, dan gunting rumput di tangannya ini adalah pialanya. Wonwoo berpikir untuk mengucapkan sepatah dua patah kata kepada seluruh anggota UKM barunya itu saat Wendy tiba-tiba berteriak dari arah belakang.


“Yah, sudah cukup dramanya! Kalian semua kembali bekerja! Banyak yang harus dibersihkan. Kalian tak mau gedung radio kita dianggap kumuh oleh mahasiswa baru, kan?”




**********



Wonwoo tinggal di gedung radio selama beberapa jam, sementara nyaris semua anggota sudah kembali ke asrama. Hanya tersisa Wendy dan seorang anak semester tiga bernama Jisoo, sedang mengobrol sambil membersihkan barang-barang di ruang siaran.


“Aku duluan,” teriak Jisoo pada Wendy, kemudian terkejut begitu melihat Wonwoo masih duduk di sofa luar. “Eh, masih di sini? Aku duluan, ya.”


Wonwoo menganggukkan kepala sambil tersenyum ramah. Jisoo pun menghilang di jalan setapak yang sudah bersih dan bebas dari rumput liar itu.


Tak lama kemudian, Wendy ikut keluar. Gadis itu mengunci pintunya dengan terburu-buru, lantas berbalik dan langsung menjerit melihat Wonwoo.


“K-kau masih di sini?”
“Ya, maaf membuatmu terkejut.”
“T-tidak apa-apa. Kenapa kau masih di sini? Ayo kembali ke kampus! Sebentar lagi gelap.”
“Duluan saja.”
“Kau mau bawa kuncinya?” Wendy mengulurkan kunci di tangannya.
“Tidak usah. Aku tidak masuk. Cuma mau duduk di sini saja, dulu ini tempat favoritku.”
“Oh, begitu.” Wendy menarik tangannya lagi. “Kau tidak apa-apa sendirian?”
“Tidak apa-apa.”
“Baiklah, kalau begitu aku duluan.” Mereka melambai satu sama lain, sebelum akhirnya Wendy beranjak pergi. Namun baru saja kakinya menginjak bebatuan di jalan setapak, kepalanya menoleh lagi pada Wonwoo.


“Maukah kau cerita padaku?”
“Cerita apa?”
“Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau kelihatan gelisah? Hyo Jin lagi?”


Wonwoo tersenyum tipis, “Apa namanya tertulis di keningku?”


“Yeah, tinta permanen.”


Keduanya mendenguskan tawa.


Setelah itu, Wonwoo malah menatap rerumputan. Wendy merasa tak punya pilihan lain. Ia paling tidak bisa melihat siapa pun (terlebih seseorang yang ia kenal) sedih dan sendirian, rasa peka dan keibuan sudah mengalir deras di darahnya.


“Wonwoo?”
“Ya?”
“Maukah kau menemaniku pulang?” pinta Wendy, hanya supaya bisa mengajaknya bicara. “Sebentar lagi gelap.”



***********



Changjo benar. Wendy memang menyukai Wonwoo. Dia sudah menyukai Wonwoo semenjak pertemuan pertama mereka di kantin fakultas musik. Mereka masih semester satu dan semua orang sibuk mendekatkan diri dengan teman-teman baru, namun Wonwoo malah duduk di dekat mesin minuman. Ia mengajak ngobrol petugas bersih-bersih yang sedang memisahkan sampah, Wonwoo menyuruhnya duduk di sebelahnya dan menawarkan sandwich-nya dengan ramah, tanpa ekspresi ‘aku lebih baik darimu’. Pria itu terus tersenyum dan bicara dan menanyakan keluarganya. Dan Wendy merasakan hatinya terus mencelos dan mencelos, dan bibirnya terus tersenyum dan tersenyum, cowok seperti itu sudah langka di muka bumi, kan? Kemudian mereka bertemu lagi di UKM radio dan Wendy tak bisa lebih senang lagi.


Wendy tahu sofa di luar ruang siaran merupakan tempat favorit Wonwoo, Wendy sering melihatnya di situ sewaktu masih aktif; bermain gitar, bercanda dengan teman-temannya, atau hanya duduk memerhatikan langit. Wendy tahu Wonwoo sering menyendiri di ruang musik, Wendy tahu betapa tulusnya permainan Wonwoo, dia sering mengintip saat pergantian kelas. Dan Wendy juga tahu betapa kikuknya dia jika harus membawakan permainan gitar super tulus itu di depan kelas. Wonwoo hanya bersinar saat tak ada yang melihat.


Selain itu, Wendy juga menyukai Wonwoo karena pria itu memiliki kepedulian yang tinggi. Wonwoo senantiasa berbuat baik tanpa pandang buluh, tanpa pamrih, tanpa membutuhkan credit atas perbuatannya. Ia sering sekali mendapati Wonwoo mengalah kepada juniornya saat mengambil puding, atau memberikan buku paketnya kepada Hakyeon, pria itu sudah keringat dingin saat Wonwoo tiba-tiba menyodorkan buku miliknya sambil berkata ‘pakai saja, aku malas mendengar ocehan dosennya’ lantas keluar kelas—serta puluhan perbuatan baik lain yang entah mengapa selalu terjadi di depan mata Wendy.


Bagi Wendy, jika semua perempuan melihat Wonwoo dari sudut pandangnya, maka tidak akan ada satu perempuan pun yang tidak menyukai dia. Pria itu sangat misterius, tenang dan tak terduga. Dia tak menonjol di kelas, tapi oh Tuhan, Wonwoo selalu menonjol di matanya. Wendy tak tahu kalau ternyata ia menyukai cowok pendiam sampai bertemu Wonwoo.


Tapi mungkin, ia akan berubah pikiran setelah malam ini. Setelah menghabiskan nyaris sepuluh menit mendengarkannya.


“Aku bersumpah mereka sudah putus. Itu pasti hanya salah paham.”
“Kalau sudah putus, kenapa dia diam saja saat dirangkul begitu?”
“Kalau soal itu, aku juga tidak tahu. Tapi aku bisa menanyakannya pada Hyo Jin.”
“Tidak usah. Mereka akan jadian lagi secepatnya, percaya padaku. Aku sudah hapal.”


Wendy mendecak. Wonwoo benar-benar keras kepala dan terus mengeluhkan hal yang sama. “Kau lupa ya aku sekamar dengannya? Aku bisa membeberkan semua cerita Hyo Jin padamu, tapi aku bukan teman yang seperti itu. Intinya, terserah kau mau percaya atau tidak, tapi mereka benar-benar sudah selesai.”


Saat itu, ponsel Wendy berdering. Nama Hyo Jin tertera di layar. Diliriknya Wonwoo dengan tatapan kesal sebelum mengangkat panggilan itu.


“Halo, Hyo?.....Pasar loak Anseong? Sekarang?......Tapi sebentar lagi gelap, kau yakin toko bukunya masih buka?................Pergi dengan siapa?..........Mau kutemani?..............Ya sudah hati-hati……….Yeah, bye”


“Dia ke pasar loak?” tanya Wonwoo begitu Wendy menurunkan ponselnya.
“Ya.”
“Dengan siapa?”
“Sendiri. Kalau kau mau ikut, aku akan menyuruh anak itu menunggu.”
“Jangan,” tolaknya. “Tunggu, mungkin sebaiknya aku ikut. Tapi kau yakin mereka sudah putus? Aku muak menjadi orang ketiga.”


“Jadinya kau mau ikut atau tidak?”


Wonwoo terlihat bimbang sekali. Ia bergerak gelisah dan mengusap-usap pelipisnya seperti sedang ulangan.


Wendy benar-benar tidak tahan lagi. “Mungkin sebaiknya aku tidak menyukai cowok pendiam,” katanya, lebih kepada diri sendiri.


Wonwoo berhenti mengusap pelipisnya dan menoleh. “Apa?”


“Aku tak tahu kau bisa begitu merepotkan.”
“A-aku?”
“Kau membuatku sakit kepala. Kau pikir dengan duduk di depan ruang siaran bisa membuat Hyo Jin suka padamu? Kalau suka ya dikejar! Kalau tidak kubujuk untuk mengantarku ke sini, kau pasti masih di UKM, kan? Duduk termenung, berlagak seperti akan mati besok. Cih.”


Wonwoo benar-benar terkejut. Ia cukup yakin Wendy pasti dirasuki roh jahat sampai bisa membentaknya begini.


“Dan jangan menyimpulkan seenaknya! Hyo Jin dan L.Joe bisa jadi hanya berteman. Memangnya teman tidak boleh saling rangkul? Sekarang katakan padaku! Kau mau ikut Hyo Jin ke pasar Anseong atau tidak? Aku akan meneleponnya sekarang jika…”


“WEN!!!!!” Seseorang meneriakinya dari jauh. Wendy dan Wonwoo sontak menoleh.


Changjo berlari menghampiri mereka dengan napas tersengal-sengal. “Kunci kamarku tidak ada,” keluhnya.


“Huh? Jatuh?”
“Sepertinya sih begitu. Ayo cari! Ini, aku bawa senter,” kata Changjo sambil menyodorkan senternya pada Wendy, lantas menoleh pada Wonwoo. “Kau juga! Ayo ikut aku!”


Wonwoo menahan kakinya. “A-aku tidak bisa.”


Changjo dan Wendy yang sudah berbalik menuju gedung radio praktis berhenti. “Kenapa? Ayolah, kalau lebih banyak orang pasti akan lebih…”


“Aku ada urusan,” potong Wonwoo, kemudian matanya beralih pada Wendy. “Tidak usah bilang apa-apa pada Hyo Jin.”


“Maafkan aku, tapi aku benar-benar harus pergi. Semoga kuncimu ketemu. Bye.”


Dan pria itu pun berlari pergi.


“Kau tahu, aku bersumpah tidak akan mengencani cowok dari fakultas musik,” kata Wendy begitu Wonwoo menghilang di balik gedung serbaguna. “Mereka kebanyakan berkutat dengan lirik lagu. Amit-amit klisenya.”


“O..kay, bisakah kita membahas itu nanti? Kunciku masih sendirian entah di mana.”
“Dengar, Changjo. Maaf karena tak pernah mengaku, tapi yeah, kau benar. Aku memang menyukai Wonwoo. Anak itu sopan sekali. Aku suka cowok yang sopan, tapi mungkin bukan Wonwoo.”


“Sopan, huh? Memangnya aku kurang sopan?”
“Kau dan sopan sama sekali tak bisa diletakkan di satu kalimat, tahu tidak?”
“Aku penasaran sesopan apa si Wonwoo.”
“Pokoknya dia yang terbaik.”
“Dia pasti mengetuk pintu sebelum masuk Mcdonald, ya?” sindir Changjo.
“Kalau tersandung batu, dianya yang minta maaf,” tambah Wendy.


Keduanya berpandangan dan praktis menyemburkan tawa.


“Wen, astaga! Kita tak boleh tertawa di saat seperti ini. Ayo cari kunci kamarkku!”
“Kenapa bisa jatuh, sih? Merepotkan sekali.”



**********



Malam itu, Hyo Jin menaiki bus menuju pasar loak Anseong. Mencari buku, katanya pada Wendy. Well, Hyo Jin tak berbohong, hanya saja… kalau cuma mencari buku, ia harusnya bisa menunggu sampai besok pagi. Terlebih, besok adalah hari Minggu, waktu sempurna untuk jalan-jalan. Dia bisa mengajak Wendy, sekalian lari pagi di lapangan sebelah pasar dan masih punya waktu berlimpah sebelum malam.


Namun buku bukan satu-satunya hal yang Hyo Jin cari. Entah persisnya apa, tapi ia merindukan sesuatu. Mungkin rindu akan gemerlap pasar Anseong di malam hari; lampion, toko-toko unik, jajanan pasar. Mungkin rindu akan kenangannya juga, akan segala rasa yang tertinggal di sana, terselip di antara kios-kios.


“Awas!” Seseorang meneriakinya, sementara seseorang yang lain melesat dan mengulurkan tangannya, mendorong gumpalan tas super gemuk yang nyaris jatuh ke kepala Hyo Jin.


“Astaga,” sengal sang gadis, terkejut. Lantas lebih terkejut lagi begitu menoleh dan mendapati Wonwoo lah yang mendorong tas itu. Tangan pria itu masih menempel di belakang kepalanya.


Wonwoo terpana sejenak sebelum tersadar dan langsung membuang muka, tak lupa menarik tangannya juga. Ia benar-benar ingin mengerang, bukan begini yang ia harapkan. Rencananya, Wonwoo hanya akan mengawasi Hyo Jin diam-diam sepanjang malam, namun tas berengsek itu malah memutuskan untuk jatuh. Tadi, begitu melihat tas tersebut bergulir miring, badan Wonwoo secara refleks meluncur dari kursi belakang.


“Maaf, itu tasku,” kata seorang pemuda seumuran mereka, mungkin pendatang yang baru migrasi ke Anseong untuk kuliah.


“Apa tujuanmu masih jauh?” tanya Wonwoo.
“Tidak, sih. Hanya dua halte lagi”
“Kalau begitu bisakah tasnya diletakkan di depanmu saja? Itu melebihi muatan, bahaya kalau dipaksa di atas,” katanya, agak geram, namun masih terdengar sopan.


Wonwoo lalu menoleh pada Hyo Jin, yang ternyata masih menatapnya. “Sebelahmu kosong, kan?”


“Y-ya,” jawab Hyo Jin.
“Sebelum duduk, harusnya kau periksa barang yang ada di atasmu. Dan tolong biasakan untuk merapat ke jendela,” kata Wonwoo datar, lalu berbalik, hendak beranjak kembali ke kursinya.


Hyo Jin menyambar bagian belakang jaket Wonwoo. “Di sebelahku kosong,” katanya, menekankan. “Dan aman, maksudku, tak ada sesuatu yang akan jatuh ke kepalamu.”


“Aku mau duduk di belakang saja.”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa, hanya—“ Wonwoo tak bisa memikirkan alasan yang masuk akal dan akhirnya berdecak. “Baiklah.”


Hyo Jin langsung bergeser dan Wonwoo mengenyakkan diri di sebelahnya.


Hyo Jin terus menoleh ke luar jendela selama beberapa saat, sebelum akhirnya mereka menoleh satu sama lain dan bicara bersamaan.


“Kau duluan,” kata Wonwoo.


Hyo Jin menarik napas. “Aku cuma mau bilang… kalau tadi siang, aku dan L.Joe, itu bukan apa-apa.”


“Memangnya kenapa kalau ‘apa-apa’?”
“Kenapa kau menyebalkan sekali?”
“Aku cuma tanya. Apa urusanku kalau kalian masih ‘apa-apa’?”
“Kalau kau sebegitu tak peduli, kenapa tadi siang membuang muka?” Wonwoo baru hendak membuka mulut saat Hyo Jin menjawab pertanyaannya sendiri. “Kau cemburu pada L.Joe, makanya kau membuang muka.”


Wonwoo tak merespon. Dan Hyo Jin menganggap sikap diamnya itu sebagai tanda bahwa jawabannya benar.


“Sekarang giliranmu, apa yang mau kau katakan?”
“Err… itu tidak penting.”
“Katakan saja.”


Wonwoo melirik Hyo Jin sekilas. “Aku.. suka penampilan barumu—rambutmu. Rambutmu bagus.”


Senyum di wajah Hyo Jin mengembang. “Dan menurutmu itu tidak penting?”


“Bukan, aku hanya… aku yakin kau sudah mendengar itu berulang kali.”
“Tak ada yang memuji rambutku selain adik laki-lakiku,” sangkal Hyo Jin. “Itu pun tidak benar-benar memuji.”


“Terima kasih,” tambahnya.
“Apa kau mau ke pasar loak juga?” Hyo Jin bertanya dengan antusias.
“Ya.”
“Aku juga!” Ia berseru, kebahagiaan terpancar terlalu jelas dari suaranya. Pipi gadis itu merona malu, lantas kembali berkata dengan volume dan kadar kebahagiaan yang dikurangi. “Kebetulan sekali.”


“Yeah, kebetulan sekali.”
“Kau mau ke toko Paman Ong?”
“Kau tahu Paman Ong?”


Hyo Jin terdiam. Di kepalanya, dirinya yang lain sedang mengguncang badannya sendiri, menyuruhnya berhenti melontarkan kalimat tanpa berpikir. “Aku tidak mengenal Paman Ong, tapi… aku..mendengarmu memanggilnya begitu. Aku…”


“Menguping,” sambung Wonwoo.
“Tidak sengaja dengar,” ralat Hyo Jin.


Wonwoo mulai tertawa. Hyo Ji mendecak, menyuruhnya berhenti.


Tiba-tiba saja Wonwoo merasa senang dan sedih di saat yang sama, semua ini terasa familiar, rasanya persis seperti malam pertama mereka menuju pasar Anseong, seolah ia sedang mengalami kejadian yang sama untuk kedua kalinya. Malam itu, Hyo Jin duduk di samping jendela dan berdecak menyuruhnya berhenti. Malam itu, Hyo Jin juga sedang putus dari L.Joe. Wonwoo berpikir apa ia akan senang setengah mati lagi malam ini, kemudian hancur lebur di esok hari.


Wonwoo berusaha mengenyahkan pikiran itu. Ia mencari topik obrolan dan mendadak teringat dengan baju gipsi yang dibelinya. Benar-benar konyol. Bisa-bisanya ia masuk ke toko aneh itu, terlebih membeli sesuatu di sana. Sebagian besar dari Wonwoo menolak untuk bercerita, tapi jika tidak sekarang, Paman Ong pasti akan mempermalukannya lebih parah lagi.


“Kau ingat baju gipsi yang melambai-lambai itu?”
“Kau membelinya,” tebak Hyo Jin. Wonwoo benar-benar membenci gadis itu karena ucapannya selalu akurat. Ia bahkan tak mau repot-repot mengangguk mengiyakan karena nampaknya Hyo Jin pun tak membutuhkan pembenaran dari tebakannya.


“Apa kau sebegitu merindukanku?” goda Hyo Jin.
“Ya,” balas Wonwoo jujur. “Aku sangat sangat merindukanmu sampai tak sadar sudah membelinya.”


Hyo Jin bisa merasakan wajahnya terbakar. Ia tak menduga Wonwoo bisa bicara begitu gamblang, pasti Hyo Jin sudah meracuninya terlalu banyak.


“Aku tinggal di ruko Paman Ong selama liburan. Aku tinggal di area Pasar Anseong dan setiap hari rasanya seperti bersamamu,” ungkap Wonwoo. “Aku baru tahu hanya dengan mengunjungi suatu tempat sekali saja, kau bisa melekat di sana secara permanen. Jadi, kalau itu yang kau tanyakan, maka jawabannya adalah iya, aku memang merindukanmu. Aku membeli teh susu Thailand di sana nyaris tiap malam, padahal aku sama sekali bukan penyuka teh, apalagi teh yang dicampur susu.”


“Kau aneh sekali,” kata Hyo Jin, berbisik.
“Aku tahu. Aku akan berhenti.”
“K-kau akan berhenti?” Nada suaranya terdengar kecewa, dan hal itu sukses membuat Wonwoo tersenyum. Pria itu lantas berkata dengan nada serius yang dibuat-buat, “Tidak ada yang menjual Thai Tea di kampus. Aku tak mungkin naik bus setiap malam hanya untuk membelinya, kan?”


“Tch, dasar!” Hyo Jin menggerutu. Ia sudah berpikir bahwa yang Wonwoo maksud dengan berhenti adalah ‘berhenti menyukainya’.


“Lagian, sekarang aku bisa melihatmu kalau rindu,” tambah Wonwoo dengan suara rendah.


Hyo Jin mendengus, lalu menyandarkan kepala dan mencoba bernapas dengan teratur. Bisakah Wonwoo berhenti mengucapkan kata-kata seperti itu? Jantungnya serasa melayang. Mereka duduk sangat dekat dan meletakkan tangannya di pangkuan masing-masing, sehingga jemari mereka nyaris bersentuhan.


“Maaf sudah menghancurkan banyak hal. Jika tidak ada aku…”
“Jika tidak ada kau, semuanya akan tetap begini,” sela Hyo Jin. “Hanya saja dengan skenario yang berbeda. Dan bisa jadi lebih buruk.”


“Aku sempat mengira aku akan sakit hati seumur hidup. Tapi ternyata hanya selang beberapa bulan saja, aku sudah baik lagi, sudah tak menyesali apa-apa lagi. Bahkan sekalipun aku diberi kesempatan untuk menghapus atau mengubah sesuatu, aku bersumpah tak akan ada yang kuubah.”


“Yeah, tapi maaf karena..”
“Aku akan sangat berterima kasih jika kau berhenti meminta maaf,” selanya. “Kau tak bersalah sama sekali.”


“Menurutmu begitu?”
“Ya. Kukira aku sudah mengucapkannya sejelas mungkin.”
“Yeah,” desah Wonwoo. “Dan soal kita, Wendy bilang kau sudah selesai dengan pria itu. Dan kau bilang kalian sudah tidak ada apa-apa. Jadi, apakah aku boleh menarik kembali kata-kataku di rumah sakit?”


Hyo Jin mengamati tangan mereka, berharap ia tak jadi orang pertama yang menautkan jemari-jemari itu. “Kata-kata yang mana?”


“Soal mengakhiri semuanya,” jawab Wonwoo. “Sudah kupikirkan. Aku tak mau ada yang berakhir.”


Hyo Jin menoleh menatap Wonwoo sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Wajahnya memerah dan berkilau seperti matahari terbenam. “Aku juga tak mau ada yang berakhir.”


Bus berhenti dan pemuda bertas besar tadi turun. Dari kaca, Hyo Jin tak sengaja menatap pemuda itu dan langsung menganggukkan kepalanya. Jika Wonwoo menyelesaikan masalah tas jatuh tadi dengan emosi, mereka tak mungkin bisa saling menganggukkan kepala  dengan ramah seperti ini. Sesaat Hyo Jin merasa amat bersyukur, dilindungi tanpa harus melukai perasaan orang lain terasa sangat menyenangkan.


Begitu bus berjalan lagi, Wonwoo mengusapkan punggung tangan Hyo Jin dengan punggung tangannya sebelum mengaitkannya dengan erat. Gadis itu langsung menoleh dengan mata membelalak. Wonwoo mengeluarkan senyum tipis dan ekspresi wajahnya melembut.


Hyo Jin tak tahu betapa perkataannya barusan membuat Wonwoo berbunga-bunga, yang ia tahu, wajah Wonwoo sekarang diterangi oleh lampu jalan berwarna oranye dan melihat pemandangan itu dari jarak dekat serta-merta membuatnya ikut berbunga-bunga.


“Tapi.. aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak pacaran,” sahut Hyo Jin. “Aku hanya merasa.. terlalu obsesif pada hubungan, dan aku sadar itu salah. Sesuatu yang berlebihan tidak pernah baik.” Suara Hyo Jin kian memelan. Wonwoo tampak waspada. Hyo Jin tak bisa menebak apa pria itu bisa menerima keputusannya ini atau tidak. “K-kau tahu, aku hanya ingin…. sendiri dulu, memperbanyak teman, memperbaiki diri.”


Wonwoo tak merespon. Hyo Jin mendesah, “Dengar, aku..”


“Aku tidak minta kita pacaran sekarang,” selanya, lantas mempererat genggaman tangan mereka. “Kapan pun kau bersedia.”


Hyo Jin menghela napas lega dan balas tersenyum.


“Terima kasih,” katanya.
“Kau tahu, aku tak mengharapkan apa-apa darimu. Duduk di sini saja, tanpa melakukan apa-apa, aku sudah sebahagia ini.”


“Aku juga.”
“Tapi..." Wonwoo menoleh dan bertanya dengan hati-hati, "Bisakah kita melakukan ini, maksudku jalan-jalan malam seperti ini, sesekali?” 


"Tentu," jawab Hyo Jin.
“Dan jalan-jalan pagi, sesekali?” tambahnya.
"Dan menonton konser, sesekali?"
"Dan pergi ke bioskop, sesekali?"
“Dan, ini,” Wonwoo mencium keningnya, “sesekali?”
“Juga ini,” Hyo Jin mencium tautan tangan mereka, “sesekali?”
“Yeah, semua itu, bisakah?” tanya Wonwoo.
“Ya.”


Wonwoo menunduk untuk menciumnya. “Ya?”


"Ya. Asal konser yang kau maksud bukan konser crying cheese lagi."


Wonwoo tertawa. “Tidak lagi.”



END

Comments

Popular Posts