Getting Better - Part 2




Vernon sudah memantapkan dirinya untuk tidak menyerah. Ya, tidak sedetikpun ia berpikir untuk membiarkan gadis yang selalu memasang tampang datar itu menikmati jabatannya begitu saja. 


Ia tahu ini agak berlebihan, tapi ia memang akan merebut tahtanya kembali. Ia akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.


“Wow, kau datang lagi?”



Ia tak menghiraukan sapaan Somi yang kelewat sinis di depan pintu dan terus berjalan masuk ke ruangan BEM. Tanpa merasa canggung sedikitpun duduk di antara anggota BEM lainnya yang sedang sibuk mendiskusikan spanduk acara mereka.


“Ini bagus Jun. Tapi ini terlihat kurang orisinil. Kau mengerti, kan?” komentarnya.

Jelas suaranya membuat semua orang di ruangan itu menatapnya dengan tatapan ‘yang benar saja’ padanya. Tapi kulitnya sudah tebal seperti kulit badak. Ia merangsek lebih dekat ke arah Jun.



“Kau hebat kawan. Tapi ini tidak seperti dirimu. Too much pressure, too much demand.” Ia menatap serius Jun, melingkarkan lengannya ke pundak pria jangkung itu.


Didn’t you say art is all about freedom and honesty?” ia menggeleng kemudian menghela napas.


Man, this work is fantastic but I know you can do better. The mind blowing one. Because it’s you. Mind blowing, full of craziness, out of the box.”



Jun memandang kembali desain spanduknya. Benar. Ini memang bagus tapi bukan ini yang benar-benar ada di kepalanya. 



You know me so well, dude.” Ia melayangkan tinjunya ke lengan Vernon.


Mungkin Vernon bukan pilihan terbaik yang bisa kau jadikan seorang ketua kelompok, tapi pria muda itu penuh dengan kualitas terbaik untuk dijadikan seorang sahabat. Orang yang benar-benar mengenalnya, bahkan karyanya.



“Whoa, Vernon!” Jaebum menepuk-nepukkan tangannya sambil tersenyum miring. Benar-benar pria menyebalkan yang tidak bisa melihat orang lain bahagia.


“Seingatku kau sudah tidak punya hak untuk memberi saran. Kau bahkan bukan bagian dari kami lagi,” kata pria itu dengan nada menyebalkan.




Vernon menatap sekelilingnya, mendapati semua orang mulai menatapnya. Namun ia tak gentar. Ia tahu ia bersalah, ia tahu ia sudah menyia-nyiakan kesempatannya, tapi ia tidak akan mundur begitu saja. Ia benar-benar ingin mendapat kesempatan itu lagi.



“Kau sudah dikeluarkan secara resmi seminggu yang lalu. Terima kenyataan itu.” Kemudian Bobby angkat bicara.



Pria muda bermata sipit dengan gigi kelinci yang menurutnya membanggakan itu menggelengkan kepala. Yah, anak sok keren itu pikir ia peduli dengan gayanya yang setinggi langit.



“Kau mau kesempatan? Kemana saja kau selama ini? Kami tidak membutuhkan orang tidak bertanggung jawab sepertimu,” tambah Mino penuh emosi.



Guys, bukankah seharusnya kalian segera pergi ke kantor Hyundai untuk rapat sponsor?” kata Jun berusaha menengahi.



Dan itu cukup berhasil untuk meredakan suasana tidak menyenangkan barusan. Jaebum, Mino, dan Bobby membenahi berkas yang berserakan di atas meja, bergegas untuk pergi sesuai kata Jun.



“Ingat, kau harus segera enyah dari sini.”



Itu kecaman Mino sebelum meninggalkan ruangan bersama kedua temannya. Vernon mengembuskan napas, menatap sekelilingnya dengan frustasi.



You were wrong, so you deserve it. Tapi aku tahu kau benar-benar ingin serius kali ini. Jadi jangan menyerah, man!



Senang rasanya saat tahu ada seseorang yang berusaha mempercayainya bahkan setelah ia menghancurkan kepercayaannya. Yah, setidaknya ada Jun. 



Ia berjalan menghampiri papan berisi agenda kerja BEM departemen olahraga dan kesenian selama satu semester yang digantung tak jauh dari tempatnya berdiri. Untuk mendapatkan kembali jabatannya, ia harus meraih kepercayaan teman-temannya yang lain. Dan ia tahu itu akan menjadi tugas yang sangat berat. 



“Jadi kau masih belum menyerah?”



Tanpa menoleh pun ia tahu siapa pemilik suara itu. Zhou Tzuyu, si gadis menyebalkan yang merebut jabatannya tiba-tiba.



Ia tak menjawab. Karena seharusnya gadis itu cukup pintar untuk menyimpulkan sendiri. Lagipula ia masih tidak ingin bicara dengan gadis yang baru saja mengalahkannya. Ya, ia pria yang penuh harga diri.


Time management-mu buruk sekali. Tapi kau tahu caranya mengembangkan ide, yang artinya kau tidak terlalu buruk.” Gadis itu bicara lagi, dan nadanya masih sama. Persis seperti anggota parlemen yang sedang mengajukan pendapatnya.



Wow, thanks. Tapi aku tidak butuh pendapatmu,” balasnya sinis.



Ia tak bisa menutupi kekesalannya pada gadis itu. Bahkan tak bisa menjaga nada suaranya agar terdengar lebih santai. Bagaimana bisa?



Gadis itu adalah alasan utama atas pemecatannya minggu lalu. Ia merasa benar-benar tidak terima, namun setelah mendengar banyak hal mengenai gadis itu ia merasa kerdil. Gadis itu memang pantas untuk menggantikan orang sepertinya, tapi biar bagaimanapun ia punya harga diri.



Ia tidak akan mengakui hal itu, bahkan pada dirinya sendiri. Gadis itu memang berkali lipat lebih baik dari dirinya dan kenyataan itu membuatnya menjadi seorang banci.  



Maka itu ia buru-buru melarikan diri. Ya, sebelum ia kehilangan seluruh kepercayaan dirinya dan menjelma jadi banci sungguhan. Ia mendengus kesal. Rupanya gadis itu tahu bagaimana caranya mempermainkan kesabaran orang lain. Tzuyu si mahasiswi kebanggaan semua dosen di kampusnya malah mengikuti dirinya hingga ia keluar dari ruangan itu.


Ia mendesah, menoleh ke arah Tzuyu yang berdiri di belakangnya.



“Apa maumu? Memangnya tidak cukup ya kau mengambil jabatanku?”  



Kau juga mau mengambil harga diriku yang tinggal secuil ini?  Untuk bagian yang itu ia cukup mengatakannya di dalam hati.


Gadis itu tak menjawab, hanya menatapnya dengan penuh perhitungan. Dan demi apapun ia benci bagaimana cara gadis berdeham dan melipat tangannya. Bahkan tingkahnya saja membuat Vernon merasa tersudut.



Tzuyu jelas terlihat enang dan terkesan sangat berpendidikan. Seolah ingin memperjelas batasan di antara mereka. Si jenius dan si payah.



“Kau tidak akan menyerah begitu saja, kan?”

“Kenapa? Kau takut tiba-tiba aku menyingkirkanmu?”



Tzuyu memutar bola matanya. Ya, terus saja berlagak seolah kau itu manusia paling pintar dan berguna di muka bumi ini. Yah, memalukan memang. Tapi ia tidak bisa menyangkal kalau sosok Tzuyu memang membuatnya terintimidasi. Gadis itu membuatnya merasa seperti orang paling tolol yang pernah lahir di dunia.



“Aku punya penawaran bagus untukmu.”


Penawaran? Well, jadi gadis itu ingin menghinanya lebih jauh?



“Sebagus apapun itu, tidak. Terimakasih banyak atas kemurahan hatimu,” ucapnya.

“Setidaknya dengarkan penawaranku dulu. Kau tidak sebodoh itu, kan?”

Vernon langsung menoleh lagi ke arah gadis itu. Menatapnya dengan tidak terima.

“Kau mau bilang aku bodoh? Memangnya siapa dirimu, huh?”

“Aku tidak bermaksud menghinamu. Tapi bisakah kau dengarkan aku dulu? Oke?”



Vernon tahu Tzuyu tidak bermaksud menghinanya, ia hanya benar-benar sensitif sekarang ini. Ia sedang dilanda krisis kepercayaan diri, terimakasih pada Zhou Tzuyu. Si mahasiswi jenius kebanggaan semua dosen yang mengambil alih jabatannya.



Dan sekarang gadis itu ingin mengajukan penawaran ‘bagus’ padanya. Harga dirinya sudah cukup terluka, tidak bisakah gadis itu memahaminya?



“Kau punya bakat mengembangkan ide dan kurasa kita bisa bekerja sama. Bagaimana menurutmu?”



“Jika kau setuju kau boleh terus datang dan membantu anggota lain. Tapi kalau kau menolak, jangan harap besok siang kau boleh masuk ke ruang BEM,” tambah Tzuyu yang lebih terdengar seperti sedang mengancam.


Ia melotot, tidak menyangka Choi Tzuyu memiliki pikiran selicik itu.



“Apa setelah itu aku akan mendapatkan jabatanku lagi?”



Gadis itu mendengus jengah. “Kau bisa jadi asistenku. Ckk, apa jabatan sebagai ketua sangat berharga untukmu?”



“Asisten? Ckk, aku tidak mau jadi pembantu siapapun. Maaf, aku sangat menyesal untuk mengatakan ini, tapi aku dengan keadaan sadar sepenuhnya menolak penawaranmu yang tidak ada bagusnya itu,” ujarnya dengan sisa harga diri yang dimilikinya.


“Baiklah, kalau itu keputusanmu. Tapi ingat, kau tidak berhak lagi mencampuri proses perancangan acara ini. Permisi.”




Gadis itu memutar tumit. Pergi meninggalkannya yang mematung dengan pikiran kosong. Apa? Gadis itu sungguh-sungguh? Ckk, masa bodoh.



****  




Tzuyu punya beberapa alasan untuk mengajak Vernon bekerja sama dengannya. Tepatnya sih, ada tiga alasan yang membuatnya meyakinkan diri untuk menghampiri pria itu dan menyatakan penawarannya.



Alasan pertama, dilihat dari kertas-kertas yang berisi ide milik Vernon, ia yakin pria itu sudah punya perhitungan matang untuk detail-detail acara ini. Kedua, biar bagaimanapun Vernon sudah berpengalaman tentang hal semacam ini. Maksudnya seperti bersosialisasi dengan anggota lain, membangun koneksi dengan orang-orang dari divisi  ataupun fakultas lain. 


Itu semua bukan keahliannya, jadi demi kenyamanan bersama ia rasa kehadiran Vernon sangat dibutuhkan.


Dan alasan ketiga, sebenarnya alasan yang ini benar-benar tidak masuk akal.



Ia bahkan tidak tahu apa alasan ketiganya ini benar atau tidak. Tapi ia tahu alasan ketiga inilah yang mendorong dirinya untuk bicara dengan Vernon kemarin sore. Ya, barangkali rasa penasaran tentang pria itu yang menjadi alasan ketiganya. Ia ingin tahu apakah pria itu memang tidak mengingatnya atau pura-pura tidak mengingatnya.



Oke, itu memang alasan paling tidak masuk akal dan benar-benar menyalahi profesionalismenya sebagai ketua acara. Tapi ia tidak akan menyangkal alasan itu. Ia memang penasaran, walau terasa agak gila.  



Ia menarik laci meja belajarnya, menyingkirkan kertas-kertas atau barang-barang yang bertumpuk menutupi sehelai sapu tangan di dasar laci. Ia menatap lekat sapu tangan berwarna biru langit dengan bordir bertuliskan enam huruf yang membentuk kesatuan nama.



Vernon.



Ia ingat betul bagaimana tampang pemilik sapu tangan itu. Vernon yang sama dengan Vernon yang tadi siang bersungut kesal dan kelewat senewen saat bicara dengannya. Tzuyu bahkan langsung mengingat sapu tangan biru langit itu waktu pertama kali melihat Vernon di upacara penerimaan mahasiswa baru.




Waktu itu Vernon sangat populer di kalangan mahasiswa baru dan juga kalangan senior. Tampang kaukasianya dan senyum memikatnya membuat semua orang ingin mengenalnya. Bahkan pada waktu masa orientasi mahasiswa baru ada banyak mahasiswi yang pura-pura mengajak ngobrol pria itu dengan alasan demi tugas mencatat semua nama mahasiswa-mahasiswi di kampus ini.




Hingga tiba gilirannya, Tzuyu mendekap erat buku catatan dengan spiral warna hitam yang ia gunakan untuk mencatat semua nama mahasiswa beserta data diri lainnya.




Vernon–entah karena sudah terbiasa dikagumi oleh banyak orang atau karena memang pria itu hanya bersikap ramah–tersenyum samar dan mengangguk menyambut ia yang datang ditemani Hayoung. Dengan sigap Vernon membalik lembar kertas yang sudah penuh, tangan kanannya sudah siap dengan sebuah pulpen.



“Vernon Choi Hansol. Kau?”


Pertanyaan itu ditujukan untuk Tzuyu, namun karena  ia tidak kunjung menjawab, Hayoung yang bersuara.



“Aku Park Hayoung. Yang ini Zhou Tzuyu.”




Vernon mengangguk kemudian menuliskan sesuatu di bukunya. Pria itu mendongak, menatapnya dengan penasaran. Saat itu Tzuyu baru berhasil menemukan kilasan kejadian yang membuatnya gelisah saat pertama kali melihat Vernon.



Pria itu… Benar, dia memang pemilik sapu tangan biru langit.




Kemudian Tzuyu mengingat rambut kecokelatan milik Vernon yang nampak halus dan berkilauan. Waktu terakhir kali mereka bertemu, poninya tak sampai menutupi mata. Pria itu nampak agak berbeda di beberapa bagian. Fitur-fitur wajahnya kelihatan lebih dewasa. Dan rahang pria itu lebih tegas dari sebelumnya.



Begitu pandangan mereka bertemu, Tzuyu sangat yakin kalau Vernon sedang memikirkan hal yang sama dengannya. Pria itu menatapnya dengan penuh perhitungan, seolah sedang mengingat sesuatu.



Namun dugaannya terpatahkan.



“Zhou Tzuyu? Begini kan tulisannya?”



Vernon tak pernah menyinggung pertemuan mereka sebelum mereka masuk ke universitas yang sama. Dan sama sekali tidak terlihat memiliki ingatan tentang pertemuan itu.



**** 




Hari ini akan ada rapat kecil di ruang BEM. Maka dari itu Tzuyu buru-buru meninggalkan kelas begitu dosen Bahasa Inggris menyudahi kuliahnya. Meski sesekali sempat merasa rikuh mendorong pintu ruangan itu dan masuk ke dalam sana, Tzuyu tetap menuju ke tempat itu seminggu belakangan ini. Yah, mau tidak mau.




Begitu ia sampai tak jauh dari ruang BEM, ia bisa melihat ada keributan sedang terjadi. Ada adu mulut yang terjadi di dalam sana, terdengar hingga ke luar sampai beberapa orang terlihat penasaran dan mendekati pintu ruang BEM. Tzuyu melangkah pelan, tersentak begitu mendapati Vernon didorong keluar secara paksa. Kemudian terdengar suara rusuh dari dalam ruangan tersebut.



Ia tak tinggal diam, ia langsung menyelip di antara keramaian. Berdiri di antara Mino dan Vernon yang nyaris melayangkan tinju ke wajah satu sama lain. Kedua pria di kanan-kirinya membeku, mendengus kasar dan terlihat siap membunuh satu sama lain.



“Ada apa ini?”



Tzuyu berusaha mencari tahu, mengedarkan pandangan pada beberapa anggota BEM yang berdiri di depan kosen pintu. Ada Bobby dan Jaebum di sana, kemudian tak jauh dari mereka, terlihat Somi dan Seulgi.



Ia melirik kedua gadis tersebut, dibalas dengan tatapan ngeri dan bahu bergetar. “Seperti biasa, Vernon memaksa masuk dan Mino sudah tidak bisa membiarkannya lagi,” kata Seulgi sambil menoleh hati-hati ke arah Mino.



“Aku hanya melakukan hal yang benar. Sampah ini tidak boleh masuk ke dalam. Ia bukan bagian dari kita lagi. Apa aku salah?”



“Tapi tidak seharusnya kau bersikap kasar padanya!” sungut Somi yang membuat Mino mendecak tidak suka.



“Apa aku harus bersikap lembek sepertimu? Maaf, aku tidak tergila-gila dengan si payah ini, tidak sepertimu!”


Suasana kian menegang, dengan hati-hati Tzuyu mendeham. Ia menatap Vernon.



“Biar bagaimanapun Mino benar. Kau tidak seharusnya di sini,” tukasnya mencoba untuk tenang.



Vernon mendengus, “Kau lupa penawaranmu kemarin? Aku boleh datang ke sini dan membantu jalannya perancangan susunan acara,” sahut pria itu tak mau kalah.



“Kau bilang apa padanya? Demi Tuhan Tzuyu!Kau tidak tergila-gila dengan si payah ini seperti seseorang, kan?” Mino melirik Somi sinis, yang dilirik pun mendesis kesal.



Tzuyu merasa tersudut. Ia mendapati Mino, Jaebum, Bobby tengah menatapnya dengan tatapan menusuk. Namun bukan Zhou Tzuyu namanya kalau tidak bisa mengatasi keadaan. Yang perlu ia lakukan adalah menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia harus tenang dan mengendalikan situasi secepatnya.




“Aku ingat dengan penawaranku. Kau memang boleh kembali ke ruangan ini kalau kau menerima tawaranku. Tapi kemarin kau menolaknya,” kata Tzuyu dengan tenang, seolah tatapan tajam milik Mino dan teman-temannya tidak mempengaruhinya.



“Kemarin aku memang menolaknya, tapi sekarang aku berubah pikiran. Aku menerima ajakan kerja sama darimu.”



Ia tak bisa bisa menahan matanya yang melotot takjub. Ia tidak salah dengar, kan? Padahal kemarin Vernon sendiri yang menolaknya dengan sangat yakin. Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?



“Tunggu sebentar. Kau sepakat dengan penawaran yang kuberikan? Menjadi asistenku? Yang artinya kau secara sadar setuju untuk mengerjakan apapun di bawah perintahku?”



Vernon mengangguk mantap, seolah ucapannya yang kemarin itu hanya main-main.



“Aku siap menerima jabatan baruku. Asisten ketua BEM departemen olahraga dan seni. Aku juga siap dengan semua tugas dan pekerjaan yang akan kau berikan,” ikrarnya dengan suara tegas dan bulat.



“Jadi aku boleh masuk ke dalam, kan?” Tanpa menunggu jawaban darinya, Vernon langsung menghilang di balik kosen pintu. Tak menghiraukan Mino ataupun Jaebum dan Bobby yang menatapnya dengan tidak suka.



“Kita perlu bicara Zhou Tzuyu,” tegas Mino sambil menelengkan kepalanya.



****   




Vernon tahu ini keputusan teramat gilanya. Ya, bahkan lebih gila daripada keputusannya mengambil jurusan hukum. Namun terlibat dengan kegiatan seperti ini adalah satu-satunya hal yang ia sukai dari kampusnya. Ya, kegiatan seperti bertemu orang lain, merancang suatu acara, mencari sponsor, melakukan riset lapangan, dan menyaksikan sendiri bagaimana acara yang dirancang dari jauh-jauh hari berjalan dengan sukses.



Hal itu yang ingin ia lakukan. Ia ingin menjadi seorang Event Organizer. Bukan mengurusi pasal-pasal seperti yang harus ia lakukan selama delapan semester. Ia ingin merancang suatu acara dan melihatnya berjalan seperti yang ia bayangkan di kepala. Itu seperti menyaksikan keajaiban terlahir.




“Aku masih tidak menyangka kau melakukannya,” komentar Jun untuk kesekian kalinya.




Ini bahkan sudah hari kedua semenjak ia mendeklarasikan dirinya sebagai asisten Zhou Tzuyu namun Jun masih saja menatapnya tidak percaya sambil melontarkan komentar yang sama.


Bahkan Somi masih suka berhenti begitu berpapasan dengannya kemudian menatap dirinya dengan dramatis. Seolah sudah tak mengenal dirinya lagi.




“Aku hanya berkorban sedikit untuk tetap bisa melakukan hal yang kusukai. Yah, tidak sedikit sih. Pengorbananku ini sungguh menakjubkan, melukai  harga diriku malah. Itu pun kalau aku masih memilikinya.”



Jun tergelak mendengar jawabannya.



Bukan hanya Jun dan Somi yang menatapnya tidak percaya, Mino dan teman-temannya malah terang-terangan menunjukkan rasa tidak suka mereka.  Menatapnya lama sambil  menguarkan aura menyeramkan kemudian mendengus seperti ada sesuatu yang menyumbat hidung mereka.




Namun bukan hanya itu, mereka bahkan sengaja memberikan tugas-tugas tidak masuk akal padanya. Seolah sengaja ingin membuatnya menyerah. Tapi bukan masalah besar untuknya. Memiliki pengalaman kerja paruh waktu membantunya menyesuaikan diri dengan tugas barunya sebagai asisten garis miring pembantu yang kerap kali diperlakukan semena-mena.



Seperti sekarang contohnya, Mino baru saja menyuruhnya mencetak slide presentasi untuk rapat hari ini. padahal biasanya mereka tidak membutuhkan print-out pada saat rapat. Parahnya anak itu baru menyuruhnya sepuluh menit sebelum rapat dimulai, yang membuatnya harus berlari dari lantai tiga menuju ruang administrasi yang terletak di lobby.



Dan saat ia sampai di ruang BEM, rapat sudah berjalan di pertengahan. Membuatnya mati kutu begitu dipelototi oleh Dosen Gu Won.  




Rapat baru usai tiga puluh menit kemudian. Para anggota terlihat lelah dan frustasi dengan tuntutan Dosen Gu Won sepanjang rapat berlangsung. Pria itu sungguh gila. Ia tahu pria itu hanya ingin departemen mereka membuat acara yang lebih bagus dan menakjubkan daripada acara yang sebelumnya dibuat departemen lain.



Katanya ‘buat anak-anak departemen lain gigit jari melihat betapa menakjubkannya acara kita’. Bukannya memotivasi anggota lain, kalimat itu justru menyisakan efek horor dan memberi beban berat. Jelas saja.



Yang kelihatan paling tertekan adalah Tzuyu. Yah, siapa lagi?



Gadis itu kelihatan menciut sepanjang rapat tadi. Seolah baru saja melakukan kesalahan yang membuat orang lain kecewa. Tapi tidak, bahkan Dosen Gu Won beberapa kali memuji kecekatannya. Tak ada yang perlu ditakuti sebenarnya. Namun wajah itu masih terlihat suram, bahkan semakin suram kalau dilihat lebih lama lagi.



Vernon menggeleng tak peduli. Ia memang asisten gadis itu, tapi bukan berarti ia juga punya tanggung jawab untuk memahami keresahan yang Tzuyu rasakan. Ia bangkit dari kursinya, menghampiri Kang Seulgi yang masih sibuk merapikan catatan hasil rapatnya.


“Hei, semuanya beres?”


Seulgi mengangkat kepalanya, “Oh, sebentar lagi. Kau sudah mau pulang?” tanggap gadis itu tanpa berhenti menulis.


“Ya. Apa ada yang kulewatkan saat terlambat tadi?”



“Tidak kok. Kau tahulah Dosen Gu Won selalu menggunakan menit-menit awal untuk berceloteh tidak jelas.”



Benar. Pria itu memang suka bicara berlebihan dengan gaya yang berlebihan pula.



“Vernon, boleh aku minta tolong sesuatu?”



Tanpa berpikir dua kali ia mengangguk yakin. Ia masih belum lupa misi ‘mengembalikan kepercayaan teman-temannya’, jadi meskipun ia sendiri belum tahu apa yang Seulgi inginkan, ia langsung menyetujuinya.



Seulgi menatapnya resah, kemudian melirik Tzuyu yang sedang menuliskan sesuatu di bukunya. Wajahnya suram, kerutan di dahinya tampak samar-samar.




“Kau harus menolongnya untuk bicara dengan para senior,” tukas Seulgi.


“Tadi siang ia menemui Hyebin sunbae dan masalah terjadi. Kau tahu kan bagaimana polah nenek sihir itu? Dan sayangnya Tzuyu bukan orang yang bisa menangani itu.”




Oh.. Jadi itu sebabnya wajah si cewek sempurna itu kelihatan suram. Ya, ia kenal siapa Hyebin itu. Senior menyebalkan dan sok berkuasa, dulunya gadis itu yang menjabat sebagai ketua Departemen Olahraga dan Seni. Sialnya sekarang ini Hyebin menjabat sebagai ketua klub radio kampus, dan lebih sialnya mereka butuh sarana itu untuk mempromosikan acara ini.


Bekerja sama dengan Moon Hyebin bukan perkara mudah. Hanya ada dua golongan yang mudah untuk bekerja sama dengannya. Entah kau salah satu orang dalam lingkaran pertemanannya atau kau adalah seorang penjilat yang ulung.



Dan ia tidak termasuk dari keduanya. Tapi Mino, Bobby, dan Jaebum begitu. Ini benar-benar sebuah kesialan yang teramat besar. Ia mendesah. Melirik ke arah Mino yang sedang berbicara dengan anggota lain.



“Kalau begitu serahkan pada Mino. Ia selalu bisa menggoda gadis manapun. Sudah terbukti kan bagaimana hobi tebar pesonanya bekerja selama ini?”



Seulgi menggeleng, menatapnya tegas. “Selama ini bukan karena Mino. Hyebin sunbae memudahkan segalanya untuk kita karena dirimu. Pesona Mino tidak mempan padanya, hanya kau. Selama ini Hyebin sunbae mudah diatasi karena kau ketuanya. Dia penggemar nomor satumu.”



Mau tak mau ia merasa besar hati mendengar penuturan Seulgi barusan. Ia kira semua kerja sama dan kemudahan yang diberikan Hyebin karena negosiasi yang dilakukan Mino. Tak disangka itu malah karena dirinya. Ya-ya-ya, pesonanya memang terlalu menyilaukan. Ia tahu itu.



Please, Vernon-ssi. Kau tidak perlu tersipu begitu. Benar-benar menggelikan!”


“Jadi biar bagaimanapun semuanya lebih mudah saat aku yang menjadi ketuanya, kan?” kata Vernon penuh percaya diri.



“Aku lebih suka Tzuyu sebenarnya. Jangan tersinggung, ya? Tapi anak itu benar-benar punya tujuan yang jelas dan bisa menjelaskan wacananya hingga terasa lebih mudah dimengerti.”


Vernon mendengus jengkel. Baru saja kepercayaan dirinya meningkat, namun Seulgi langsung menjatuhkannya hingga ke tingkat paling rendah. Ouh, rasanya sakit sekali.



“Baiklah, aku akan membantunya. Biar bagaimanapun aku kan asistennya.”

“Oiya. Aku lupa, kau kan asistennya,” kekeh Seulgi puas.



Akhirnya ia terpaksa menghampiri Tzuyu yang masih terpaku dengan tulisan di bukunya. Ia mendeham cukup keras, menyadarkan Tzuyu akan kehadirannya.



“Ada masalah?” sapanya dengan nada tak peduli.  



Tzuyu hanya mendesah, menemui matanya ragu-ragu sebelum menatap jauh ke arah pintu yang sudah terbuka.



“Masalah? Kurasa masalahnya ada pada diriku. Sebenarnya tidak serumit itu, kan?” gadis itu mendongak, mencoba mencari pembenaran.



Namun ia bergeming, hanya menatap Tzuyu dengan serius. Kalau dilihat-lihat tampang gadis itu saat ini persis anjing malang yang terpisah dari tuannya. Tiba-tiba ia merasa iba, namundengan cepat ia membuang jauh-jauh perasaan itu. Ia tidak boleh merasa iba barang secuil saja pada gadis itu.


Hei, ia belum lupa kalau gadis yang nampak seperti anjing malang itu yang membuatnya kehilangan jabatannya.


“Masalah Hyebin?”



Gadis itu menelisik, heran dengan tebakannya yang tepat sasaran. Sebagai jawaban, ia melirik Seulgi yang masih sibuk mencatat.


“Yah, seperti itu. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi. Membuat kesepakatan dengan Hyebin sunbae bukan hal yang mudah untukku.”


Tzuyu mendesah lelah, kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan.



“Yah, memang tidak mudah. Gadis itu gila pujian,” ungkapnya mencoba untuk membuat Tzuyu lebih tenang.



Namun keadaan tidak semakin membaik, gadis itu malah mengusap wajahnya lebih keras. Mendesah lebih keras, dan terlihat dua kali lebih frustasi. Melihat itu membuat Vernon tidak enak hati.



Oh, ia bukan orang yang pandai membuat orang lain merasa lebih baik. Ia saja sudah cukup tertekan dengan bebannya sendiri, haruskah ia menjadi pahlawan untuk orang lain?



“Tenang, aku akan membantumu. Aku pernah beberapa kali berurusan dengan Hyebin. Kau tidak perlu terlalu khawatir.”



Tzuyu mendongak, menatapnya dengan putus asa, seolah ia adalah ibu peri yang siap mengabulkan semua permintaan Cinderella. Detik selanjutnya Vernon tahu ucapannya terlalu mengumbar janji. Tidak seharusnya ia memberi banyak bantuan pada gadis itu.



Yang benar saja, biar bagaimanapun Tzuyu itu sudah membuatnya dipecat.


Ia berdeham, “Ya, bagaimanapun aku ada gunanya. Aku dulu juga seorang ketua,” tambahnya cepat.


Tzuyu mengangguk, kembali mengusap rambutnya. “Jadi kapan kau bisa membantuku bicara dengan Hyebin sunbae?”


Vernon berpikir sebentar, kemudian tanpa berpikir lebih banyak. Ia mengatakan. “Besok?”



Dan Tzuyu mengangguk setuju.



****  




Namun Vernon tidak kelihatan dimanapun siang itu. Padahal kemarin mereka sudah sepakat untuk bertemu di kantin. Awalnya ia pikir Vernon hanya terlambat barang beberapa menit, tapi sampai sejam lebih ia menunggu dengan segelas susu kocok cokelat yang sudah tandas, pria itu tak kunjung datang.



Akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari sana, membawa pergi tas dan rasa kecewanya. Ya, seharusnya ia tidak perlu terlalu bersemangat. Ya, mungkin Vernon punya keperluan yang sangat mendesak sampai tidak bisa menemuinya. Walau begitu, Vernon bisa memberitahu sebelumnya.



Ia berjalan gontai, melintasi lorong ponjong yang dipenuhi mahasiswa lain yang lalu lalang dengan tawa cemerlang. Hah, mereka semua tertawa keras-keras seolah sedang mengejek kemalangannya.



“Hei, melamun saja.”



Ia berjingkat kaget sambil memegangi dadanya. Seulgi menatapnya penasaran, “Apa sih yang sedang kau pikirkan sampai sekaget itu?”



“Hanya sedang kesal saja,” jawabnya enggan.

Ia menekuri lantai di sepanjang lorong yang penuh bekas jejak kaki.

“Kau bertemu dengan Hyebin sunbae lagi?” Tanya Seulgi sambil terengah.



Yah, wajar saja. Seulgi pasti kewalahan menyamai langkahnya yang kelewat lebar dan cepat. Huh, biar bagaimanapun ia masih sangat kesal. Siapa yang tidak merasa kesal setelah membuang waktu sejam lebih untuk menunggu seorang pecundang seperti Vernon.



Yang lebih menyebalkannya adalah ia percaya dan menaruh harap Vernon akan membantunya. Namun ia salah besar, tidak seharusnya ia mengharapkan bantuan dari orang lain. Tidak seharusnya ia memercayai orang lain. Tidak seorangpun yang bisa membantunya. Semua orang egois dan mereka sudah cukup sibuk dengan urusan mereka sendiri.



Ya, terimakasih kepada ayahnya yang sudah mendidiknya dengan pandangan seperti itu. Kini ia merasa benar-benar kesal dan kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri. Kau tidak boleh lemah, Tzuyu. Itulah yang ayahnya selalu katakan padanya.



“Seharusnya begitu, tapi Vernon tidak datang.”



Detik itu ia menyesali suaranya yang terdengar begitu kecewa. Akibatnya Seulgi menatap dirinya dengan penuh simpati sambil menepuk-nepuk bahunya.



Tidak, ayahnya pasti akan marah karena ia bersikap kelewat lemah begini. Ia pun menjauhkan diri dari Seulgi, membuat gadis bermata lucu itu menatapnya heran. Ada rasa ingin tahu di matanya, namun beruntung Seulgi tidak mengatakan apa-apa.



“Ya, anak itu memang punya kebiasaan lupa akut. Tapi jangan khawatir, kurasa Vernon bukan sengaja melupakan janjinya. Ia pasti memiliki alasan untuk itu.”



“Ya, kuharap juga begitu,” ucapnya sambil mengulas senyum kaku.



TBC

Oke, part 2 akhirnya meluncur juga.
Sorry lumayan lama dari part 1 kemarin, but I’ve tried my best so this is it.
Untuk selanjutnya kuserahkan tongkat estafet ke author selanjutnya. Good luck!!






Comments

Popular Posts