Hello Chingu - Part 4





Oh, pantas saja Minsoo ngotot sekali agar mereka pergi ke tempat ini. Cheonsa mendengus kesal.



Cheonsa mengempaskan tubuhnya ke sofa dengan sangat kesal. Beberapa orang mengajaknya turun ke lantai dansa, yang ia tolak dengan sopan. Ia bilang ia hanya ingin minum. Cih, padahal minum lima gelas soju saja langsung ambruk.


Di sebelahnya Minsoo dan Greta masih mengobrol dan sialnya masih dengan bahasa alien yang tidak ia mengerti.


Uh, kenapa mereka tidak bicara dengan bahasa inggris saja sih, gerutu Cheonsa.




“Mau kupesankan apa?” Minsoo sudah berdiri di sebelahnya ada Greta yang tak lelah menempelinya. Tidak di penginapan, tidak di sini, perempuan itu terus saja menggelayuti lengan Minsoo. Dan pria itu tidak bermasalah sama sekali.


“Apa saja. Aku bisa minum apapun,” jawabnya jengkel.


Minsoo menatapnya tak percaya, tapi sama sekali tak mendebat. Langsung bergegas untuk memesan minuman dengan ditemani si perempuan tiang listrik yang warna rambutnya mirip smoothies pisang.


Tak mau mati kebosanan, akhirnya Cheonsa pun pergi ke toilet. Mengucuri tangannya dengan aliran air, menatap kesal pantulannya di kaca. Ia membasahi wajahnya berulang kali, lalu menatap pantulannya lagi.


Kenapa ia jadi kesal begini?


Sikapnya benar-benar aneh. Kenapa memangnya kalau Minsoo tertarik pada Greta? Kenapa? Biar bagaimanapun harus ia akui Greta itu punya semua fitur menarik yang diinginkan semua pria dari seorang wanita.


Kaki yang semampai, tubuh langsing yang tampak menggoda dengan tonjolan di sana-sini, bibir tebal yang menggoda, dan mata yang mampu menyihir siapa saja.


Kenapa ia harus merasa kesal?


Hubungannya dengan Minsoo tak lebih dari seorang turis dan pemandu wisata. Kenapa ia kesal?


Oke, ia pasti kesal karena sikap Minsoo padanya berubah setiap kali ada Greta. Minsoo akan mengabaikannya dan mengobrol seru bersama perempuan tukang main mata itu. Mereka akan tertawa, bergelayut manja, membisikkan berbagai hal yang tidak ia mengerti!


Huh, ia hanya kesal! Ya-ya-ya ia hanya merasa kesal.



Di perjalanan ini hanya Minsoo yang ia miliki. Pria itu satu-satunya orang yang bisa ia jadikan tempat bersandar. Ia kesal karena satu-satunya orang yang ia kenal di tempat asing itu direbut. Kalau saja Hyerin bersamanya, ia pun tidak akan peduli Minsoo mau menempel dengan perempuan manapun. Serius.



Kemudian ia teringat cara Minsoo menatap Greta, cara pria itu tertawa setiap kali bicara dengan perempuan itu. Minsoo kelihatan berbeda. Minsoo tidak menatapnya dengan cara yang sama, bahkan jarang tertawa selepas itu saat bersamanya.



Pria itu selalu menjaga jarak aman saat bersamanya. Huh, jadi inilah kenyataannya. Persetan dengan sosok Bang Minsoo yang pernah membuatnya susah tidur pada masa-masa SMA. Persetan dengan Bang Minsoo yang pernah mengiriminya surat cinta. Persetan!



Ia keluar dari toilet dengan kaki menghentak-hentak. Amarahnya semakin bergejolak ketika menemukan Minsoo ditemani Greta dan dua orang perempuan kaukasia lainnya di meja mereka. Minsoo kewalahan menepis tangan-tangan nakal yang menggerayangi tubuhnya, berusaha tidak menyakiti siapapun.



Stay away from my boyfriend you stupid bitches! Get off and leave him alone!


What? You stupid bitches can’t hear what I said?


Perempuan-perempuan itu langsung menghampirinya, mengintimidasinya dengan tatapan sinis. Dua di antara perempuan asing itu hendak mendorong Cheonsa tapi dengan segera Minsoo mencegahnya. Pria itu melingkarkan lengannya di sekitar bahu Cheonsa.



I’m sorry, forgive her. I think she’s too drunk,” ucap Minsoo.



Cheonsa menatap jengkel, “Aku bahkan belum minum apapun. Kita tidak perlu minta maaf,” protesnya.




**** 



Minsoo sudah lelah dengan sikap diam Cheonsa. Semenjak keluar dari kelab sampai mereka berjalan tak tentu arah di sekitar kota, gadis itu terus mendiamkannya. Bahkan tidak menanggapi pertanyaan yang ia ajukan.



Ada apa sih dengan perempuan dan strategi diam seribu bahasa mereka? Kalau Cheonsa punya keluhan, bicara saja terang-terangan. Tidak perlu acara diam seribu bahasa begitu.



Akhirnya ia menarik lengan gadis itu, “Berhenti mengabaikanku seperti ini. Kalau kau marah bilang saja, tapi jangan diam begini,” keluhnya masih mencengkeram lengan Cheonsa.


Cheonsa mengempas cengkeramannya, “Tidak perlu. Kau juga tidak akan peduli,” sahutnya dengan dingin.


“Oiya aku lupa. Memangnya sejak kapan kau peduli padaku?” gadis itu berbalik, meninggalkan rasa tertohok di dalam dadanya.



Gadis itu berpikir ia tidak peduli? Kalau memang tidak peduli, ia pasti tidak akan mengajukan diri untuk menemani gadis itu selama pingsan. Bukannya Minsoo mau hitung-hitungan, tapi rasanya benar-benar kesal saat seseorang tak bisa memahami tindakannya.



Kalau ia tidak peduli, ia tidak akan setuju pergi ke Praha dan repot-repot mengatur segalanya semalam suntuk.


“Kau keterlaluan Jung Cheonsa.” Ia mengejar gadis itu.




Biasanya ia tidak akan banyak bicara atau memberi penjelasan panjang lebar, tapi kali ini ia benar-benar tidak terima. Ia perlu meluruskan semuanya, ia ingin gadis itu tahu bahwa ia sangat PEDULI. Ia sangat peduli pada gadis itu. Bahkan sampai tidak habis pikir dengan sikapnya selama beberapa hari yang terus menuruti kemauan gadis itu.



“Kalau aku tidak peduli, mungkin aku sedang berada di Venezia bersama yang lainnya. Lebih parahnya, kau tidak akan bisa bertemu dengan Kris-mu itu di Praha!”



Cheonsa menatapnya tak kalah emosi.



“Kau menyesal sekarang? Ya sudah, kita tidak usah naik bus pagi-pagi ke Praha. Besok kita ke langsung ke bandara untuk menyusul yang lain!”



“Bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin kau tahu, aku peduli padamu. Sangat-amat peduli. Dan rasanya tidak adil kalau kau bilang aku tidak peduli,” sergah Minsoo mulai frustasi.




Inilah salah satu hal yang membuatnya malas berhubungan dengan perempuan. Terkadang mereka, para perempuan tidak mengerti apa yang ia katakan. Begitu ia dan perempuan terlibat konflik, mendadak mereka menjadi dua makhluk yang berbeda bahasa. Kemudian semuanya kacau begitu saja. Penuh drama dan air mata.



“Kalau kau memang peduli padaku, kau tidak akan menempel dengan perempuan bernama Greta itu terus. Kau selalu mengabaikanku saat bersamanya, kau tertawa bersamanya tidak peduli kalau aku hampir mati kebosanan.”



Akhirnya Minsoo mengalah, ia tidak memotong keluhan Cheonsa. Membiarkan gadis itu mengeluarkan semua kekesalannya.



“Kalian bicara dalam bahasa yang tidak kumengerti, itu membuatku merasa terkucilkan. Dan, satu lagi! Kenapa sih perempuan itu selalu bergelayut di lenganmu? Memangnya kau tidak merasa risih? Oh, aku tahu sekarang kau pasti senang kan digoda seperti itu?”



Minsoo mulai geli sendiri, ia sekarang tahu arah pembicaraan gadis itu. Ia mendekati gadis itu yang masih sibuk mengomel. Kau dan Greta itu menyebalkan. Kalau kalian mau bermesraan jangan di depanku. Kalian menodai mataku, tahu!




“Oke, aku mengerti sekarang.” Ia memegangi kedua sisi tubuh gadis di depannya.


“Kau cemburu, kan?”



Dengan cepat gadis itu mengelak, berontak dan terus berteriak-teriak. Membuat kehebohan yang menarik perhatian orang-orang yang melintas. Minsoo hanya tersenyum canggung menanggapi beberapa orang yang melintas di sekitar mereka.


“Aku hanya kesal. Kesal dan cemburu itu dua hal yang berbeda,” elak Cheonsa sambil meronta untuk dilepaskan.


“Oke, kau hanya kesal. Aku minta maaf kalau hubunganku dengan Greta membuatmu kesal.”


Cheonsa menatapnya dengan mata melotot, gadis itu menyentak tangannya dan berjalan mendahuluinya.


Seperti sebelumnya, ia langsung mengejar gadis itu. Mengikutinya yang sudah duduk di salah satu undakan di depan taman kota. Minsoo duduk di sebelahnya, melirik sekilas wajah cemburu, maksudnya wajah kesal milik Cheonsa.


Oke, kesal dan cemburu itu berbeda. Tapi, dalam kasus ini sebesar apa perbedaannya?



“Aku tidak menyangka kalau kehadiran Greta benar-benar mengganggumu.” Cheonsa hanya mendengus, masih menghindari kontak mata dengannya.



“Sebenarnya lebih baik kau tidak mengerti pembicaraan kami–“ Cheonsa langsung menoleh dan menatapnya penuh tanda tanya.


“Kurang lebih kami membicarakan dirimu. Greta bilang kau itu imut, tapi agak pemarah dan sulit dikendalikan.”



“Ia bilang untuk mendapat perhatian dari gadis seperti dirimu, yang perlu ia lakukan adalah membuatmu marah. Dan dugaannya memang benar, kan? Kau jadi sangat memperhatikannya. Kalian juga pernah bertengkar, bahkan hampir menjambak rambut satu sama lain.”


“Kenapa Greta–wait, you don’t say!


You think?



Kemudian Minsoo terkekeh geli, sementara Cheonsa menjerit-jerit ketakutan. Ia benar-benar merinding, bahkan bulu kuduknya berdiri.


“Ia bilang kau itu–“


Stop! I’m not hearing! Bang Minsoo! Stop you jerk!” Cheonsa meninju lengan Minsoo, kemudian menghujani pria itu dengan cubitan.


Minsoo akhirnya berhenti, namun masih tak bisa melenyapkan senyum geli di wajahnya.



“Terus dua orang perempuan yang tadi bersamanya itu siapa?”


“Oh, mereka berdua teman-temannya Greta.”


“Mereka juga seperti Greta?”


“Ya, mereka sama-sama perempuan. Kau lihat sendiri tadi,” sahut Minsoo mengejek.


Cheonsa langsung memukul lengannya, “Maksudku sama-sama suka perempuan?” suara gadis itu bergetar waspada. Takut orang-orang di sekitarya mendengar.



Padahal mereka sedang bicara dalam bahasa korea, tapi gadis itu berbisik seolah seseorang bisa saja memahami percakapan mereka.



“Mereka pencinta laki-laki, kok. Makanya aku agak ketakutan saat mereka menggerayangiku.”


“Serius? Kau kelihatan sangat menikmatinya tadi,” cetus Cheonsa sambil memutar matanya.


Tawa Minsoo pecah lagi, “Sayangnya kau datang mengacaukan semuanya.” Satu pukulan kemudian mendarat di lengannya, kemudian datang pukulan berikutnya.


Astaga, pukulan gadis ini tidak main-main. Rasanya panas dan gatal. Tapi aneh yang ia lakukan malah mengaduh sambil tertawa geli.


“Akhirnya kau tertawa juga. Biasanya kau tidak tertawa selepas ini saat bersamaku. Aku iri dengan Greta,” kata Cheonsa tiba-tiba.



Gadis itu mengucapkannya tanpa sadar, ia masih belum bisa mengendalikan dirinya sendiri. Termasuk kalimat-kalimat yang tidak akan ia katakan terang-terangan pada Minsoo. Tapi ia mengatakannya.


“Aku tertawa kok–“


“Beda! Kau selalu membuat dinding pemisah saat bersamaku dan memperlakukanku seperti orang asing. Biasanya kau tidak tertawa seperti ini. Kau bahkan tidak pernah berjalan di sampingku, selalu berada selangkah di depan atau di belakangku. Menyebalkan, tahu!”


Tawa Minsoo sepenuhnya hilang, kerlingan jahil di matanya pun berganti dengan rasa kecewa yang sudah lama dipendamnya. Suasana di antara mereka tiba-tiba saja berubah. Agak menegangkan dan serius.


Minsoo mengalihkan pandangannya, merasakan ingatan-ingatan masa lalu mulai naik ke dasar ingatan. Cheonsa menyadari perubahan sikap Minsoo, ia menyentuh lengan Minsoo dengan hati-hati.


What did you expect me to do? Hug you with warm smile? After all of things you did to me? Seriously?


Pandangan mereka berserobok, Cheonsa bisa merasakan kekecewaan yang berpendar dari mata Minsoo. Tapi ia masih tidak mengerti. Memangnya apa yang ia lakukan?



“Kau bilang kau tidak akan menyukai anak payah sepertiku. Kau bilang harusnya aku enyah dan tidak menampakkan diri di depanmu lagi. Dan kau bilang kau tidak akan pernah sudi datang ke prom bersama pecundang sepertiku.”



“Sekarang kau malah mengeluh aku memperlakukanmu dengan tidak baik?”


“Kapan aku bilang begitu?”



Minsoo mendecak, “Kau tak mengatakannya langsung, tapi kau menulisnya di surat,” jawab Minsoo sembari mengulas senyum kecut.


Tunggu, surat?


“Surat yang mana? Aku tidak pernah menulis surat. Oke, aku memang pernah berniat untuk membalas suratmu, tapi langsung kuurungkan. Kalau begitu darimana kau mendapatkan surat itu?”


“Laci mejaku. Yang membuatku percaya itu surat darimu karena ada stiker rilakkuma di amplopnya.”


Mereka bertukar pandang, mulai bertanya-tanya siapa pengirim surat sialan itu.



Yah, kalau saja surat sialan itu tidak ada, mungkin ia akan pergi ke pesta prom bersama Minsoo. Karena isi surat Minsoo waktu itu adalah ajakan pergi ke pesta prom sekolah.



Cheonsa yang waktu itu kegirangan setengah mati, memutuskan untuk mengirim balasannya. Ia sudah menuliskan balasannya, namun setelah membacanya berulang kali ia mengurungkan niat untuk mengirimnya. Suratnya itu terlalu vulgar dan memalukan.


Kemudian setelah seminggu berlalu, ia yang hendak menyapa Minsoo malah ditinggal begitu saja. Minsoo tidak menoleh sama sekali, begitupun hari-hari selanjutnya. Minsoo tidak melirik ke arahnya atau tersenyum padanya. Dan hubungan mereka berakhir seperti itu sampai hari kelulusan tiba.



“Aku bersumpah tidak menulis surat itu. Kalau waktu itu aku menulisnya pun tidak akan seperti itu isinya,” kata Cheonsa meyakinkan Minsoo.



“Lalu apa alasanmu?”



Cheonsa menatap Minsoo dengan bingung, “Kenapa kau tidak mengirim balasannya?” tanya pria itu dengan lebih jelas.



Sedetik kemudian Cheonsa langsung mengingat kegirangannya setelah membaca isi surat Minsoo. Ia buru-buru mengambil kertas dari bindernya dan menuangkan isi hatinya ke atas kertas. Benar-benar menuangkan semuanya.


Dear Minsoo,,

Aku senang membaca suratmu, saaannngaaatt senaaaanggg malah! Aku rasa aku juga menyukaimu! Oke, makan es krim di kedai sebelah sekolah sepertinya usul yang bagus. Aku mau kok pergi bersamamu ke sana, lebih tepatnya aku mau pergi kemana saja asal bersamamu.


Aku tidak keberatan pergi kemanapun selama itu bersamamu. Aku malah bisa berlama-lama hanya duduk di sebelahmu. Cukup duduk di taman sekolah dengan minum susu stroberi pun tidak masalah. Pokoknya asal bersamamu, aku tidak peduli kemanapun tujuan kita.


Minsoo kau tahu tidak? Kau itu perpaduan antara manis, imut, pemalu, bulu-bulu menggemaskan. Aku senang melihatmu apalagi kalau kau sedang tersenyum. Aku juga senang kalau pandangan kita bertemu tiba-tiba, saking senangnya aku mau melompat ke kolam ikan di depan lapangan basket. Rasanya aku ingin ikan-ikan di kolam juga merasakan apa yang kurasakan.



Minsoo, kenapa sih kau jarang mengajakku bicara? Kau malu yah bicara dengan gadis cerewet sepertiku? Padahal aku penasaran loh kalau kita duduk berdua terus mengobrol di luar masalah pelajaran. Kira-kira apa yah yang akan kita bicarakan?



Kau bisa bertanya apapun padaku. Seperti aku lebih suka Shinhwa atau GOD. Atau lebih baik Won Bin atau So Ji Sub. Apa saja. kau bisa bertanya apa saja.


Minsoo, Minsoo, Minsoo… kau tidak bercanda, kan?


Kau benar-benar sadar, kan? Kau mengajakku ke prom? Demi apa? like.. seriously, you can ask Minji the queenbee in your class. Tapi kau malah mengajak aku?


TAPI TENANG SAJA AKU MAU KOKKK!!


Untung saja waktu itu Cheonsa membaca suratnya berulang kali, kemudian tersadar betapa menggelikannya isi surat itu. Ia pun langsung menyobek kertas itu dan membuangnya ke kantong sampah di dapur.



“Jadi?” Minsoo menyadarkannya, pria itu menatapnya dengan penasaran.



Cheonsa hanya berdeham salah tingkah. “Yah, pokoknya begitu. Yah, begitulah. Kau tahu kan, anak perempuan dan imajinasi mereka tentang dunia romantis dan omong kosong,” jelas Cheonsa salah tingkah.


“Itu kan sudah masa lalu. Oh ya, sepertinya sudah malam sekali. Ayo kita kembali–“


“Imajinasi yang seperti apa memangnya? Terus omong kosong yang bagaimana?” Minsoo menarik-narik lengan Cheonsa, meminta gadis itu menjawabnya.


Sebenarnya Minsoo pun penasaran apa yang Cheonsa pikirkan tentangnya. Maksudnya pendapat Cheonsa tentangnya waktu itu, bagaimana perasaan gadis itu padanya.


“Kenapa sih kita jadi membicarakan masalah ini tiba-tiba?” Cheonsa masih menolak untuk menjawab.


Everything happens for reasons. Jadi cepat jawab aku. Selama hidup dua puluh enam tahun, aku belum pernah jadi anak perempuan. Aku tidak tahu imajinasi dan omong kosong yang kau bilang tadi,” sahut Minsoo masih menuntut jawaban.



Cheonsa mendesah, ia menggeram pelan. Ya Tuhan, apa yang harus ia lakukan? Ia melirik Minsoo yang sedang mengerjap-kerjapkan matanya. Huh…


“Aku bilang aku juga suka–“ pandangan mereka bertaut, Cheonsa nyaris berhenti bicara tapi Minsoo menyuruhnya untuk melanjutkan.


“–suka padamu. Aku juga setuju kalau suatu hari kau mengajakku ke kedai es krim di samping sekolah.” Ia menarik napas panjang, mengembuskannya dengan pelan-pelan.


Ia merasakan pipinya memanas dan saraf-sarafnya menegang. Ini pembunuhan karakter namanya.


“Aku juga bilang kau itu perpaduan antara manis, imut, bulu-bulu menggemaskan–ya Tuhan aku jijik sendiri. Intinya aku mau pergi ke pesta prom denganmu. Yah, pokoknya begitulah. Beruntung aku tidak jadi mengirimnya,” lanjutnya dengan mode cepat.


Cheonsa melirik ke arah Minsoo, pria itu sedang menahan tawanya.


“Bulu-bulu menggemaskan? Imut?”


“Menurutku kau memang seperti itu. Kau itu seperti anjing putih dengan bulu lebat yang membuat siapa saja gemas dan ingin memelukmu.”


Minsoo tersenyum puas, rasanya benar-benar senang. Setelah mereka bertengkar hebat, gadis itu bilang ia seperti anjing menggemaskan dan ingin memeluknya. Tapi…


Itu pendapat Cheonsa pada sosok Bang Minsoo tujuh tahun yang lalu. Dan itu tidak sepenuhnya benar. Ia memang pemalu, di depan gadis itu. Tapi ia tidak menggemaskan, entah itu dulu atau sekarang.


“Kalau sekarang?”


Cheonsa menatapnya lekat, tak siap dengan pertanyaan tiba-tiba darinya.


Jawaban tak kunjung keluar dari mulut Cheonsa. Ia masih menatap Minsoo, mengira-ngira apa yang sebenarnya pria itu pikirkan.


Kalau sekarang?


Cheonsa menelan ludahnya. Kenapa tiba-tiba mulutnya terasa kering?


“Kau tidak seperti bulu-bulu menggemaskan lagi, maksudku kau bukan lagi anjing putih kecil yang membuat orang-orang merasa gemas,” ucap Cheonsa terbata.


Pandangan mereka masih bertaut, Minsoo nyaris  mengatakan sesuatu namun Cheonsa langsung menggenggam kedua tangannya.

“Ini bukan karena tato-tato di sini atau di bagian tubuh lain yang hanya kau dan Tuhan yang tahu. Tapi karena–“ Cheonsa menahan ludahnya susah payah.


Angin malam tiba-tiba tak terasa dingin, sekujur tubuhnya dilingkupi hawa panas ketika Minsoo balas menggenggam tangannya.


“Perlakuanmu, sikapmu selama perjalanan ini. Dan itu wajar, semua orang menjadi dewasa begitupun denganmu dan tentunya aku.”



“Kau tidak seperti Bang Minsoo yang hanya bisa kulihat dari jauh, kau yang sekarang bisa kulihat sedekat ini. Kau yang sekarang, aku bertaruh para perempuan rela mencampakkan pacarnya untuk bisa bersamamu–“


“Apa kau juga akan melakukan hal yang sama?”


Cheonsa menggeleng, “Tidak ada seseorang yang bisa kucampakkan saat ini,” suaranya setengah berbisik.



Minsoo terkekeh pelan, ia menatap Cheonsa sekali lagi. Tangannya terangkat, menangkup wajah terkejut itu.

Minsoo mendekatkan wajahnya, perlahan mengecup bibir mungil milik Cheonsa. Kemudian mereka saling bertatapan. Apa ini tepat? Mereka baru bertemu seminggu yang lalu setelah beberapa tahun tak saling bertemu.


Apa arti dari kecupan itu? Benarkah jauh di dalam hatinya, mereka mulai menyimpan perasaan? Atau semua ini terjadi hanya karena keadaan yang mendukung?


Apa yang sebenarnya ada di antara mereka saat ini? Cheonsa menerawang jauh ke dalam mata Minsoo. Namun pria itu sama bingungnya dengan dirinya.


Ia bahkan tak mengerti kenapa tak lekas menjauhkan tangannya dari wajah Minsoo. Malah menangkupnya semakin erat, malah mengusap-usap sepanjang garis tegas di sekitar rahang pria itu.


“Minsoo yang itu hanya akan mampu membayangkan hal ini sebelum ia jatuh tidur.” Kemudian bibir mereka kembali bertemu, bukan untuk sedetik atau dua detik seperti sebelumnya.


Kali ini lebih lama, lebih intens, dan lebih menuntut. Keduanya memejamkan mata, membiarkan insting yang menuntun detik demi detiknya.


Cheonsa merasakan dadanya semakin bergemuruh, rasanya mau meledak begitu sensasi lembut itu menyapu bibirnya terus menerus.


Ini bukan pertama kalinya ia berciuman, ia pernah melakukannya beberapa kali. Semuanya terasa indah, tapi yang ini agak berbeda. Karena ia melakukannya dengan Minsoo, pria yang bukan pacarnya. Tapi ini gila! Kenapa ia tak mendorong pria itu?


Cheonsa merasakan sekujur tubuhnya memanas dan siap meledak kapan saja. Namun ia tidak ingin Minsoo berhenti, ia tidak ingin menghentikannya. Bahkan ia mulai merasa kecewa karena lambat-lambat lumatan itu berubah menjadi kecupan-kecupan kecil dan berhenti.

Mereka saling bertatapan dan jelas saja itu membuatnya malu setengah mati. Makanya ia pun berinisiatif untuk mengisi detik-detik penuh kecanggungan itu dengan sebuah pertanyaan. Ia hanya perlu bertanya dan pura-pura melupakan kejadian sebelumnya.



“Menurutmu siapa yang mengirim pesan itu?” tanya Cheonsa.




Bukannya menjawab, Minsoo malah mengusap rambut Cheonsa, memainkan helaian demi helaiannya dengan takjub.



Tak lama kemudian ia mencium Cheonsa–lagi. Menarik tubuh kecil itu agar lebih dekat, seolah jarak di antara mereka masih terlalu jauh.



Minsoo mengerang ketika Cheonsa menenggelamkan jemari di antara helaian rambutnya. Jelas, perlakuan itu membuatnya semakin tak keruan.


Tapi, ini tidak benar.


Cheonsa perlu menghentikannya, setidaknya sebelum salah satu diantara mereka menyesal. Ia mengusap wajah Minsoo, mendorong tubuh itu untuk memberi mereka jarak. Kalau dalam keadaan normal mungkin Cheonsa akan berteriak lantas berlari saking malunya.


“Kau minum berapa gelas tadi?”


“Aku sepenuhnya sadar. Ini bukan pengaruh alkohol,” jawab pria itu sambil mencuri pandang ke arah lehernya.


Cheonsa mengusap wajah itu, membiarkan telapak tangannya menjamah lekukan wajah Minsoo.


“Kau percaya bukan aku yang menulis surat itu?” Minsoo hanya menatapnya, kemudian mengusap pipinya.



“Kenapa? Aku bisa saja berbohong,” kata Cheonsa lagi.


“Kalau kau memang menulisnya, kau pasti sudah menamparku dan pergi dari tadi.”


“Tapi apa kau tidak penasaran siapa penulisnya? Aku sangat ingin tahu siapa yang melakukannya.“


“Untuk apa? Yang penting aku sudah tahu kalau surat itu bukan darimu dan itu sudah cukup.”


****


Untung mereka datang ke terminal tepat waktu, kalau tidak pasti mereka harus menunggu tiga jam lagi untuk keberangkatan bus selanjutnya. Itupun kalau masih ada tiket yang tersisa.


Ia dan Minsoo sudah berada di dalam bus menuju Praha setelah sebelumnya berlarian dengan panik. Minsoo masih menekuri ponselnya, sementara Cheonsa sibuk mengamati pemandangan di luar jendela.


Yang jelas sebisa mungkin menghindar bertatapan langsung dengan pria di sebelahnya. Ia suka malu sendiri kalau mengingat kejadian semalam.


Semalam memang agak aneh dan terlalu banyak ciuman. Namun Minsoo tidak kelihatan salah tingkah saat tadi pagi mengguncang tubuhnya yang masih bergelung di dalam kantung tidur.


Mungkin memang seharusnya hal seperti itu tidak perlu dibesar-besarkan, mereka juga bukan remaja kemarin sore yang baru pertama kali ciuman. Tapi kan tetap saja.


“Hei, ini.”

Ia menoleh. Minsoo menyodorkan ponsel putih miliknya.


“Hyerin terus mengeluh. Memangnya dimana ponselmu?”


Ah, Cheonsa baru ingat ia belum mengisi daya ponselnya dari semalam. Sepertinya ponselnya sudah mati dan tentunya membuat Hyerin kelabakan.


Ia mendekatkan ponsel itu ke telinganya.


“Astaga! Ini aku! Tidak perlu berteriak begitu!”

Kenapa tidak menjawab pesanku? Ibumu tadi meneleponku tahu! Ia panik karena anak gadisnya tidak menerima panggilannya.

“Kau tidak bilang kan kalau aku pingsan dan tidak sedang bersamamu?”

Tidak. Rahasiamu aman kok. Tenang saja, nikmati liburanmu bersama pemandu wisata seksi itu. Cih, katanya cuma teman sekelas.

“Kau mulai bicara ngawur. Oiya, aku akan berkunjung ke Praha–“

Iya-iya, Minsoo sudah memberitahu masalah itu kok. Tenang saja. Kan sudah kubilang nikmati saja perjalanan romantismu.”

“Terserah–“

Tapi… Dengar, mungkin aku agak berlebihan tapi waspada sedikit memang perlu. Kau harus berhati-hati, biar bagaimanapun Minsoo itu seorang pria. Kita tidak tahu kan kapan ia–

Cheonsa mendenguskan napasnya keras-keras, Minsoo langsung menoleh penasaran.

“Lebih baik aku tutup–“

Pria itu sudah punya tunangan.


Cheonsa merasa seperti habis disiram air dingin. Ia berpaling, menatap Minsoo yang sudah sibuk dengan I-padnya.


Namanya Jang Hyunra. Aku tahu dari Namjoon semalam, ia mabuk berat saat itu dan wusshh! Nama itu disebut begitu aku mau menanyakan hal-hal rahasia tentang Bang Minsoo.


Di seberang sana Hyerin masih berbicara, menceritakan ulang kejadian mabuk berat seorang Kim Namjoon semalam dan bagaimana nama ‘Jang Hyunra’ bisa disebut. Perempuan itu juga bilang kalau Minsoo sudah bertunangan dengan Hyunra sejak tahun-tahun pertama kuliahnya.


“Baiklah, aku akan menghubungi ibu secepatnya. Jaga dirimu baik-baik, see you,” pamitnya tanpa peduli kalau Hyerin masih belum selesai dengan narasinya.


Ia menatap ponsel dalam genggamannya, merasakan ponsel itu bergetar di tangan ketika notifikasi Line masuk. Dari atas layar ia bisa melihat sekelebat nama pengirim dan isi pesannya.

Hyunra_JJang


Sebelum ia bertindak lebih jauh seperti membuka pesan yang baru masuk itu dan membuka pesan-pesan lainnya, ia pun mengembalikan ponsel pada pemiliknya.


“Tadi ada pesan dari Hyunra.”


Minsoo hanya mengangguk, memasukkan ponsel ke dalam saku jaketnya. Tak berniat untuk mengaktifkan ponselnya dan membaca pesan yang dikirim tunangannya.




Ia menciumku semalam! Padahal ia sudah punya tunangan. Sialan.  





TBC



Akhirnya bisa ngalahin rasa males publish..
Halo semuanya.. Aku balik lagi nih.. oke.. gimana Minsoo-Cheonsa nya? Kemistrinya udh mulai ada kn ya? *semoga udah*
Selama periode hello chingu, maksudnya beberapa minggu belakangan, aku ngobrol sama salsa, baca beberapa komen*kesannya kayak banyak banget*, jadi sadar kalo konsep mix-couple kayak gini ternyata cukup sulit buat diterima. Cheonsa-Kris punya gaya mereka dan Minsoo-Hyunra pun gitu. Dan lucunya karna konsep kayak gini aku merasa cukup terharu karena ternyata dua couple itu punya penggemar sendiri*sok banget* kalo pun bukan penggemar, seenggaknya ada yang notice keberadaan mereka di dunia fiksi ini.
Jadi aku mau bilang terimakasih buat siapapun yang udah ngikutin blog ini, mencintai couple-couple absurd yg eksis di sini, terimakasih~ Kalian luar biasa karena dengan komen dan rasa perhatian kalian sama couple-couple itu buat semangat nambah.
Aku juga berharap kalian (siapapun yang ngikutin Hello Chingu) ngasih kesempatan buat Cheonsa-Minsoo. 

Kalo ada pertanyaan kayak :
Q: Apa ff Marry Me bakal dilanjut?
A: Jawabannya, sejauh ini sih enggak.
Q:Terus gimana nasib Minsoo-Hyunra?
A: Dalam waktu dekat ini aku gak punya rencana untuk nulis mereka, tapi percayalah mereka akan kembali walau entah kapan.
Q: Kalo gitu apa rencana ke depan untuk Cheonsa-Minsoo? Apa mereka bakal eksis lagi setelah Hello Chingu selesai?
A: Belum tau pasti sih, mungkin kali ya. Kalo aku dpt ide untuk mereka berdua, yah pasti aku tulis.
Q: Kalo Cheonsa-Minsoo ngeksis, apa kabar sama Kris?
A: Kris…eummm…anak itu… Kris sama Cheonsa udah kayak Edward sama Bella kok*buat aku*. Jadi gak perlu khawatir.
Kira-kira itulah yang mau aku sampein ke kalian. Intinya yah…ikutin terus Hello Chingu, g usah malu kalo mau ninggalin kritik dan saran kalian atau mau sekedar ngeluh atau mengalay ria. Oke, sekian dari aku untuk hari ini.

See You,

GSB



Comments

Popular Posts