Let Love Lead part 11




Acara peresmiannya sudah selesai. Satu per satu tamu undangan meninggalkan ruangan, namun ada juga yang tetap bertahan untuk mengobrol atau menikmati hidangan. L.Joe naik ke lantai dua dan langsung disambut dengan teriakan-teriakan meriah oleh teman-temannya. Baekhyun menghampirinya dan berusaha mengangkat anak itu ke udara, “Heh, ayo bantu aku!” teriak Baekhyun kepada yang lain.


Semuanya maju dan berbondong-bondong mengangkat L.Joe, sembari memberikan selamat dalam bentuk hinaan konyol super heboh nan bersahabat. Chanhee mengacak rambut L.Joe, Myungsoo mengguncang badan mungilnya, Jin menyiramnya dengan pepsi, dan lain-lain. Mereka semua tertawa, dan L.Joe tersenyum paling cerah di antara semuanya. Jujur saja, pemandangan ini membuatku benar-benar iri, aku tak pernah punya teman sebanyak yang dia punya. Well, nyatanya aku bahkan tak punya satu pun teman yang benar-benar dekat.


“Mana Jonghwan?” L.Joe memutar kepalanya dan mengecek temannya satu per satu.
“Tak bisa dihubungi,” kata Tao seraya mengangkat bahu. 
“Myungsoo hyung bilang dia juga tidak ada di rumah,” tambah Jungkook. L.Joe menoleh pada Myungsoo yang langsung mengangguk membenarkan. L.Joe mengernyitkan dahinya. “Aneh. Apa dia tak cerita apa-apa pada kalian?” Mereka semua saling berpandangan dan menggeleng pada L.Joe.


Pria itu terlihat benar-benar khawatir, dan saat itu matanya tak sengaja bertemu dengan milikku.


“Aku senang kau masih di sini,” katanya sembari berjalan mendekat.
“Mereka semua menahanku, jadi, yeah…” Aku mengangkat bahu tak acuh. “…terpaksa.”


L.Joe cuma tersenyum mencibir, “Haruskah aku memulainya sekarang?” Ia bertanya entah kepada siapa, matanya melirik teman-temannya. Lalu setelah itu, mereka semua dengan kompak mengeluarkan cengiran penuh arti. Ini mulai membuatku penasaran, apa yang akan dia lakukan? Oke, aku tahu dia akan menyatakan cintanya, memintaku jadi pacarnya atau apalah… tapi kenapa sampai mempersiapkan ‘banyak hal’? Apa yang akan dia lakukan?


Saat itu, tiba-tiba saja semua lampu mati dan jendela tertutup, ruangan restoran menjadi benar-benar gelap dalam sekejap. Beberapa pengunjung di lantai bawah menjerit karena terkejut.


“L-L.Joe!” Aku mengulurkan tangan dan mencoba menggapai pria yang tadi berdiri di depanku itu. Ini mulai menyeramkan. Tak bisa melihat apa-apa itu menyeramkan. Aku berjalan selangkah dan langsung membentur kursi.


“L.JOE, INI TIDAK LUCU!” teriakku panik. Tidak ada suara apa pun dari lantai dua, entah semua pria itu sengaja menahan napas atau malah meninggalkanku sendirian. Benar-benar!


Tuk tuk tuk


Terdengar suara mikrofon yang diketuk, L.Joe mengatakan ‘tes’ beberapa kali sebelum bicara dengan nada terhibur. “Tentu saja ini tidak lucu. Siapa bilang aku sedang melucu?”


“Maaf semuanya, aku harus mematikan lampunya dulu, tapi tenang saja.. aku akan memberikan tontonan yang menarik sebagai gantinya.”


“Oke, mari kita mulai…”


Sesaat setelah itu, lampu sorot di atas L.Joe menyala—entah bagaimana dia sudah berada di bawah lagi, di atas panggung. Pria itu mengarahkan tatapan matanya padaku dan tersenyum.


“Gadis ini, aku bertemu dengannya di sebuah kafe….” Ia mulai bercerita. Tunggu, apa-apaan ini? Dia mau berbicara tentang aku? Walaupun tidak sebanyak tadi, tetap saja banyak orang asing di bawah. Aku benar-benar malu.


“… jika kalian mengira kami bertemu dengan cara yang baik, buang saja pikiran itu jauh-jauh. Awal pertemuan kami benar-benar buruk, bahkan dia menyiramku dengan kopi…..”  L.Joe terkekeh seolah sedang mengingat kenangan manis.


Itu karena kau menuduhku sembarangan!!


“Awalnya aku hanya menganggapnya sebagai bagian dari permainanku saja, yang hanya berlangsung sesaat dan kemudian terlupakan. Tapi sepertinya aku salah. Aku… perasaanku, lebih dari itu…”


Tidak! Tidak, hentikan! Aku benar-benar tak mau dia menyatakan cintanya seperti ini, di hadapan orang sebanyak ini. Jill mungkin ada di lantai bawah, aku takut gadis itu berbuat macam-macam. Aku takut dia mempermalukan L.Joe di hari peresmian restorannya sendiri. Dengan bantuan pencahayaan dari lampu sorot di atas L.Joe, aku berhasil menjangkau tangga dan menuruninya secepat yang kubisa.


Well, terlalu dini untuk bilang begini tapi… dia adalah satu-satunya perempuan yang kuinginkan sekarang. Aku sudah mengenal sekian banyak gadis, dan ini pertama kalinya aku benar-benar merasa… pas.” Aku sungguh tersentuh mendengar nada bicaranya yang tulus. Tapi jujur saja, perasaanku saat ini lebih banyak dikuasai oleh rasa waswas. Setelah berhasil menjangkau lantai satu, aku mengedarkan pandang ke kursi-kursi, ke setiap sudut, ke setiap inci ruangan ini.


Sampai akhirnya mataku berhenti di satu titik.


Aku menemukan Jill.


Dia ada di luar, persis di belakang pintu masuk yang terbuat dari kaca. Gadis itu sedang bersama seorang pri-tunggu! Aku mengenalnya! Itu Jonghwan. Jonghwan menahan tangan Jill, dan mereka berdua terlihat seperti sedang bertengkar. Pemandangan itu membuatku secara refleks segera berlari ke sana.


“Andai setiap manusia memiliki warna berbeda, maka katakanlah aku sudah menemukan warna favori—Park Hyo Jin! Berhenti!” L.Joe berseru dengan kesal di tengah-tengah cerita. Mungkin ia mengira aku sedang mencoba kabur karena posisiku sekarang. Aku yang sedang berlari pun nyaris terjerembab jatuh karena terkejut. Semua orang mengikuti arah pandang L.Joe, memerhatikanku. Aku gugup setengah mati karena menjadi pusat perhatian. Saat itu, Myungsoo menarik lenganku. Ia memberikan tatapan ‘jangan membantah’ sambil membalik badanku ke arah L.Joe. Lantas menyeretku ke depan begitu saja.


“Tidak ,Myungsoo! Lepaskan! Kau tidak mengerti! Ada Jill di depan, aku harus—“


Myungsoo mendorongku sampai menubruk L.Joe. Dan seketika seluruh bayangan mengenai betapa kerennya si pria anime alias Kim Myungsoo itu hancur lebur tak tersisa. Bagaimana bisa ia sekasar itu padaku?


Suara berisik akibat tubrukan badanku dengan L.Joe terdengar nyaring dari mikrofon. L.Joe menahan pundakku.


“L.Joe, aku harus pergi!” Aku meringis sambil melangkah mundur.
“Tidak.” L.Joe berujar tegas sambil memegangi lenganku. Wajahnya terlihat sangat geram. Anak ini tidak mengerti. Mungkin yang ada di kepalanya saat ini adalah ‘tak bisakah kau menghargai usahaku sedikit?’. Aku tahu dia sedang mencoba menyatakan cintanya sekarang, tapi situasinya benar-benar tidak tepat. Ruangan ini benar-benar ramai, mana bisa aku menolaknya di depan semua orang? Kukira dia akan membawaku ke sebuah ruangan dengan dekorasi romantis, setidaknya akan lebih mudah untuk menolaknya di situasi seperti itu. Aku sama sekali tak mau dia menanggung malu karena ulahku.


“L.Joe kumohon!”


Ini demi kau juga!


Pria itu mengeraskan rahang sambil terus menatapku tajam, sebelum akhirnya memejam dan mengembuskan napas pasrah, melepasku, “Oke pergilah,” katanya. Dan demi Tuhan hatiku teriris. Dia kecewa, itu terlihat jelas dari sinar matanya. Tapi di sisi lain aku juga tidak bisa berbuat apa-apa.


Aku tak tahu apa yang terjadi di luar sana, tetapi sepertinya Jill sedang mencoba menerobos masuk dan Jonghwan berusaha menahannya. Itu artinya Jonghwan mengetahui sesuatu. Bagaimana jika Jonghwan tahu kebusukanku? Bagaimana jika dia tahu Jill membayarku untuk ini?


Saat sedang memikirkan itu, tiba-tiba saja terdengar suara pengunjung yang tercekat terpukau. Aku menoleh pada mereka, lalu menoleh pada L.Joe, dan baru setelah itu mengikuti arah pandang mereka semua dan menengok ke atas. Dan seketika itu juga aku ikut tercekat, “Astaga!” Aku menutup mulutku dengan kedua tangan.


Ada ratusan stiker glow in the dark berbentuk bintang yang ditempel di langit-langit, yang disusun sedemikian rupa membentuk namaku, Park Hyo Jin. Sejak tadi, ternyata langit-langitnya sengaja ditutup dengan dekorasi kain untuk menyembunyikan ini.


“Ini pertama kalinya aku mengajak seseorang berkencan sungguhan.” Aku yang sedang tercekat dengan hiasan di langit-langit itu dibuat tercekat lagi oleh L.Joe yang berkata sambil membuka kotak beledu berisi cincin berlian. Ini waktu yang tepat untuk menangis dan pingsan. Benar-benar tepat.


“L.Joe.”
“Jadilah kekasihku….”


Aku terenyuh, terdiam menatap mata cokelatnya yang nampak memohon. Aku tak cukup gila untuk berkata ‘tidak’ di situasi seperti ini. Aku mengulurkan tangan dan L.Joe menyambutnya dengan ekspresi lega.


BRUK!


“HEH JILL, BERHENTI!”


“LEPASKAN AKU!”


Tiba-tiba saja pintu masuk terbuka, disusul oleh Jill dan Jonghwan yang berteriak satu sama lain—keduanya langsung berhenti begitu sadar semua mata tertuju pada mereka. Karena mendapat tatapan terkejut dari orang-orang, Jonghwan terpaksa melepas tangannya dari Jill, sementara gadis itu segera merapikan rambut dan gaunnya yang berantakan.


“Astaga! Apa aku melewatkan sesuatu?” Jill berteriak dengan kencang dengan ekspresi terharu yang dibuat-buat.


“Dewi Gwangmun!” teriaknya lagi, kali ini sambil menunjukku seolah bertemu teman lama—oke kita memang pernah sekelas dua kali saat SMA, tapi demi Tuhan dia bukan temanku. Dan rasanya aku tak mengingat wajah itu sama sekali. Apa benar kita pernah satu kelas? Dia pasti operasi plastik besar-besaran, deh. Apa Jill itu bahkan nama asli? Ganjil sekali.


“Astaga, apa itu berlian?” Ia merebut cincin di kotak yang dipegang L.Joe dan memandanginya dengan kaget. Semua ekspresinya itu terlihat tidak natural.


“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya L.Joe heran, seraya merebut kembali cincin di tangannya.
“Apa yang aku lakukan di sini? Astaga Hyo, jadi kau belum bilang?” Gadis itu membelalakkan matanya padaku dan tertawa. Namun tawa itu hanya berlangsung sesaat, karena dalam hitungan detik ia langsung menatapku tajam dan berkata, “Cepat bilang! Atau apa kau mau aku yang bilang?”


“Bilang apa?” tanya L.Joe lagi.


Baiklah, ini adalah akhir dari kisah Hyo Jin dan L.Joe. Jill ada di sini. Tak peduli betapa inginnya aku berkata ‘aku mau jadi kekasihmu’, tetap saja rasanya tidak mungkin. Sekali lagi, Jill ada di sini, dan dia akan membongkar semuanya.


“Aku tak bisa jadi kekasihmu.” Aku menarik tanganku dari genggaman L.Joe. Aku sudah memutuskan. Dari pada Jill yang bicara dan membuatku malu, lebih baik aku saja yang bicara sendiri.


“A-apa? Kenapa?”
“Aku tak mau.”


L.Joe terdiam. Situasi di restoran pun menjadi sangat hening.


Hingga….


Prok prok prok


Jill bertepuk tangan dengan meriah.


“Bagus sekali, Sayang!!!!” teriak gadis itu. Ia lantas mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Ini uangnya. Sesuai kesepakatan, 300.000 WON.” Gadis itu menarik telapak tanganku dan meletakkan enam lembar uang kertas 50.000 WON di sana. Detik itu, harga diriku rasanya jatuh ke lantai.


“Apa maksudnya ini semua?”
“Maafkan aku, Joe.” Aku menunduk.
“Urusanmu di sini sudah selesai. Lebih baik kau pergi sana!” Jill menggapai tanganku dan hendak menepisku pergi.


“Kau yang harusnya pergi!” Namun tiba-tiba saja Jonghwan datang dan berteriak keras pada Jill sambil menarik lengannya. Karena terkejut, pegangan tangan Jill dariku pun terlepas. 


“Kau tidak diundang ke acara ini! Kau yang harusnya pergi!!” Jonghwan memperjelas ucapannya. Wajahnya memerah, dan aku bisa merasakan betapa marahnya Jonghwan pada Jill. Sebenarnya apa hubungan Jill dan Jonghwan?


“Jonghwan!” L.Joe berseru, dengan ekspresi ‘kau di sini’ sekaligus ‘apa-apaan ini!’
“Maafkan aku. Aku akan mengurus wanita sialan ini.”
“Wanita sialan?” ulang Jill tak terima.
“Wanita kampungan,” ralat Jonghwan.
“YAH!”
“Sebenarnya apa yang terjadi? Hyo! Apa-apaan ini?” L.Joe mulai kesal karena belum bisa memahami situasi ini.


Setelah melirik Jill penuh dendam, aku terpaksa menahan rasa sakit di tanganku dan menjawab pertanyaan L.Joe dengan ketus, “Kau tak paham? Aku baru saja menolakmu. Dari awal sebenarnya aku sama sekali tidak tertarik denganmu, Jill membayarku untuk melakukan ini semua.”


“Apa?”
“Terima kasih untuk semuanya. Sekarang selamat tinggal,” kataku, kemudian berlalu pergi. 


Jill menyentak tangan Jonghwan dan melambaikan tangannya padaku—yang sudah berjalan menjauh. “Aku tahu Park Hyo Jin pasti bisa bekerja dengan profesional. Selamat tinggal, Jalang,” serunya riang. Aku mati-matian menahan diri untuk tidak berbalik dan menamparnya.



**********



Setelah Hyo Jin pergi, Jill berdiri tepat di depan L.Joe yang terpaku. Tatapan matanya terlihat kosong. Jill tersenyum mencibir melihat ekspresi pilu itu.


“Bagaimana rasanya, huh?”


L.Joe menggerakkan matanya menatap sang gadis. Keningnya berkerut tidak senang.


“Apa maksudmu?”
“Dibuang saat kau benar-benar mencintai seseorang? Dipermalukan di depan banyak orang?” Gadis itu sengaja mengencangkan suaranya, sembari menengadahkan tangan menunjuk orang-orang di sekeliling mereka.


“Ini yang kurasakan saat kau membuangku,” ucapnya dengan nada penuh dendam. “Sekarang kita impas.”


L.Joe terlihat terkejut untuk beberapa saat sebelum…


“Bagus. Kalau begitu tolong jangan ganggu aku lagi.”
“Tidak, darl. Belum. Aku membayar wanita penggoda itu mahal-mahal bukan hanya untuk balas dendam.” Jill melembutkan tatapan matanya, dan mengaitkan tangannya di leher L.Joe. “Aku masih mencintaimu.”


L.Joe mendengus. “Itu bukan urusanku.”


“Aku menginginkanmu.”
“Jangan menyentuhku!”
“Aku tak peduli. Aku akan memilikimu.”
“Pulanglah Jill, kau mabuk!” Jonghwan menepis tangan Jill dari L.Joe.
“Kenapa kau selalu ikut campur!” Jill berteriak.
“Jonghwan, kau mengenalnya?” tanya L.Joe.


Jonghwan terlihat benar-benar enggan untuk menjawab, pria itu hanya meringis kaku.


“Oh? Jadi kau bahkan tak mengatakannya pada orang-orang yang kau sebut teman ini?” tanya Jill sambil tertawa takjub. “Baiklah, aku mengerti. Kalau aku ada di posisimu, mungkin aku juga tak akan bilang kalau aku cuma anak seorang perempuan miskin yang cukup beruntung menikahi pria yang kaya raya. Iya kan?”


“Tutup mulutmu! Kau benar-benar menjijikan,” balas Jonghwan geram.
“Ya, aku memang menjijikan. Jadi lepaskan aku! Aku harus bicara pada L.Joe.”
“Apa lagi yang mau kau katakan padanya? Dengarkan aku, bila sesuatu ditakdirkan untukmu maka ia akan tetap menjadi milikmu. Tapi bila tidak, sekeras apa pun kau berusaha hal itu tidak akan pernah menjadi milikmu.”


Jill mendengus bosan mendengar ucapan sok bijak itu, “Omong kosong.”


“Kita memang tak ada hubungan darah, tapi terlepas kau menganggapku atau tidak, kau tetap adikku.”
“Awas!” L.Joe tiba-tiba saja berteriak dan menarik tangan Jonghwan. Dan saat itu, 


BYURRR! 


“Ini untuk panggilanmu padaku barusan. Jalang? Wanita penggoda? Aku sudah cukup bersabar kau menginjak-injak martabatku seperti tadi, tapi panggilan itu! Astaga, dipanggil rubah betina oleh kakakku sendiri saja aku sudah marah besar. Kau pikir kau siapa hah?”


Hyo Jin baru saja mengguyur Jill dengan seember jus semangka—yang diambil paksa dari tangan salah satu pelayan yang sedang bersih-bersih.


Semua orang tercengang, lebih-lebih Jill yang tak bisa mengatupkan mulutnya sama sekali. Sekujur tubuhnya basah, merah dengan bulir-bulir semangka yang memenuhi rambut, gaun, kulit, semuanya.


“Aku bukan hanya sekadar dewi Gwangmun, aku Park Hyo Jin,” ucap Hyo Jin tajam, ditutup dengan uang 300.000 WON-nya yang ia lempar tepat ke muka Jill.


Wajah terperanjat nampak di mana-mana. Situasi ini benar-benar kacau. Jonghwan berjinjit menginjak cairan merah berbulir di lantai dan mendekati sang adik. “Pulanglah Jill, kita tidak sedang merayakan Halloween,” bisik Jonghwan sambil terkikik. Jill menggeram melirik pria itu, kemudian mendengus jijik melihat dirinya sendiri. Dia benar-benar merah—secara harfiah, dan berbau seperti semangka.


“Tunggu.” L.Joe menarik tangan Hyo Jin yang hendak pergi.
“Lepas.”
“Tidak, sebelum kau meralat jawabanmu.”
“Tak ada yang harus diralat. Jill benar, aku mendekatimu selama ini karena uang. Aku tak seperti yang kau bayangkan. Kau tahu, aku bahkan sudah punya pacar, dia ada di Busan, aku juga punya pacar yang lain di kampus, dan di mana-mana. Kau pikir kau sudah termasuk bad boy hanya karena jalan ke sana kemari dengan wanita yang berbeda-beda setiap minggu? Lalu apa kabarnya denganku?” Hyo Jin bersedekap sembari memiringkan kepala seolah sedang merendahkan.


“Kau tahu? Bahkan kerugian besar J’S atas logo restoran ini, itu semua karenaku. Aku menjual logo milik Yu Jin yang sudah dibeli restoranmu. Aku biang masalah. Aku nyaris didrop out dari kampus, dan sekarang kedua kakakku sedang mencari uang untuk biaya semester pendek. Aku…. tidak seperti yang kau pikir.”


“Sekarang lepas!” Hyo Jin berkata dengan tajam.


Dan L.Joe melepasnya.



**********



Jonghwan yang duduk berhadapan denganku terus menunduk. Setelah semua pengunjung keluar, kami berdelapan duduk melingkar di lantai dua restoran, membahas masalah internal di antara grup kami.


“Jadi kau dan Jill adik kakak?”
“Ya.”
“Jadi kau berbohong pada kami soal itu?” tanya Chanhee lagi. Maksud ‘itu’ dalam kalimatnya barusan adalah kejadian tiga minggu lalu. Saat Jill datang ke Lafrein, duduk sendirian di salah satu meja. Saat itu, Jonghwan sama sekali tak mengatakan apa pun, padahal nyatanya dialah yang memberi tahu Jill untuk datang di tanggal itu—tanggal di mana giliranku tiba. Jill menginginkanku. Well, siapa yang tidak menginginkanku? Okay, Hyo Jin tidak menginginkanku.


“Aku benar-benar minta maaf.”
“Ini tidak benar. Dia harus kita beri hukuman,” kata Tao sambil bersedekap dan mengangkat sebelah kakinya ke pangkuan.


“Tentu, aku berhak mendapatkannya. Aku akan keluar dari grup.”
“Apa?” Semua orang berteriak.
“Tidak, bukan itu hukuman yang kumaksud.” Tao berdiri.
“Aku sudah berbohong terlalu banyak. Kalian dengar kan Jill bilang apa? Aku bukan anak kandung pemilik saham terbesar Kwahul Company. Dia ayah Jill, bukan ayahku.”


“Dan apa masalahnya?” tanya Baekhyun.
“Satu-satunya masalah dari itu adalah kau berbohong, sisanya bukan masalah,” timpal Jin.
“Aku tidak berada di level yang sama dengan kalian, itu masalahnya.”
“Okay, jadi kau mau keluar?” tanya Myungsoo dingin.
“Ya.”
“Kalau begitu aku juga.” Myungsoo ikut berdiri. Tao—yang sudah berdiri sebelum Myungsoo—mengangguk dan ikut berkata, “Aku juga.”


Jin menjadi orang selanjutnya yang berdiri. Disusul oleh Chanhee dan Baekhyun yang berdiri bersamaan.


“Bagus sekali kawan-kawan, aku baru bergabung selama empat bulan dan geng ini sudah mau pecah.” Jungkook tertawa hampa dan menoleh ke arah Jonghwan. “Tapi Jonghwan hyung, kau orang pertama yang mengizinkanku bergabung. Kalau kau keluar, maka aku juga,” lanjutnya seraya berdiri.


Kini semua pria itu menatapku, yang masih duduk tenang dengan ekspresi berpikir.


“Bagaimana denganmu?” tanya Jin.


Aku memalingkan wajah padanya, “Kenapa menatapku begitu? Kau ingin aku keluar juga?”


Jin mengangkat bahunya seolah berkata ‘mana solidaritasmu?’.


“Cih… tidak akan.”


Suasana di restoran yang super luas ini langsung terasa kian hening dan mencekam, sampai-sampai nyamuk pun tak mau berdengung. Semua orang mengalihkan tatapannya padaku dengan kaget, seolah-olah aku baru saja berkhianat.


Melihat semua ekspresi itu, aku tertawa di dalam hati.


“Dan tak ada satu pun dari kalian yang kuizinkan keluar,” lanjutku akhirnya.
“Kau mengagetkanku, dasar sialan!” Baekhyun langsung berseru sambil memegangi dadanya. Tawaku pun pecah, sementara yang lain menghela napas dengan lega.


“Kukira kita benar-benar akan berakhir.” Tao menjatuhkan badannya kembali ke kursi.
“Yah, maksudku, serius Jonghwan?! Kau mau meninggalkan teman-temanmu hanya karena ini? Memangnya sejak kapan kita membicarakan berapa jumlah mobilmu, seberapa mahal harganya? Setiap hari kita cuma bertemu dan tertawa bersama, atau lebih banyak menertawakan Chanhee. Keputusanmu barusan benar-benar konyol!”


“Kenapa namaku disebut-sebut?” seru Chanhee sewot.


Jonghwan menatapku dengan tatapan bersalah. “Aku hanya merasa sudah mengkhianati kalian.”


“Ya, kau memang mengkhianati kami. Berjanjilah untuk tidak mengulanginya, dan kita lupakan ini!” kataku seraya berdiri dan berjalan ke tengah.


“Pertemanan kita tak boleh berakhir hanya karena hal picisan, yeah kuakui ucapanku barusan benar-benar terdengar seperti omong kosong tapi tidak, aku serius, ayo bertemu setiap hari, setiap minggu, setiap bulan dan kapan pun, setidaknya sampai kita berada di tahap muak melihat wajah satu sama lain dan memutuskan untuk berhenti bertemu.” Mereka bertujuh tertawa seolah baru saja mendengar stand up comedy, namun lantas mengangguk setuju dengan ekspresi jengah yang dibuat-buat. 


Tak ada yang bicara. Tapi tampang mereka semua seolah menyatakan ucapan tulusku barusan terdengar sangat manis dan tidak cocok dengan jati diri geng kami—yang terlihat garang dari luar. Yah, terserah. Sejujurnya, aku merasa cukup hebat bisa berkata seperti itu di depan mereka semua, mungkin setelah ini kata-kata mutiaraku barusan akan menjadi bahan lawakan permanen di setiap pertemuan kami sampai batu nisanku menancap di tanah. 


Aku mengulurkan kepalan tanganku ke depan, disusul oleh yang lainnya, termasuk Jonghwan. Ini pertama kalinya kami membuat gerakan mermaid man dan barnacle boy bersatu, dan sejujurnya ini sedikit banyak melukai harga diriku tapi entah mengapa aku merasa harus melakukannya di situasi seperti ini—sebagai pernyataan bahwa grup bodoh ini masih baik-baik saja.


Oh shit! Ini gila, kalian adalah geng paling manis sedunia.” Jungkook berseru dengan tampang terharu.
“YAH anak kecil! Siapa yang mengajarimu kata-kata kasar seperti itu!” teriak Chanhee.
“Aku cuma bilang shit.”
“YAH! Malah diulangi lagi! Sini kau dasar anak baru!”
“Lee Chanhee, aku sudah empat bulan!”
“Panggil aku hyung!”
“Kau lebih cocok dipanggil noona,” kata Tao sambil terkikik.
“YAH Huang Zitao!”


Aku cuma tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah mereka semua. Setidaknya teman-temanku sudah kembali normal sekarang, di mana artinya sebagian perasaanku sudah tertata dengan benar. Yeah, sebagian.


“Lalu bagaimana dengan Hyo Jin?” tanya Jonghwan. Myungsoo yang berdiri di samping pria itu ikut menoleh padaku. Inilah yang kumaksud dengan sebagian.


“Entahlah.”
“Kalau kau ingin melepasnya, jangan marah jika minggu depan kita sudah bergandengan.” Jin tiba-tiba merangkulku. “Aku tak tahu kenapa harus minta izin dulu, sebenarnya kan dari awal Park Hyo Jin adalah jatahku," tambahnya sambil mengangkat bahu.


“L.Joe tak akan menyerah.” Myungsoo menarik Jin hingga rangkulannya terlepas. “Iya, kan?”
“Aku butuh waktu. Dia butuh waktu. Entahlah.”
“Itu artinya…”
“Itu artinya kau tetap tak boleh menyentuhnya.” Aku memotong ucapan Jin dengan geram.



**********



Dari malam sampai malam lagi, dari Yu Jin dan Jin Ah pulang kerja sampai mereka pulang kerja lagi, aku tetap berada di kamar. Mereka cuma mengetuk pintu kamarku sekali, menyuruhku keluar dengan nada mengancam—yang tidak kurespon. Kemudian berbincang di depan pintu kamarku dengan suara yang dikeras-keraskan, mengatakan ‘nanti kalau dia lapar juga keluar sendiri’. Cih, memangnya aku selemah itu apa? Dasar! Akan kubuktikan aku tak akan keluar sampai….


Ceklek


Okay, aku benar-benar sangat amat lapar sekali. Dan aku masih terlalu muda untuk mati.


Begitu berbelok di sekat dapur, aku langsung menghentikan langkah dan berjalan mundur perlahan-lahan.


“Akhirnya keluar juga,” kata Jin Ah tanpa berbalik. Sial, dari mana dia tahu? Aku meringis, lalu keluar dari tempat persembunyianku dan menarik kursi meja makan.


“Kau tidak kerja?” tanyaku seraya duduk.


Aku yakin ini masih sekitar jam 10 atau 11 siang. Jadi tidak mungkin dia belum jalan atau sudah pulang. Oh tunggu! Apa jangan-jangan dia dipecat?


“Aku izin hari ini,” Jin Ah menjawab, sekaligus menepis dugaanku.
“Izin untuk apa?”


Saat itu Jin Ah berbalik sambil mengangkat penggorengannya.


“Astaga kau masak salmon!” Aku langsung berdiri, dan seketika produksi air liur dalam mulutku meningkat. Kapan terakhir kali aku makan salmon? Ya Tuhan! Anak ini pasti baru gajian.


“Sebenarnya ada perayaan apa hari ini? Apa kau ulang tahun? Apa aku ulang tahun?”
“Tidak.”
“Apa kau dan Mino jadian? Apa.. apa..”
“Tidak, tidak, tidak, ya ampun! Tidak ada perayaan apa-apa. Lagi pula ini bukan untukmu.”


Itu adalah kalimat paling mengerikan yang pernah kudengar selama 21 tahun hidup. Aku tertohok sampai rasanya tak bisa menarik napas.


“T-tunggu! Aku tidak mengerti apa maksudmu.”


Jin Ah cuma tersenyum terhibur melihat ekspresi pilu adiknya yang cantik ini. Dia memasukkan salmonnya ke kotak, lalu mulai meletakkan buah berry dan potongan apel ke kotak yang lain.


“Ini untuk ibunya Mino. Dia masuk rumah sakit.” Gadis itu menata kotak-kotak makannya ke dalam paper bag dengan hati-hati.


“Oh,” kataku, berusaha menenangkan diri.
“Ada ayam goreng, kok,” hiburnya. Aku lekas membuka tudung saji.
“Mana?”
“Di kulkas.”
“Jangan bilang aku harus memasaknya sendiri!”
“Kalau begitu tunggu sampai jam 5 sore.”
“Kenapa harus jam 5?” 
“Aku baru pulang jam 5. Atau kalau Yu Jin eonnie pulang lebih cepat, kau bisa minta tolong padanya.”
“Aku tak mau. Lebih baik masak sendiri.” Mendengar nama itu, aku langsung berdiri dan membuka kulkas. Kami memang sudah saling berkirim pesan kemarin—itu pun terpaksa karena aku tak tahan melihat muka memelas si pria-yang-namanya-tak-akan-lagi-kusebut. Tapi itu bukan berarti perang dingin antara aku dan Yu Jin sudah selesai.


“Cih, kalian berdua.” Jin Ah memutar mata.
“Apa eonnie memberimu uang?” tanya gadis itu.
“Mana mungkin dia memberiku uang?”
“Jadi dia tidak memberimu uang?”
“Tak usah memikirkan semester pendekku. Aku sudah memutuskan untuk berhenti kuliah.”
“Jangan konyol! Aku akan mencari cara.”
“Besok hari terakhir pendaftaran,” kataku sambil mengeluarkan ayam tepung beku dari kulkas. Bukan bermaksud pesimis, tapi BESOK-TERAKHIR-PEMBAYARAN, dan kami sekeluarga tak punya uang. Dan aku sedikit banyak menyesal sudah melemparkan ‘upah’ dari Jill yang seharusnya sudah masuk ke kantongku itu. Huff.


“Kubilang aku akan mencari cara,” tekan Jin Ah sembari mengangkat tas dan paper bag-nya. “Aku pergi dulu. Hati-hati masaknya! Kugiling kau kalau sampai minyaknya tumpah!”


“Iya iya.” Aku menyalakan kompor.
“Hyo Jin! Apinya terlalu besar!”
“Iya iya bawel! Cepat pergi saja sana.”



**********



Aku sengaja datang lebih awal pagi ini. Aku harus datang lebih cepat dari pria itu, maksudku Yesung. Pukul 8 lewat 17 menit, aku bersandar di meja kerjanya, bersedekap menunggu sang pemilik datang. Beberapa karyawan yang lewat masih saja menatapku dengan sinis, tapi persetan, aku sudah benar-benar tak peduli. James si raja disiplin sudah ada di ruang kerjanya dan sebenarnya aku bisa saja mengadu padanya soal sikap karyawan-karyawannya yang kampungan. Mereka tidak tahu kebenarannya tapi sudah memperlakukanku seperti sampah. Tapi biarlah, abaikan saja, menurutku itu tidak penting untuk sekarang.


“Hey.”


Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pria itu seperti biasa menyapaku dengan ramah, bagaimana bisa ia bersikap sesantai ini setelah melakukan kejahatan keji? Benar-benar pro. Yesung berjalan melewatiku untuk meletakkan tas.


“Tumben datang kemari. Ada apa?”
“Ada yang mau kau jelaskan padaku?” pancingku. Tapi pria itu malah bertingkah sok lugu. Ia mengerutkan kening, melengoskan tali tasnya dari kepala sembari menggeleng bingung seolah berkata ‘apa maksudmu?’.


“Sebuah pengakuan, mungkin?”
“Pengakuan kalau aku menyukaimu? Tch, kurasa kau sudah tahu soal itu.”
“Pengakuan soal kemunafikanmu selama ini.”


Guratan kaget tersirat samar di wajahnya. Tetapi seperti yang kubilang, dia ini benar-benar pro. Yesung kembali menampilkan ekspresi tidak mengerti dengan sempurna.


“Bisa bicara yang jelas?” katanya serius.
“Kau yang menulis postingan itu!”
“Apa?”
“Apanya yang apa? Kau terekam di CCTV, jangan mengelak lagi!” seruku, sesaat membuat beberapa karyawan menoleh ke arah kami.


Pria itu tak menjawab. 


“Apa motivasimu melakukannya?”
“Duduklah!” Yesung menarik tanganku untuk duduk. Karena tak nyaman dengan tatapan orang-orang, aku mengikuti ucapannya sambil memelankan suara. Setidaknya mereka sudah mendengar teriakanku barusan soal ‘kau yang menulis postingan itu!’ dan dalam hitungan detik pasti gosip ini akan merebak di jejaring sosial kantor.


“Aku tak percaya kau melakukan ini padaku. Kau yang menulisnya, kau yang mempostingnya, lalu... lalu.. keesokan harinya kau datang padaku dan bertingkah seperti malaikat. Aku tak mengerti apa maumu,” kataku, keheranan setengah mati. Kalau dia menyukaiku, seharusnya dia tidak membuatku menderita, kan?


Yesung yang tertangkap basah itu cuma bisa terdiam sambil memandangku.


“Kau bahkan berbohong di hari pertama kita bertemu,” tambahku geram. Yesung langsung memalingkan muka. Sepertinya dia tahu ke mana arah pembicaraanku. Ya. High heels hitam yang dia akui sebagai pemberiannya.


“High heels itu dari James. Bukan kau.”
“Lalu apa masalahnya?” Yesung yang dari tadi terus diam tiba-tiba meletakkan telapak tangannya di meja dengan keras. “Ini terlalu sepele untuk dibahas.”


“Sepele? Maaf, tapi bagiku ini bukan masalah sepele. Kau membohongiku. Kau bermuka dua.”
“Muka dua?” Yesung mengulanginya dengan wajah tak percaya. “Kau menyebutku muka dua?” Lalu mengulangnya lagi dengan ekspresi sedih.


“Kalau bukan muka dua, jadi apa namanya?” balasku tak gentar. Dia sudah menusukku dari belakang. Aku tak akan tertipu lagi dengan actingnya.


“Oke, aku salah, aku bermuka dua, dan aku minta maaf. Tapi semuanya terlalu sulit untuk kukontrol,  kau dan James semakin dekat dan aku semakin ketakutan. Aku menyukaimu, Yu Jin~a. Aku masih menyukaimu.” Yesung menggenggam tanganku. Aku kembali berdiri seraya menepis tangannya.


“Dan kau pikir setelah semua yang kau lakukan, aku akan balik menyukaimu? Yang benar saja!”
“Makanya kau harus memberiku kesempatan! Sebenarnya sifatmu yang mengabaikanku itu yang membuatku gelap mata! Aku berusaha mati-matian mendapat simpatimu tapi kau sama sekali tidak mengacuhkanku. Kau pikir aku tidak lelah, hah? Aku lelah,” teriaknya. Tunggu! kenapa jadi pria ini yang mengomeliku?


“Ya ampun, tahu diri dong! Memangnya siapa yang meninggalkanku begitu saja setelah SMA? Setelah tidak ada kabar selama bertahun-tahun, tiba-tiba datang seenaknya dan memintaku kembali. Tidak, tidak akan, aku sudah tahu sifatmu sekarang, dan aku tak mau jatuh di lubang yang sama. Apa jaminannya jika kau tak akan meninggalkanku lagi?”


“Aku tidak akan meninggalkanmu lagi.”
“Kau juga bilang begitu sebelum pergi.” Aku menyangkal janjinya dengan cepat.
“Ini semua gara-gara CEO itu.” Yesung menggeram.
“Ini semua gara-gara kau,” bantahku.
“Dengar! Aku…” Aku mengambil salah satu buku di meja Yesung dan dengan dramatis menutup buku itu tepat di depan wajahnya. “…sudah menutup buku petualanganku denganmu.”


Yesung mencoba membukanya kembali, tetapi aku menahannya. Dia benar-benar kekanakan. Dan apa yang dia lakukan barusan merupakan perumpamaan yang sangat tepat untuk kejadian ini.


“Dan aku akan memulai lembaran baru dengan orang baru. Masih banyak gadis di luar sana, jadi tolong… tolong tutuplah bukumu denganku juga!”



**********



Hari itu, ketika aku sampai di rumah sakit, hal pertama yang kulihat adalah wajah Mino yang pucat.


“Cairan di paru-paru ibu sudah menumpuk,” katanya begitu aku menutup pintu.
“Jadi.. operasi?” tanyaku hati-hati.
“Ya. Mau tidak mau cairannya harus dikuras melalui selang dada.”


Aku mengangguk paham. “Kalau itu yang terbaik maka lakukanlah.”


“Menurutmu begitu?”
“Ya. Apa yang kau khawatirkan?”
“Entahlah, operasi terdengar sangat menyeramkan di telingaku.”
“Tapi kalau ibumu tidak dioperasi, cairannya akan semakin menumpuk dan menurutku itu malah jauh lebih menyeramkan lagi.” Mino mengangguk lemas, tetapi wajahnya tetap menunjukkan ketidakyakinan.


“Ibumu akan baik-baik saja.” Aku mendekat dan menepuk-nepuk pundaknya. Pria itu tersenyum samar sembari menangkap tanganku, lantas berdiri.


“Aku akan mengurus administrasinya dulu. Tolong jaga di sini sebentar ya.”


Aku mengangguk, dan Mino pun beranjak keluar kamar.


Setelah pintunya ditutup, aku meletakkan paper bag—berisi salmon dan buah berry—di atas meja. Lalu mulai membereskan selimut dan botol-botol kosong di dalam ruangan. Mino menginap di sini semalaman, jadi tentu saja keadaannya kacau. Saat aku sedang melipat selimut, tiba-tiba saja aku mendengar suara erangan lemah dari belakang.


Ibu Mino siuman.


“Eomonim!” Aku meletakkan selimut yang baru selesai kulipat di ujung sofa dan bergegas mendekatinya.
“D-di mana?”
“Eomonim sedang di rumah sakit. Mino sedang mengurus administrasinya, aku akan memanggi—“
“Tidak. Tidak perlu.”


Aku langsung menghentikan langkah, untuk beberapa saat cuma diam memerhatikan wanita itu.


“E-eomonim mau minum?” Aku menawarkan sambil tergagap-gagap. Oh sial, kenapa aku jadi mendadak gugup begini? Dan kenapa ibu Mino siuman saat aku sedang sendirian?


Setelah membantunya minum, aku kembali diam karena tak tahu harus apa.


“Ah, itu, hmm, aku bawa salmon, apa eomonim mau m-makan?” Aku menunggu jawabannya dengan gugup, tetapi wanita itu hanya memerhatikanku tanpa berkata apa-apa. Aku membuka paper bag-ku dengan tangan bergetar sambil menerangkan betapa bagusnya ikan salmon yang kaya protein.


“Sekarang kau jujur padaku, sudah berapa lama kalian saling kenal?”


Pertanyaan itu meluncur begitu tiba-tiba. Sukses membuat alat gerakku seketika kaku.


“Tolong katakan yang sejujurnya.” Walau diucapkan dengan lemah, sekujur tubuhku tetap saja berhasil dibuat merinding. Nada bicaranya terdengar sangat tajam sampai membuatku takut.


“Aku…” Apa yang harus kukatakan sekarang? Berbohong lagi? Tidak mungkin. “Sekitar dua minggu,” jawabku dengan nada bersalah. Aku sama sekali bukan anak yang pandai berbohong. Apa lagi jika di bawah tekanan seperti ini. Lupakan saja. Setelah berkata jujur, aku langsung menunduk dalam-dalam karena takut.


“Lalu kenapa kau bilang 3 bulan? Mino menyuruhmu mengatakannya?”
“A-aku…” Aku memikirkan jawabannya sekuat tenaga, tetapi tidak ada satu kata pun yang muncul di kepalaku.


“Aku tidak setuju,” katanya, sontak membuat kepalaku terangkat. “Aku tidak setuju jika kalian menikah dalam waktu dekat ini. Apa pun alasannya, aku tidak setuju.”


Sesuatu di dadaku langsung retak. Aku menatapnya sambil berusaha menahan tangis.


“Kau terlihat seperti anak yang baik, aku ingin mengenalmu lebih dalam dulu, boleh kan? Lagi pula kau dan Mino sama-sama masih muda, maksudku, kalian boleh bersama… tapi tidak dengan menikah tahun ini atau tahun depan. Pikirkanlah masak-masak.”


Aku mengangguk dengan senyum lemas.


“Jika keinginan menikah kalian tak ada urusannya dengan warisan, seharusnya bukan masalah kan jika aku bilang begini?”


“T-tentu saja.”
“Terima kasih sudah mengerti.”



**********



Setelah mengucapkan semua itu kepada Yesung, aku berjalan ke ruanganku dengan langkah yang lebih ringan, tidak juga, sesuatu masih saja terasa mengganjal. Bagaimanapun aku pernah jatuh cinta setengah mati pada pemuda itu. Dia adalah cinta pertamaku.


Sebagai seorang kakak, terlebih tanpa orangtua, aku merasa sendiri, semua tanggung jawab kupikul sendiri, tak ada yang memerhatikanku, tak ada yang memedulikanku. Dan saat itulah dia datang. Yesung datang di saat yang benar-benar tepat, di saat aku benar-benar merasa sepi, terpuruk, butuh pegangan. Dia membantuku dalam segala hal, dia menemaniku pulang setiap hari saat SMA, dia menghiburku setiap kali ada masalah, dia mengantar-jemput Hyo Jin ke SD-nya saat aku sedang sakit, dia membelikan kami makanan, dia menuruti keinginan kedua adikku untuk pergi ke mana-mana, atau mau beli apa, dia makan malam bersama kami, dia melindungiku saat dibully senior, dia... adalah gambaran pria sempurna tanpa cela—sesuatu yang hanya kau dapat dalam novel.


Aku merasa benar-benar beruntung bisa mengenalnya sampai sesuatu terjadi di akhir November 2007. Dia menghilang. Ponselnya tidak aktif, rumahnya kosong, semua temannya juga tidak ada yang tahu. Aku terpuruk hebat karena ditinggal dengan cara seperti itu. Aku takut telah berbuat kesalahan, aku takut dia meninggalkanku karena sakit hati akan perbuatanku, atau perkataanku, atau apa pun tentangku. Aku benar-benar takut. Satu-satunya peganganku kala itu adalah perkataannya yang mengatakan bahwa aku adalah rumahnya, bahwa sejauh apa pun dia pergi, pada akhirnya dia akan kembali padaku.


Jadi aku menunggu. Seperti rumah yang ditinggal penghuninya. Ya, dia mengibaratkanku sebagai ‘rumah’, sesuatu yang tak akan pergi, hanya berdebu. Well, setelah sekian tahun, sekarang aku sadar aku bukan rumah. Aku tidak bisa sesetia itu. Aku tidak mau diperlukan seenaknya begitu, ditinggal pergi kapan pun ia mau dan kembali pulang jika ingin. Tidak. Aku mengambil keputusanku hari ini, keputusan untuk berhenti menjadi ‘rumah’-nya.


Keputusan ini bukan berarti aku akan melupakan pria itu selama-lamanya. Jujur saja, aku tak akan bisa. Terlalu banyak kenangan manis yang kudapat darinya. Jadi, seperti yang kubilang tadi, aku sudah menutup buku petualanganku dengan Yesung, dan akan menyimpannya rapat-rapat. Bagaimanapun dia sudah mewarnai masa-masa mudaku dulu, terlalu munafik jika aku bilang aku bisa melupakannya.


Saat aku sampai di ruanganku, James sudah berdiri di depan pintunya.“Yu Jin.”


“Ya?”
“Ini.” Pria itu cuma memberikan selembar kertas dengan wajah datar dan kembali masuk ke ruangannya. Aku segera membuka kertas itu, dan seketika terbelalak marah. Apa-apaan ini! Tanpa pikir panjang, aku langsung menyeruak masuk ke ruangannya. Sekujur tubuhku rasanya terbakar emosi.


“Kenapa kau memecatku?” seruku langsung
“Kau sendiri yang bilang kau tertekan berada di sini.” James memutar langkahnya menghadapku dan balik berseru.


“Apa? Itu, itu bukan alasan! Aku bisa bertahan!”
“Tidak. Aku tidak mau.”
“James! Apa maumu? Kau memintaku bekerja di sini dan sekarang memecatku begitu saja. Ini benar-benar tidak…”


“Aku sudah menelepon perusahaan lamamu, dan mereka bersedia menerimamu kembali.”
“Apa?” Hatiku mencelos. Dia sudah mempersiapkan semua ini. Dia benar-benar berniat untuk menyingkirkanku. Aku tak kuasa menahan tangis, sekujur tubuhku rasanya bergetar karena marah, dan sedih dan kecewa. Maksudku, kenapa dia melakukan ini? Di saat aku sudah merasa sangat nyaman berada di sekitarnya, kenapa dia malah mengusirku?


“Oh, hahaha.” Aku tertawa hampa karena tak mengerti situasi macam apa yang sedang kuhadapi ini.
“Jadi aku dipecat? Baiklah jika itu maumu.” Aku membalik badan dan meraih kenop saat tiba-tiba James membalik tubuhku.


“Kau seorang desainer logo, bukan sekretaris. Belakangan ini aku benar-benar egois. Aku menginginkanmu, memintamu bekerja di sini padahal perusahaan ini tak benar-benar membutuhkan jasamu, memaksamu menjadi sekretarisku dan segalanya. Semua yang kulakukan benar-benar egois.”


Ya. Dia memang egois, tapi aku sudah terbiasa.


“Aku ingin kau menyukai pekerjaanmu. Aku ingin kau tetap menjadi desainer logo. Aku ingin membeli barang-barang dengan logomu di labelnya, menebak apa maksudnya, lalu mengagumimu sampai puas,” lanjutnya lagi.


Dia pasti sudah mempersiapkan kalimat-kalimat itu. Aku tak bisa memungkiri kalau alasan yang ia buat benar-benar bagus. Aku sampai tak bisa meresponnya sama sekali. Dia ingin aku menyukai pekerjaanku, dan dia tahu dengan jelas bahwa sekretaris bukanlah sesuatu yang kusukai. Tapi, yang tidak ia tahu adalah, dirinya, James Lee, adalah sesuatu yang kusukai dan rasanya aku bisa menahan diri untuk menjalankan pekerjaan ini asalkan bersamanya setiap hari.


“Kuharap kau mengerti,” katanya pelan.
“Ya, tentu. Di dunia ini hanya kau yang boleh egois. Karena kau CEO J’S, maka apa pun yang kau ucap adalah perintah. Walaupun aku tak mengerti, jika kau menyuruhku pergi maka…”


Saat aku sedang bicara dengan penuh emosi begitu, tiba-tiba saja James merengkuh kepalaku dalam tangannya dan mencium bibirku. Dalam sekejap, ruang kerja ini jadi terasa sunyi. Semua pemandangan sibuk para karyawan di luar mendadak buram. Walaupun Yesung dan Maria sudah menduga James menyukaiku, tapi tetap saja situasi ini terasa tidak nyata. Maksudku, walaupun dia menyukaiku pun, James Lee si CEO rigid ini tidak seperti pria yang mudah mencium sembarangan orang.


James menggiringku ke sofa tanpa menghentikan ciumannya. Aku benar-benar merasa seperti tidak sadarkan diri. Lama-kelamaan aku yang dari tadi bertindak sebagai penerima justru malah mendorong punggungnya mendekat dan memeluknya sambil memperdalam ciuman kami dengan penuh gairah.


TETTT!


[Selamat pagi tuan James, saya ingin mengingatkan 2 jam lagi mitra dari Jeju akan datang]


Suara yang muncul dari interphone membuat kesadaran kami kembali. Melihat berapa berantakannya kami saat itu, aku segera mendorong James dan nyaris berteriak. Tapi pria itu dengan cepat membekap mulutku dengan tangannya.


James meletakkan telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkanku untuk diam.


“Ya, Maria. Terima kasih sudah mengingatkanku,” ucapnya sambil berjalan ke meja kerja. Aku sama sekali tak mengerti bagaimana bisa ia bertingkah setenang itu dan menjawab interphone-nya dengan nada dingin seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa, sementara aku di sini malah tak mampu berdiri sama sekali karena lemas. Dan bagaimana bisa ia masih terlihat rapi di saat berantakan? Maksudku, lupakan saja!


“Maria?” Aku menoleh ke ruangan sekretaris dan baru sadar kalau pemilik nama itu sudah duduk manis di kursiku. Tunggu, masih bolehkah aku menyebutnya kursiku?


“Dia tidak melihat kita.”
“Aku tahu.”
“Mulai pagi ini dia memang sudah kembali ke posisinya.”


Aku cuma bisa menghela napas getir. Itu menjawab kenapa James menghalangiku masuk ke ruanganku sendiri. Ralat, itu bukan ruanganku lagi.


“Dengar, menurutku akan lebih baik jika kita saling mengenal sebagai James dan Yu Jin. Bukan CEO dan sekretarisnya.”



**********



Seminggu pun berlalu. Aku menemukan uang di laci meja belajarku dan menggunakannya untuk pendaftaran semester pendek. Tidak ada yang menyinggung tentang uang itu, tapi aku yakin 99,99% bahwa Jin Ah-lah pelakunya. Aku bicara begini bukan tanpa alasan, aku menemukan bekas celengannya di tempat sampah. Dan sebagai orang yang mati-matian mendukungku untuk mendaftar semester pendek, sikapnya yang tak acuh itu sungguh aneh—dia tak bertanya ‘apa kau sudah mendaftar?’ sama sekali. Lagi pula, aku dan Yu Jin masih terlibat perang dingin jadi rasanya mustahil jika anak itu yang diam-diam menaruh uang di laci mejaku.


“Uhuk, terima kasih.” Jin Ah yang sedang mencuci piring melirikku. Alisnya berjengit heran.
“Kau kenapa?”
“Okay, kau tak perlu berpura-pura lagi.”
“Pura-pura apa?”
“Uang yang kau taruh di laci mejaku, aku sudah memakainya untuk pendaftaran.”
“Uang apa?”
“Eonnie, apa bagusnya sih menyembunyikan kebaikan dari adik sendiri?”
“Apa, sih? Aku sama sekali tak memberimu u...Tunggu, astaga! Aku benar-benar lupa. Bagaimana dengan pendaftarannya?” Jin Ah meletakkan piring penuh busa itu begitu saja dan berbalik ke arahku dengan mata membeliak.


“Apa yang kau bicarakan? Tentu saja aku sudah daftar! Dengar, aku sudah tahu semuanya!”
“Sudah tahu apa? Aku tidak memberimu uang!!”
“Tapi aku melihat celenganmu di tempat sampah.” Aku balik berseru.
“Ya, aku menggunakan tabunganku untuk membantu Mino membiayai operasi ibunya. Kau tahu kan kita tak bisa mengandalkan warisan lagi, ibunya tidak mengizinkan kami menikah.”


“Apa? Lalu siapa yang…”


Jin Ah langsung memandangku seolah berkata ‘siapa lagi?’



**********



Ini sudah hampir jam 11 siang dan aku belum mengangkat badanku seinci pun dari tempat tidur. Sebenarnya aku sudah bangun dari tadi, tapi entah mengapa otakku mengatakan bahwa merefleksi diri menatap langit-langit kamar di minggu pagi adalah ide yang bagus, dan aku mengikutinya. Setelah kejadian seminggu yang lalu itu, James tak menghubungiku sama sekali. Seperti yang James bilang, aku dipecat dari J’S dan mau tak mau harus kembali ke perusahaan lama.


Saat aku kembali di hari pertama, rekan-rekan kantorku membuat perayaan kecil dan kami semua makan kue bersama-sama. Itu mengharukan, sungguh. Kejadian semacam itu adalah hal yang paling kurindukan, sesuatu yang tak mungkin kudapat di perusahaan semegah J’S. Suasana kekeluargaan. Tapi mungkin inilah tabiat asli manusia, sesuatu yang sudah hilang atau pergi selalu terlihat paling berkilau. Aku masih ingat benar betapa kacaunya aku saat meninggalkan perusahaan dan harus bekerja di J’S. Dan sekarang perasaan itu kembali berulang. Walau aku bilang aku merasa tertekan bekerja di sana, tetapi di saat yang bersamaan aku tak mau pergi.


Dan beginilah aku sekarang, menjalani hari-hari sebagai desainer logo lagi, berkutat dengan photoshop dan klien-klien cerewet lagi.


Ceklek


“Kukira kita sedang bertengkar.”


Aku kontan melirik ke arah pintu. Hyo Jin baru saja membukanya dan sekarang tengah menyender miring di tembok. Aku mendengus, lalu kembali menoleh ke langit-langit. Aku sudah benar-benar sangat amat luar biasa lelah menyuruhnya untuk bicara dengan sopan, atau paling tidak mengetuk pintu sebelum memasuki kamar. Jadi lupakan saja.


“Sedang bertengkar atau tidak, statusmu tetaplah adikku, dan mau tak mau aku harus menanggung biaya kebodohanmu itu.”


“Benar-benar! Lihat saja nanti kalau aku sudah kaya, kubayar semua uangmu.”
“Berhentilah bicara omong kosong, belajar saja sana! Tck, kau tak lihat betapa menyedihkannya aku hari ini? Gara-gara membayar uang semester pendekmu aku jadi tak punya uang lagi untuk jalan-jalan ke mall. Ini kan hari minggu.”


“Kan ada James,” ucap Hyo Jin enteng. Aku tak percaya betapa sempitnya pikiran gadis ini dalam menjalani hidup.


“Dia tak pernah meneleponku.”
“Kalau begitu telepon duluan.”
“Aku bukan tipe gadis sepertimu, tak tahu malu,” cibirku. Hyojin menguap dengan bosan.
“Iya. Gengsinya selangit. Wajar jika sudah setua ini belum ada yang melamar juga.”
“YAH! Dasar rubah betina!” teriakku sembari bangkit ke posisi duduk. Hyo Jin buru-buru keluar untuk menyelamatkan nyawanya.


“Heh tunggu! Tiga hari yang lalu aku bertemu L.Joe!” seruku cepat. Hyo Jin langsung menahan pintu yang sedang ia tutup, kemudian membukanya lagi perlahan-lahan sembari menyembulkan kepala.


“Bohong,” tuduhnya.
“Terserah kalau kau tak percaya.”
“Ceritakan padaku!”
“Katamu aku bohong,” godaku.
“Eonnie!!”
“Jadi hari Kamis itu aku lembur. Aku pulang jam 11 malam dan di depan gang kita ada motor yang menyerempet kakiku. Kau tak tahu kan kakiku bengkak? Cuma Jin Ah yang tahu, kau itu sama sekali tak peduli, mau kakaknya diculik alien pun kau tak akan peduli.”


“Kita kan sedang perang dingin,” kilah Hyo Jin. Aku menggeleng-geleng melihat ketidakpeduliannya. 
“Jadi L.Joe menabrakmu?” Dia bahkan tidak mencoba mengecek kakiku sama sekali dan langsung menanyakan L.Joe. Aku menghela napas berusaha menguatkan diri.


“Bukan. Aku tak tahu siapa yang menabrakku, dia langsung kabur. Tapi setelah itu aku mendengar suara L.Joe.”
“Jadi dia yang menolongmu?”
“Ya. Entah dari mana tiba-tiba dia berteriak menyuruh pengendara motor itu berhenti, lalu langsung mengejarnya pakai sepeda.”


“Dia bawa sepeda?” tanya Hyo Jin dengan ekspresi ‘tidak mungkin’.
“Tidak. Ada sepeda di depan rumah paman Ok dan dia mengejarnya dengan itu. Lalu tak lama kemudian anak itu kembali dengan muka penuh keringat sambil berkata ‘aku tidak bisa mengejarnya dia terlalu cepat’ lalu aku bilang ‘tentu saja bodoh, dia kan pakai motor! bukannya langsung menolongku, kakiku sakit sekali lihat tidak?’” Aku menirukan cara bicara kami malam itu semirip mungkin, lengkap dengan ekspresinya. Dan Hyo Jin terbelalak lebar di depan pintu.


“Bagaimana bisa kau berkata sekasar itu pada putra zeus?” tanyanya sambil memegangi dada dengan ekspresi tersakiti. Melihat ekspresinya itu, aku refleks menjulurkan lidah dengan jijik.


“Lalu apa yang terjadi?”
“Dia menemaniku pulang.”
“APA? Jangan bilang dia menggendongmu!” teriaknya.
“Ew, tentu saja tidak.” Aku berjengit geli membayangkannya. "Dia cuma menuntunku."
“Astaga, itu berarti kau memeluknya!!” teriak gadis itu lebih keras.
“Hyo Jin! Gendang telingaku bisa pecah!”
“Tapi kau memeluknya!”
“Cuma dengan sebelah tangan, astafa! Lagi pula aku sama sekali tidak tertarik dengan pria kecil seperti itu, lebih baik kakaknya ke mana-mana.”


“Aku tahu, James memang lebih tinggi, lebih kekar, lebih dewasa, lebih berkarisma, lebih segala-galanya dari L.Joe tapi… tapi L.Joe benar-benar baiikk.” Hyo Jin menekankan kata terakhirnya dengan berlebihan.


“Oke, untuk yang satu itu kau ada benarnya. Mungkin tidak selamanya first impression itu bisa dijadikan patokan untuk menilai seseorang, nyatanya dia tak seburuk yang kukira.”


“Dia tidak buruk sama sekali,” bela Hyo Jin.
“Dan anak itu juga benar-benar wangi.” Aku berucap pelan sembari membayangkan aroma parfum L.Joe malam itu. Selera parfum James dan sang adik benar-benar berbeda, tapi dua-duanya sama-sama enak. Dan bagaimana bisa parfumnya tetap menempel sempurna setelah mengayuh sepeda sampe penuh keringat begitu? James juga. Parfumnya tetap menempel di badannya dari jam 8 pagi sampe sore. Okay, itu pasti parfum mahal.


“Apa yang sedang kau bayangkan? Dengar ya, kalau kau sedang membayangkan L.Joe, aku akan mencabik-cabik kepalamu.”


“Astaga! Kenapa kau posesif sekali, aku bebas membayangkan apa pun yang kumau!”
“Dasar phedofil! Jangan membayangkan yang tidak-tidak!"
“Heh jaga bicaramu!”
“Dasar Phedofil!”


BUM!


Dan anak sial itu pun pergi begitu saja dari kamarku.



**********



Aku masuk ke kamar dengan perasaan panas dan senang di saat yang bersamaan. Maksudku, aku benar-benar tak suka mendengar L.Joe dipuji oleh perempuan lain—termasuk kakakku—aku tahu dia sempurna, bisakah kau berhenti membicarakannya? Pakai membayangkan aroma parfumnya segala, itu benar-benar erotis! Walaupun peluang Yu Jin menyukai L.Joe nyaris nol, tetapi tetap saja aku tak suka.


Tetapi di sisi lain, aku juga senang bukan main mendengar pujian-pujian itu ditujukan pada L.Joe. Seperti, ada sesuatu yang menelusup lembut di dadaku dan membuatku senang, dan bangga, dan rasanya ingin berteriak ‘Ya, ayo terus puji dia! L.Joe memang baik, dia wangi, dia sempurna, dia priaku’ sambil melempar pompom.


Jika Fred W. Riggs mempunyai teori prismatik mengenai dualisme hukum, maka Park Hyo Jin mempunyai teori prismajin mengenai dualisme perasaan, di mana di satu sisi aku ingin menutup muka L.Joe dengan selimut agar tak ada yang bisa melihat betapa sempurnanya dia, tapi di sisi lain juga ingin memamerkannya ke mana-mana supaya orang lain iri.


Ya Tuhan, lihat apa yang baru saja kupikirkan! Aku baru saja menyambung-nyambungkan teori yang kudapat dari kampus dengan perasaanku sendiri. Kalau begini caranya aku pasti akan mendapat nilai A di semua mata kuliah. Aku mengulurkan tanganku dan menjentikkan jari ke arah pantulan diriku sendiri di cermin sambil berkata, “Genius.” Seperti orang bodoh.


Karena merasa sudah siap untuk belajar, aku segera mengambil salah satu buku paket di meja dan mulai membacanya. Sebenarnya ini tergolong tindakan ekstrim, karena buku dan aku sudah saling bermusuhan sejak lulus SMA. Aku sama sekali tak bisa membaca buku, maksudku, lihat saja betapa mengerikannya mereka. Dengan huruf sebanyak itu, mereka bisa menenggelamkanku di lautan huruf. Dan seperti yang sudah kuduga, setelah membaca dua paragraf, kepalaku berdenyut kencang sampai membuatku nyaris pingsan. Tak punya pilihan lain, aku pun segera menutup buku terkutuk itu kembali.


“Besok hari Senin dan itu artinya semester pendekku dimulai,” gumamku sedih. “Ya ampun, bagaimana caranya aku melewati semester ini?”


Bahkan setelah melewati semester pendek pun, aku masih punya dua tahun lagi di kampus sebelum bisa menjadi sarjana, membayangkan itu semua membuatku semakin stres. “Heh L.Joe! Cepat kemari dan nikahi aku saja!” dengusku. 


“Siapa yang menciptakan sistem perkuliahan! Aku sudah sekolah lama sekali masih harus kuliah juga, dasar! Dasar!”


“Aku mau menikah saja!”


“YAH L.JOE SIALAN! CEPAT NIKAHI AKU!”


Aku terus merengek, berteriak-teriak sendiri sambil berguling-guling di kasur. Oke, aku memang sudah gila. Tidak bertemu L.Joe selama seminggu membuatku gila. Aku merindukannya. Sejak kejadian penolakan itu, sebenarnya aku sudah bertekad dalam hati untuk berhenti memikirkan dan menyebut namanya. Tapi Yu Jin malah bercerita tentang L.Joe seolah sudah memberiku izin untuk mengencaninya, dan sekarang rasanya aku ingin berlari ke kafe Lafrein dan mengulang semuanya dari awal. 


Bukan itu saja, Yu Jin yang terus mendesakku untuk kuliah dan mendapat gelar sarjana juga punya andil besar membuatku stres. Padahal dengan wajah secantik ini aku bisa jadi model dengan mudah. Siapa yang butuh ijazah sarjana? Siapa yang membuat tatanan sosial di negeri Korea tercinta ini selalu penuh dengan hal-hal formil? Mereka kira semua orang yang bergelar sarjana itu pintar, ya? Di mana keadilan? Kenapa semua orang yang tidak bergelar sarjana harus dipandang sebelah mata? Ini namanya diskriminasi. Jika aku lulus, aku akan jadi menteri pendidikan, lihat saja, aku akan membawa kedamaian dan keadilan bagi anak-anak malang yang bernasib sepertiku di luar sana.


“Heh, ada yang mencarimu!” Jin Ah tiba-tiba membuka pintu kamarku.


BRUK!


“JIN AH!” teriakku kesal. Dia benar-benar membuatku kaget. Aku yang sedang dalam posisi headstand langsung kehilangan keseimbangan dan jatuh dari ranjang. Dan Jin Ah, bukannya membantu, malah menatapku datar seolah apa yang baru saja terjadi adalah sesuatu yang normal.


“Ada seseorang di luar,” ulangnya bosan.
“Siapa?”
“Lihat saja sendiri,” katanya lalu pergi.


Akhirnya, sambil mengelus-elus kepala aku melangkah keluar dan menarik pintu masuk yang sudah setengah terbuka. Dan saat itu juga rasanya aku langsung kehabisan napas dan tercekat sendiri. Kemudian secara refleks membanting pintu itu tepat di mukanya, maksudku L.Joe. Ya, L.Joe datang! Sejak kapan dia di situ? 


“Hyo Jin~aa.” L.Joe mengetuk-ngetuk pintunya. Aku segera berbalik badan dan menahan pintu itu dengan punggungku. Dadaku rasanya mau meledak karena terlalu terkejut sekaligus terlalu senang. Aku menarik ikat rambutku sampai terlepas dan merapikan poniku.


“Heh, aku sudah cantik belum?” bisikku pada Jin Ah yang baru muncul dari arah dapur. Tapi bukannya menjawab, gadis itu malah menjulurkan lidahnya dan masuk ke kamarnya begitu saja. Benar-benar tak ada gunanya!


Aku pun membuka pintunya perlahan-lahan, lantas menatap L.Joe dengan tajam seolah berkata ‘apa maumu!’


“Dengar! A-aku sudah berusaha,” katanya susah payah. Alisku berjengit melihat sikapnya yang tidak biasa.


L.Joe yang tak senang mendengar nada bicaranya sendiri langsung membuang napas dengan marah.


“Aku sudah berusaha menjauhimu tapi tak bisa Hyo, tak bisa. Kau mengerti tidak, sih? Pada akhirnya aku tetap berjalan ke sini tiap malam, mondar mandir di depan rumahmu seolah mau maling. Sekarang aku tidak peduli lagi, aku tak peduli walaupun kau tidak menyukaiku, sudah punya pacar atau apalah,” kata L.Joe dengan napas kacau. Berarti kejadian Kamis malam yang diceritakan Yu Jin barusan itu benar. Jadi dia memang suka jalan-jalan ke sini karena merindukanku? Oh tidak, itu benar-benar manis. Aku mencoba menahan senyumku mati-matian.


Be my miss right, please,” katanya dengan nada memohon.
“Aku sudah mengatakan alasanku, Joe. Aku…”
“Kau bukan gadis baik-baik?” sela L.Joe muak. “Okay, untuk gadis buruk-buruk, be my miss wrong please.”


Aku mengernyit tak senang. Gadis buruk-buruk? Miss wrong? Apa-apaan dia!


“Kenapa kau selalu bilang gadis baik-baik? Siapa peduli dengan gadis baik-baik?!”
“Kau sendiri yang bilang ingin gadis baik-baik!” seruku balik.
“Aku yang bilang?” L.Joe mengernyit.
“Ya. Sekarang malah sok-sok lupa lagi, cih dasar!”
“Kapan aku bilang begitu?”
“Tidak penting.”
“Yah, memang tidak penting, tapi kau membesar-besarkan segalanya. Dengar, aku minta maaf jika aku pernah bilang begitu. Tapi untuk apa kau marah? Kau baik, setidaknya menurutku kau baik.”


“Bohong.”
“Sebenarnya apa maumu?” Tunggu, bukankah seharusnya dia merayuku? Kenapa anak ini malah memarahiku?


“Kau bohong! Bagaimana bisa kau menganggap gadis sepertiku baik?” Aku balas mengomel.
Well, untuk ukuran pria sepertiku, kau… baik.”
“Kau terdengar tidak yakin.”
“Bukan begitu, oke begini.. anggap kita berdua sama-sama tidak baik. Kau tahu kan prinsip matematika sederhana, di mana negatif bertemu negatif hasilnya akan positif? Bisakah kau mengibaratkan kita berdua seperti itu?” L.Joe menggunakan kedua tangannya untuk menjelaskan bagaimana ‘negatif bertemu negatif menjadi positif’ seolah aku adalah anak paling bodoh sedunia. Aku hanya memandangnya tanpa ekspresi. Melihat reaksiku itu, L.Joe langsung mendesah putus asa. Ia berbalik dan menendang angin sambil berseru, “Saus tartar!” dan lagi-lagi aku harus menahan tawaku mati-matian, rasanya aku ingin meringis dan mencubit pipinya karena anak laki-laki ini benar-benar lucu.


“Okay, karena kau benar-benar terlihat kacau malam ini dan aku kasihan padamu,” ucapku menggantung. L.Joe berbalik dan menatapku dengan sebelah alis berjingkat, dan senyum penuh harap.


“Aku bersedia menjadi miss wrong-mu.”


L.Joe langsung memalingkan wajah tersenyumnya begitu mendengar jawabanku. Ia tertawa hambar seolah-olah tak percaya dengan situasi ini, kemudian menyerong ke kiri dan menutupi wajahnya yang mulai memerah dengan punggung tangan. Melihat betapa salah tingkahnya bad boy payah ini, aku jadi ikut tak bisa menahan senyum dan mulai tertawa aneh bersamanya, saling lirik dan membuang pandangan dengan cepat. Ini gila. Dia lucu.


Okay, Yu Jin bisa memamerkan James-nya yang tinggi dan punya badan bagus dan berkarisma dan apalah-apalah, tapi apa dia punya eyesmile yang manis seperti L.Joe? Atau apa dia bisa seekspresif pria ini? Apa dia selucu L.Joe? Apa dia mengumpat sambil bilang ‘saus tartar’? Tidak, kan? Jadi siapa yang menang di sini?


Aku mengulurkan tanganku ke depan mukanya. “Apa?” tanya pria itu.


“Bukankah seharusnya kau menyematkan cincin berliannya sekarang?”
“Apa? Aku tidak punya.”
“Ah!”
“Dipeluk saja bagaimana?” L.Joe merentangkan tangannya.
“Cih.” Sejujurnya, terjemahan ‘cih’ dalam kepalaku adalah ‘oke’.
“Sini.”




************



Operasinya berjalan dengan lancar dan sekarang ibu Mino sudah diizinkan untuk pulang. Mengenai biaya operasi, Mino, Seunghoon dan aku memutuskan untuk patungan. Kami bertiga dengan kompak mengumpulkan uang tabungan dan mengambil gaji di muka. Kemudian sisa uangnya digunakan untuk biaya perawatan setelah operasi.


Lalu soal warisan, berhubung tujuan utama mendapatkan warisan itu sudah selesai, maka kami berhenti membahasnya. Aku dan Mino tak membicarakan soal pernikahan lagi dan menjalani hidup seperti air. Maksudku, kalau pada akhirnya kita berdua berjodoh, maka tak ada yang bisa menghalangi. Lagi pula seperti kata Yu Jin, menikah itu seharusnya tidak di bawah tekanan, tidak karena suatu alasan, itu akan menodai esensi suci dari suatu pernikahan. Dulu aku hanya menganggap kata mutiara tersebut hanyalah omong kosong, tapi sekarang akhirnya aku sadar bahwa ucapannya itu ada benarnya.


Aku sadar bahwa obsesi konyolku untuk menikah muda adalah salah satu dari sekian hal yang membuatku benar-benar stres selama ini. Aku membulatkan tekad untuk menikah secepat mungkin karena ingin menghindari bekerja. Hari itu dosenku menceritakan pengalaman kerjanya yang mengerikan, dia dibully dan nyaris dibunuh, dia bilang budaya bullying bagi junior—dalam segala situasi—merupakan sebuah tradisi yang sudah mengakar kuat dalam budaya Korea. Seperti, mereka tahu itu adalah perbuatan yang buruk tetapi karena dulu mereka diperlakukan seperti itu, maka mereka merasa harus melakukannya juga. Hal itu yang membuatku sedikit banyak takut berada di luar, aku takut bekerja untuk orang lain, dimarahi atasan, aku takut dengan rekan-rekan kerja yang jahat dan lain-lain. Dan menurutku, jika aku menikah, maka secara otomatis aku akan terlepas dari tanggung jawab bekerja.


Lalu kemudian karena sudah memegang kuat prinsip ‘menikah muda’ itu selama bertahun-tahun, lama-lama aku jadi menemukan banyak alasan baru—sampai-sampai aku lupa akan alasan awal prinsip itu terbentuk. Maksudku, aku sudah bekerja sekarang, dan segalanya baik-baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan.


Ya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, termasuk Hani. Dia tak meletakkan pekerjaannya di mejaku lagi sekarang, dia bahkan tak berani melirikku. Rekan-rekan kerjaku yang lain pun lama-kelamaan menjadi mulai terbiasa dengan kehadiranku, mereka mengajakku bicara, menawarkanku biskuit, atau mengundangku minum di kedai soju saat ada yang ulang tahun, intinya keberadaanku mulai dianggap. Aku sudah melewati fase anak baru yang miris itu.


Bahkan salah satu dayang Hani sekarang menjadi temanku, namanya So Ah. Kebetulan sore itu kakak laki-lakinya tidak bisa menjemput, dan mau tak mau dia harus menaiki bus. Karena tidak tahu rutenya, dia meminta bantuanku dan kita pulang bersama. Dia menceritakan banyak hal selama di bus, dia memberi tahu merek make up-nya dan merekomendasikanku produk kecantikan, dia bilang kulitku bagus dan blablabla. Yang ingin coba kukatakan di sini adalah, semuanya akan baik-baik saja. Seburuk apa pun hidupmu saat ini, pada akhirnya semua akan baik-baik saja. Kau hanya perlu bertahan. Be strong. Be brave.


Sore ini, aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah Mino. Saat aku keluar lift, Mino yang menunggu di lobi langsung berdiri dari kursinya sambil tersenyum mengulurkan sebelah tangan. Aku menyambut uluran tangannya, dan kami berjalan sembari bercanda melewati resepsionis. Dan saat itulah kami bertemu Hani.


“Hey, Han.” Mino menyapanya dengan ramah. Bagaimanapun mereka cukup dekat, dan aneh rasanya jika pria itu harus bersikap seperti orang asing hanya karena gadis itu punya masalah denganku.


Hani cuma tersenyum tipis sebagai jawaban, tanpa melirikku sama sekali. Ia berjalan melewati kami dan tepat saat di undakan terakhir sebuah mobil merci mewah berhenti di depannya.


“Eun Chol, kau bilang tak bisa jemput.” Gadis itu berseru dengan nada manja. Si pria yang dipanggil Eun Chol itu turun dari mobilnya sambil tersenyum cerah dan berkata, “Kejutan!”.


Melihat adegan konyol itu, aku dan Mino yang berdiri di belakang mereka cuma bisa saling lirik. Mino memainkan alisnya seolah sedang mencibir, aku berusaha menahan tawaku sambil menepuk lengannya. Dan saat itu kedua orang di depan kami pun mulai berciuman. Mino langsung menutup mataku dengan kedua telapak tangannya sembari menggiringku berjalan melewati jalan lain.


Kemudian setelah mobil merci itu berhasil kami lewati, aku langsung menarik tangan Mino dari mataku dan kami tergelak bersamaan.


“Aku yakin dia melakukan itu untuk memanas-manasimu.”
“Aku?”
“Yeah, seperti… lihat Song Mino-ssi, aku bisa punya pacar yang lebih keren darimu,” jelasku ekspresif.
“Cih, keren apanya?”
“Dia punya merci.”
“Lalu? Motorku tak kalah bagus, kok.”
“Hahaha. Tapi serius, apa yang mereka pikirkan? Berciuman di tempat umum?”
“Seingatku katamu dia menyukaiku, eh?” Mino merangkulku dan mendengus seolah berkata ‘aku tahu ucapanmu cuma omong kosong’.


“Mungkin sudah bosan,” jawabku sembari mengedikan bahu.


Aku menggenggam sebelah tangannya yang menggantung di pundakku dengan perasaan senang. Kalian tahu, mengetahui fakta bahwa Seo Hani sudah memiliki kekasih baru membuat seluruh beban di dadaku menguap ke awan. Rasanya benar-benar ringan. Itu artinya Song Mino aman, dan aku bisa bernapas lebih lega.




*********



“Yu Jin~a, aku pulang duluan,” seru Ah Ri sambil melambaikan tangan. Aku mengangguk padanya.
“Yu Jin, jangan lembur lagi!” seru temanku yang lain. Aku meletakkan tanganku di pelipis—sikap hormat—dan tertawa pendek pada anak itu.


Ya. Ini sudah waktunya pulang dan aku masih duduk di meja kerjaku, menatap layar ponsel dengan berat hati. Jariku sudah melayang beberapa inci dari tombol delete, masih menimbang antara menghapus nomor James atau tidak. Aku tahu ini tidak akan berpengaruh banyak, tapi setidaknya jika dihapus, aku tak perlu lagi melamun memandangi nomornya sambil menunggu keajaiban.


Aku sama sekali tak mengerti untuk apa dia menciumku saat itu, lalu bertingkah seperti orang asing begini. Aneh. Ya, James Lee benar-benar aneh. Yang bisa mengerti pria itu hanyalah dirinya sendiri.


“Kau lihat dia? Dia benar-benar tampan.”
“Kira-kira dia mau menjemput siapa, ya?”


Dua orang pegawai berjalan melewati mejaku sambil bergosip dengan suara kencang. Aku mengernyit mendengar topik pembicaraan mereka. Lalu karena rasa penasaran yang kuat, aku langsung menyurukkan ponsel, charger, dan headset di atas meja ke dalam tas dan membawanya keluar. Bisa jadi itu James, kan?


Dan benar saja.


Aku memperlambat langkahku begitu mendekati pintu.


James tengah berdiri menyandar di kap mobil, dan semua pegawai yang lewat di depannya sibuk mencari muka sambil memperlambat langkah. Aku terkekeh melihat tingkah teman-temanku itu. Perusahaan kami memang kekurangan stok pria tampan, jadi aku memaklumi tingkah mereka semua.


“Uhuk, apa aku mengganggu acara tebar pesonamu?”


 James yang terkejut segera menoleh dan menegakkan badan.


“Hey,” sapanya kaku.
“Menjemputku?”
“Yeah, hampir benar.”
“Jadi? Apa alasanmu ke sini?”
“Aku... uh,”
“James?”
“Oh ya, jadi.. aku berpikir untuk makan roti kacang lagi,” sahut James cepat, baru tersadar dari lamunan singkatnya. Pria itu menggigit bibir seolah sedang mencari kata yang tepat. “Dan satu-satunya tempat enak yang kutahu hanyalah di kedai kecil pinggiran Suwon itu dan... karena aku tahu kau menyukainya juga, jadi yah… mau ikut?” James bicara dengan gugup, dan intonasi yang kacau. Aku setengah tertawa melihat sikapnya yang tak biasa ini. Apa sifat rapi dan teratur andalannya cuma berfungsi di area J’S? Menarik sekali.


“Mau ikut tidak?” James mengulangi pertanyaannya setelah aku berhenti tertawa.
“Tentu, CEO-nim.”


Aku tersenyum padanya.


Dan pria itu, dengan bantuan angin sepoi-sepoi sialan yang membuat rambutnya bertiup, ikut tersenyum. Sepertinya alam semesta ini sudah bersekongkol untuk membuat pria itu semakin enak dilihat. Dia sudah sangat tampan, dan sangat rapi, dan punya karisma yang memancar dahsyat dan astaga, tidakkah itu sudah lebih dari cukup? Maksudku, dia sudah memenuhi kriteria semua orang. Sekarang apa lagi?


“Kalau begitu ayo,” ajaknya.


Rasanya seperti memulai dari awal, seperti memiliki buku tulis baru, di mana setiap lembarnya masih polos. Dan hari ini, hari senin pukul 5 lewat 39 menit, di bawah matahari sore yang teduh di depan gedung perusahaan tercintaku ini, aku memutuskan untuk menulis lagi. Lembar pertamaku dengan buku yang baru pun dimulai.



END



OMG! AKHIRNYA SETELAH 388 HARI FF INI KELAR JUGA *nangis kejer*



Gonna miss these casts tapi hahihuheho… aku girang bgt bisa nulis kata ‘end’ sumpah!


Oke aku tahu ini banyak bgt kekurangan di mana-mana, ada porsi couple yang terlalu dikit, ada yang kebanyakan, ada yang g ngefeel, ada yang terlalu alay, endingnya kurang nendang dll (tapi percayalah, aku berusaha semaksimal mungkin buat g pilih kasih, suwer)


Dan yep, aku juga nyadar kl bahasa aku suka aneh, ga jelas, terlalu kaku ato malah kurang baku, kosakatanya itu lagi-itu lagi diulang-ulang mulu, alurnya ngebosenin, karakter cast-nya suka kecampur-campur dan apalah-apalah… Tp aku bakalan terus belajar supaya bisa lebih baik (•̀o•́)ง


Makasih banyak bgt buat yang udah baca, yang komen, teristimewa buat yang komen pastinya^^ makasih banyak bgt bgt bgt bgttt yaaaaaahhhhhhhhhh kalian tuh yang bikin aku semangat nyelesainnya walau jujur aja dari part 6 aku udah g mood sama ff ini..


Kritik dan sarannya aku terima dengan tangan terbuka..


Trus, biasa author sok sibuk mau bikin pengumuman,…. Jadi… karena ada beberapa hal yang lagi bikin aku stres akhir-akhir ini + ada sesuatu di luar blog yang harus aku kerjain, aku bakalan hiatus dulu sampai waktu yang belum ditentukan (sekalian cari ide buat series berikutnya ofc. Sebenernya udah kepikiran mau bikin apa, aku sempet mau bikin ff dengan tema vampire, banyak sih kandidat buat main castnya tapi rada g yakin karena aku oon bgt kl berurusan sama genre fantasy, trus akhir-akhir ini gara2 kebanyakan baca ff tema school life jadi pengen ikutan bikin school life juga, hehe.. yah intinya itu cuma rencana, kl keketik ya sukur kalo engga ya gpapa)



Dan Special shoutout buat Winner dan Royal Pirates yang bakalan comeback bulan ini. Aku kangen Ya Allah, sujud syukur mas mas kece ini akhirnya comeback *insertheartemoji*


Ya udah, sampai ketemu di ff aku selanjutnya^^


Jangan lupa buka GIGSent terus..




Okeh, babay~

Comments

  1. Ceritanya seru, feelnya dapet tapi...
    Kok udah end sih? :(
    Ceritanya yujin sama jung ah masih ngegantung
    Buat sequelnya dongg

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya udah end nih, menurut aku udah kepanjangan malah... 11 part tck tck
      Segitu ngegantung ya? hmm tapi aku g kepikiran mau buat sequel kaya apa lagi, semuanya udah bahagia. Yu Jin kan udh di atas 26, jadi aku mikirnya g usah dibikin pacaran.. (percayalah status pacar itu cuma mitos)

      Kl km ada ide mau diapain dua couple itu boleh share ke aku, siapa tau bisa dibuat sequel^^ makasih banyak yah masukannya~ :)

      Delete
    2. Ceritain aj kelanjutan Yu jin James sama Jung Ah Mino. Pengen tahu akhirnya mereka gimana kedepannya. Menurutku sih gitu hehe

      Delete
    3. Atau bisa aj bikin cerita pernikahan Yujin dan James yg masih gantung. Trus pendekatan Jung ah sama ibunya Mino jga boleh diceritain

      Delete
    4. maaf banget kayanya let love lead ga bisa aku lanjut :(
      aku udah nyoba ngetik tapi g tau, berubah pikiran.. kayanya cukup gini aja deh. Sorry T_T

      Delete

Post a Comment

Popular Posts